Sabtu, 06 Februari 2010

KARNA: FIGUR PENDERITAAN MANUSIA

KARNA: FIGUR PENDERITAAN MANUSIA

Oleh:
Aloysius Indratmo


Dalam membeberkan ceritanya, seorang pengarang menciptakan tokoh-tokoh. Dalam menciptakan tokoh-tokoh itu pengarang memberikan citra yang berbeda-beda pada masing-masing tokoh. Di dalam citra tokoh itulah, secara langsung atau tidak langsung, tertuang kekayaan pengalaman, cita-cita serta amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca. Demikian pula kita dapati dalam tokoh Karna, seorang “manusia” yang tampil dalam cerita Bharatayuddha.
Karna atau Adipati Karna atau Basukarna pernah dijadikan tokoh teladan oleh Sri Mangkunagara IV dalam karyanya Tripama. Secara keseluruhan Tripama adalah tiga tokoh yang diwajibkan untuk dijadikan teladan bagi orang yang ingin mengabdikan diri di bidang keprajuritan dan kewiraan. Ketiga tokoh tersebut adalah Mahapatih Sumantri dari Mahespati, Mahawira Kumbakarna dari Alengka, dan Adipati Karna dari Astina. Jika Sri Mangkunagara IV telah mengangkat Karna karena keperwiraannya, tulisan ini akan menilik Karna dari aspek penderitaannya.


Karna dilahirkan di luar kehendak ibunya, Kunti. Bahkan kelahirannya tidak melalui pintu rahim sebagaimana layaknya seorang bayi, tetapi melalui lobang telinga. Setelah lahir Kunti tambah bingung. Apa yang harus diperbuatnya dengan anak Dewa Surya itu. Untuk menghindarkan kutuk dan malu, bayi itu akhirnya dimasukkan ke dalam kendaga lalu dihanyutkan ke dalam sungai.
Tak tahulah bagaimana perasaan bayi Karna pada waktu itu. Ia hanya bayi yang dapat menangis saja. Inilah awal penderitaan yang dialami oleh Karna di dunia.
Menurut seorang ahli ilmu jiwa, Otto Rank, kelahiran adalah suatu pengalaman pedih pertama yang menjadi dasar bagi penderitaan manusia sepanjang hidupnya. Lahir ke dunia berarti “dikeluarkan dari Taman Firdaus”, terlempar menjadi seorang pengembara yatim piatu di dalam dunia.
Pendapat Otto Rank ini menjadi nyata dalam kehidupan Karna. Penderitaan Karna semakin nyata dalam sebagian hidupnya bersama Ki Adirata dan Nyi Nanda, seorang kusir kereta Astina. Sebagai seorang anak kusir Karna harus membantu pekerjaan orang tuanya dari mencari rumput sampai memandikan kuda-kuda. Karna benar-benar menjalani masa mudanya dalam penderitaan kaum Sudra.

*******
Jika kehidupan Karna direnungkan dari penderitaannya maka kelahiran Karna tak dapat dipisahkan dari kematiannya dalam perang besar Bharata. Kelahiran Karna sudah mengandung misteri Bharatayudha. Sebagai seorang anak ia telah berbakti kepada orang tuanya, sebagai ksatria ia telah melakukan kewajibannya dalam membela negara. Tetapi nasib begitu malang merenggutnya. Nasib telah lebih dulu menentukan ia harus mati dalam Bharatayudha.
Karna bukan tidak tahu akan nasib yang bakal menimpa dirinya, tetapi dengan kesadaran penuh akan tanggung jawabnya (sebagai pribadi dan sebagai senopati Korawa) ia terima nasib itu dengan lapang dada. Oleh karena itulah ajakan Kunti dan juga Kresna agar ia menyeberang memihak Pandhawa ditolaknya dengan halus. Kepada Kresna Karna berkata, “Saya tahu Kurawa pasti akan lebur walaupun dibantu dengan kekuatan militer bagaimana pun kuatnya. Saya pun tahu artinya Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti, tetapi saya juga tahu apa kewajiban seorang prajurit sejati. Akulah yang menghendaki perang Bharatayudha segera terjadi, agar angkara murka di muka bumi ini segera lebur. Dengan inilah berarti aku telah menjalankan dharma dan karmaku.”
Karna telah merelakan dirinya sebagai tumbal bagi kemenangan saudara-saudaranya, Pandawa. Maka kejayaan Karna sebagai adipati hanyalah setitik embun di padang gersang. Kejayaan dan kelimpahan harta adipati itu tak kuasa menghapuskan penderitaan Karna, bahkan justru mempertajam kontradiksi antara penderitaan sebelumnya dan ketragisan sesudahnya.
Ketika Karna harus berhadapan dengan Arjuna dalam perang tanding, Bathara Indra menjadi gelisah. Bathara Indra tahu bahwa Karna memiliki perisai di dada yang sangat sakti, hadiah Dewa Surya. Tiada senjata lain yang dapat mengalahkan perisai Karna itu. Maka Bathara Indra datang dengan menyamar sebagai pendeta tua untuk meminta perisai Karna. Tetapi sebelum satu patah kata pun terucap dari bibir Bathara Indra, Karna telah memberikan perisai pusaka itu. Kepada Bathara Indra Karna berkata, “Biarlah saya yang mati, sebab jika Dinda Arjuna yang mati akan sangat sedihlah hati Bunda Kunti. Dinda Arjuna begitu dekat di hati Bunda sedangkan aku, memang sejak kecil tidak bersatu dengan Bunda.”
Mendengar kata-kata Karna itu sangat kagumlah Bathara Indra, maka ia segera berubah ke wujud semula, dan serta-merta memeluk Karna. Di sinilah kebesaran Karna semakin tampak, ia tidak dapat dikalahkan dalam keadaan apapun.
Nyatalah bahwa makna hidup bukan terletak pada status, gengsi dan struktur, tetapi pada bagaimana hidup itu dijalani. Bagaimana pengorbanan, kegagalan yang terpaksa harus dijatuhkan, dan tumbal yang harus diadakan itu dihayati sebagai keberadaan hidup dan kehidupan itu sendiri.

*******

Meskipun sulit menemukan arti dan tujuannya, manusia tak dapat ingkar bahwa penderitaan adalah nasibnya yang hakiki. Manusia merasa tak pernah dapat mengelakkan penderitaan, bahkan seandainya telah mengecap kebahagiaan dalam kelimpahan. Apalagi bagi mereka yang miskin dan berkekurangan.
Seorang Filosof Agung dari India, Sidharta Budha Gautama, pernah menuliskan hal ini dalam sebuah syair yang indah sebagai berikut:
Kebenaran pertama ialah tentang kesedihan
hidup yang kau sanjung adalah derita berkepanjangan
hanya sakitnya yang tetap tinggal
sedang kesenangannya
laksana burung-burung yang lincah
terbang pergi ... (Dhammapada, syair 277- 279).
Penderitaan dialami manusia sejak ia dilahirkan ke dalam dunia. Bahkan Martin Heidegger mengatakan bahwa keberadaan manusia itu fana dan mengalami kematian sejak ia mulai berada. Keberadaan manusia itu suatu keberadaan untuk mati. Albert Camus juga melihat ketragisan ini. Manusia dilemparkan ke suatu dunia yang asing, katanya. Inilah absurdnya kehidupan manusia. Tetapi Camus juga menunjukkan posisi dalam menghadapi kehidupan yang absurd ini: hadapi tanpa pernah menyerah. Di sinilah justru kebesaran dan kemenangan manusia.
Karna bukanlah Albert Camus. Dalam menghadapi nasib penderitaan manusia, Camus berusaha memberontak. Hal ini sesuai dengan kebudayaan Barat yang selalu ingin menguasai dunia. Lain halnya dengan Karna yang lahir dari kebudayaan Timur. Karna tampil sebagai manusia Timur dengan latar kebudayaan ke-Timur-an. Dengan kesadaran akan nasib dirinya, Karna menerima penderitaan itu seorang diri tanpa memberontak. Di sinilah kearifan Karna, ia begitu éklas dan rila menerima penderitaannya.
Éklas berarti “bersedia”. Sikap ini mengandung kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri dalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana telah ditentukan. Arah yang sama ditunjuk oler sikap rila, yaitu kesanggupan untuk melepaskan, sebagai kesediaan untuk melepaskan hak milik, kemampuan-kemampuan dan hasil-hasil pekerjaan sendiri apabila itulah yang menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasib (Franz Magnis Susena, 1984:134).
Di Timur, manusia tidak pernah dianggap untuk dirinya sendiri, melawan orang lain dan alam yang harus dia kuasai dan miliki. Manusia selalu dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan alam semesta, di sana ia mempunyai tempat dan peranan. Keseluruhan adalah yang pertama, bukan bagian, betapa pun dia penting. Manusia hanya merupakan satu nada dalam musik simphoni universal, ia bukan pimpinan orkes itu (To Thi Anh, 1984:31).
Ketabahan Karna dalam menerima nasibnya adalah juga karena kesadaran dan pengertiannya. Karna sadar bahwa dirinya harus menjadi tumbal dalam Bharatayudha. Memahami logos suatu perbuatan berarti mengerti, mengapa perbuatan itu harus dilakukan demikian. Mengerti hal ikhwal sekitar kita berarti mengerti apa yang terjadi, bahkan juga bila timbul masalah-masalah yang sukar mengenai dosa dan penderitaan (Peursen, 1976:56). Mengerti, memahami sebab-sebabnya itulah lalu terasa sebagai pembebasan dan suatu penebusan.

*******

Penderitaan juga sering dimengerti sebagai ketidakmampuan manusia untuk sungguh-sungguh beremansipasi menjadi manusia sepenuhnya. Secara lebih ilmiah, pengalaman dasar ini dapat diterangkan sebagai adanya ketegangan yang selalu tak terdamaikan antara alam dan sejarah. Manusia tetap berada dalam kekurangannya yang hakiki, yang alami, meskipun ia sudah sangat beranjak dalam kemajuan menyejarah.
Teknologi modern pun belum berhasil mengangkat nasib manusia yang hakiki itu. Di sana-sini ia justru makin menciptakan penindasan. bahkan menurut Erich Fromm (dalam Toward Liberal Education), teknologi modern dan berbagai kemajuan yang dicapai manusia itu justru mengakibatkan penderitaan manusia. Menurut Fromm, selaras dengan kemajuan teknologi modern dan beribu kemajuan lain yang dicapai homo sapiens, manusia semakin kehilangan sense of self dalam dirinya, manusia merasa hidupnya semakin tak punya makna. Abab XX adalah abad kematian manusia karena dalam abad XX inhumanitas semakin nyata. Berarti manusia berubah menjadi robot. Robot tak pernah berpikir, hidup dan tinggal sehat. Manusia lalu menjadi golems yang menghancurkan dunia dan dirinya sendiri, sebab tak tahan dihanyutkan kejenuhan dan kebosanan hidup tanpa makna.
Secara implisit Fromm mengatakan bahwa sebenarnya ada pembangunan yang sesungguhnya bukan pembangunan tetapi pengrusakan. Tentang hal ini sebenarnya Allah sendiri telah memperingatkan, “Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. Mereka menjawab, Sesungguhnya kami sedang membangun. Ingatlah, sebenarnya mereka itu sedang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (Al Baqarah:11, 12).
Karena pengalaman penderitaan itu muncullah kritik pesimistis terhadap optimisme modern. Mitos Promotheus yang ambisius dan sombong berpaling kepada mitos Sisyphus yang fatal dan gagal. Tiba-tiba orang tersentak oleh pesimisme Absurditas Albert Camus dan sinis terhadap optimisme teori evolusi Teilhard de Chardin.

*******

Pemahaman diri akan ketakberdayaan dalam menghadapi nasib pada diri Karna membuat ia berdiri pada posisi mereka yang lemah dan tak berdaya. Maka Karna dapat dijadikan inspirasi dan dorongan bagi mereka yang menderita, lemah, miskin, dan tertindas. Dan justru karena itu Karna juga selalu mengingatkan agar manusia tidak sombong dengan kekuasaan dan kekayaannya. Kesombongan itu perlu meluntur menjadi kerendahan hati yang nyata, berbagi rasa dan menolong mereka yang tertindas dan menderita.
Peradaban Jawa yang memiliki konsep dasar tertib sosial, tertib kosmik dan tertib religi membentuk Karna rila berkorban. Agaknya Karna sejajar dengan apa yang disebut Lucien Goldmann (1977:81-82) sebagai “manusia Tuhan”. Goldmann mengatakan bahwa manusia tragik tetap sendirian, ditakdirkan untuk tidak dimengerti oleh manusia yang selalu tidur dan dihadapkan kepada kemarahan Tuhan yang tersembunyi dan tidak hadir. Akan tetapi dalam kesendirian dan penderitaannya itu ia mendapatkan satu-satunya nilai yang dapat membuatnya menjadi besar. Nilai itu adalah kodrat yang mutlak dan kukuh dari kesadarannya dan tuntutan etiknya (tuntutan akan keadilan dan kebenaran yang mutlak serta menolak terhadap ilusi-ilusi dan kompromi). Pengertian terakhir ini menunjukkan adanya perbedaan antara penderitaan yang dialami oleh manusia yang tidak sanggup melampaui level binatang yang kasar dengan penderitaan yang sekaligus diinginkan dan diterima oleh “manusia Tuhan”. “Manusia Tuhan” menyelamatkan nilai-nilai dan harkat kemanusiaan.

*******

Demikianlah tinjauan ringkas akan tragedi kehidupan Karna. Tinjauan ini berdasarkan atas asumsi bahwa karya sastra ditulis bukan hanya bertujuan untuk hiburan belaka, melainkan juga sebagai pengajaran dan pendidikan yang erat berpaut dengan religi. Nyatalah bahwa sastra Jawa dapat memberi informasi tentang peradaban Jawa dalam berbagai aspeknya. Kesastraan Jawa meliputi bidang yang hampir seluas peradaban Jawa itu sendiri.
Albert Camus dan para Eksistensialis Barat mengangkat nilai-nilai personal sedemikian tingginya, sehingga hidup dan kehidupan ini dipandang hanya dari kaca mata individualitas semata. Mereka menyimpulkan bahwa penderitaan itu tanpa makna, sia-sia. Tetapi dari Karna kita tahu bahwa penderitaan dan kematian itu pun membawa makna bagi orang lain. Penderitaan dan kematian dapat menjadi tumbal bagi kebahagiaan orang lain, atau bahkan sebagai penebusan. Inilah yang tak pernah ditangkap oleh para eksistensialis Barat.


obsesi atas perhentian keenam sampai keempat belas
Sendangsono, 22 Oktober 1986