Selasa, 06 April 2010

VULGAR, SLANG, DAN KOLOKIAL BAHASA JAWA

VULGAR, SLANG, DAN KOLOKIAL
DALAM BAHASA JAWA

Oleh: Aloysius Indratmo
Widya Warta, No. 02 Tahun XXVIII/Juli 2005.

A.Pendahuluan

Sosiolinguistik mengkaji bahasa dari sudut pandang eksternal. Sudut pandang secara eksternal berarti kajian itu dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa, tetapi berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh para penuturnya di dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan (Abdul Chaer, 1995: 1).
Sosiolinguistik memandang bahasa dalam kaitannya dengan konteks. Sosiolinguistik mempelajari pemakaian bahasa dalam konteks sosial (Mansoer Pateda, 1987: 11). Bahasa dipandang sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan. Sebagai produk sosial atau budaya, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu (Sumarsono, 2002: 20).
Terdapat dua faktor yang turut menentukan ketika aktivitas berbicara berlangsung. Kedua faktor itu adalah faktor situasional dan faktor sosial (Mansoer Pateda, 1987: 15). Faktor situasi mempengaruhi pembicaraan terutama dalam pemilihan kata-kata dan bagaimana caranya mengkode. Misalnya, bahasa yang dipergunakan ketika menjenguk orang sakit atau bertamu ke rumah orang yang mengalami musibah akan lain dengan bahasa yang dipergunakan ketika berada di pesta perkawinan. Faktor sosial juga menentukan bahasa yang dipergunakan. Yang tergolong faktor sosial adalah umur, jenis kelamin, latar belakang ekonomi, tempat tinggal, status, dan sebagainya (Mansoer Pateda, 1987: 15-16). Identitas penutur, identitas pendengar, lingkungan sosial atau tempat peristiwa tutur terjadi juga mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur (Abdul Chaer, 1995: 7).
Ada banyak contoh lingkungan fisik tempat suatu masyarakat hidup dapat dicerminkan dalam bahasanya. Artinya, lingkungan dapat mempengaruhi bahasa masyarakat itu, biasanya dalam hal leksikon atau perbendaharaan katanya. Bahasa Eskimo penuh dengan kata-kata yang berkisar tentang salju. Perbedaan halus antara berbagai jenis salju bagi orang Eskimo adalah esensial karena mereka tinggal di kutub utara. Demikian juga orang Arab mampu mengadakan pembedaan halus tentang unta (Sumarsono, 2002: 61).
Lingkungan sosial juga dicerminkan dalam bahasa dan sering dapat berpengaruh pada struktur kosakata. Misalnya sistem kekeluargaan atau kekerabatan orang Amerika berbeda dengan sistem kekeluargaan orang-orang dari berbagai suku di Indonesia. Hal itu tercermin dalam kosa katanya. Orang Amerika mempunyai family yang padanannya dalam bahasa Indonesia adalah keluarga. Tetapi family hanya mencakup ‘suami, istri, dan anak-anaknya’, sedangkan keluarga dapat mencakup orang-orang di luar suami, istri, dan anak-anak. Istilah-istilah dalam sistem kekerabatan juga dapat berbeda (Sumarsono, 2002: 62 - 63).
Adanya lapisan-lapisan masyarakat feodal dan kasta menimbulkan pula pengaruh dalam bahasa. Seperti misalnya adanya sistem feodal pada beberapa suku di Indonesia dan sistem kasta pada masyarakat Bali pada zaman dulu, maka dalam masyarakat itu muncul penjenjangan dalam bahasa.
Di samping lingkungan dan struktur sosial, nilai-nilai masyarakat (social value) dapat pula berpengaruh pada bahasa masyarakat itu. Contohnya misalnya yang menyangkut tabu. Tabu menyangkut tingkah laku yang menurut kepercayaan terlarang, dianggap asusila atau tidak layak. Di dalam bahasa kata-kata yang ditabukan itu ada, tetapi tidak atau jarang digunakan, setidaknya secara terbuka di muka umum. Karena kata-kata tabu itu tidak digunakan, digunakanlah kata lain (yang sudah mempunyai makna tersendiri) sebagai penggantinya. Akibatnya kata tabu itu menjadi tersingkir. Kata akar yang mengacu kepada bagian bawah tumbuh-tumbuhan, dan kata kiai yang mengacu kepada guru mengaji, dipakai sebagai ganti untuk ular dan harimau oleh para pemburu pada zaman lampau, setidaknya pada waktu mereka sedang berburu (Sumarsono, 2002: 64-65).
Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu (Suwito, 1985: 5). Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai tingkah laku sosial (social behavior) yang dipergunakan dalam komunikasi (Sumarsono, 2002: 19).
Oleh karena masyarakat pengguna bahasa itu beragam maka bahasa yang dipergunakan juga beragam. Keragaman bahasa ini menghasilkan apa yang disebut variasi bahasa. Sebenarnya dalam hal variasi bahasa ini terdapat dua pandangan yang berbeda. Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa. Jadi variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Andaikata penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi atau keragaman itu tidak akan ada; artinya, bahasa itu menjadi seragam. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau pun ditolak. Yang jelas, variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial (Abdul Chaer, 1995: 81).
Mansoer Pateda (1987: 52) mengutip pendapat Ferguson dan Gumperz memberikan definisi variasi sebagai berikut:
A variety is any body of human speech patterns which is sufficiently homogeneous to be analysed by available techniques of synchronic description and which has a sufficiently large repertory of elements and their arrangements or processes with broad enough semantic scope to function in all normal contexts of communication.

Jadi, di dalam variasi itu terdapat pola-pola bahasa yang sama, pola-pola bahasa itu dapat dianalisis secara deskriptif, dan pola-pola yang dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi. Variasi bahasa dapat dilihat dari (1) tempat, (2) waktu, (3) pemakai/penutur, (4) situasi, (5) dialek yang dihubungkan dengan sapaan, (6) status, dan (7) pemakaiannya (= ragam) (Mansoer Pateda, 1987: 52-53).
Makalah ini tidak akan membicarakan semua jenis variasi bahasa yang ada, akan tetapi terbatas pada Vulgar, Slang, dan Kolokial.

B.Pengertian Vulgar, Slang, dan Kolokial


Vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya adalah pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan (Abdul Chaer, 1995: 87). Bagi kalangan yang kurang terpelajar agaknya dalam berbahasa cenderung langsung mengungkapkan maksudnya tanpa mempertimbangkan bentuk bahasanya. Oleh karena itu bahasa yang dipergunakan adalah bahasa dengan kata-kata kasar. Kosakata kasar itulah yang menjadi ciri Vulgar, seperti diungkapkan oleh Maryono Dwiraharjo (2001: 28).
Bagi kalangan yang terpelajar kosakata kasar cenderung dihindari karena dinilai tidak sopan. Di dalam masyarakat, golongan terpelajar memang dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi sehingga ia harus menyesuaikan bahasa yang dipakai dengan kedudukannya itu. Bagi golongan yang kurang terpelajar kosakata kasar itu sudah terasa wajar karena sudah menjadi kebiasaan dalam percakapan sehari-hari. Vulgar dengan demikian juga dapat diartikan sebagai tingkatan bahasa yang lebih rendah dari bahasa formal (bandingkan: Harimurti Kridalaksana, 2001: 96).
Slang berarti ucapan populer yang kita dengar sehari-hari di daerah tertentu (Mansoer Pateda, 1987: 55). Sebagai ucapan populer, maka Slang merupakan bahasa pergaulan di dalam kelompok tertentu yang terbatas, biasanya kaum remaja atau anak-anak muda. Slang digunakan dengan tujuan agar kelompok lain tidak dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakan oleh kelompok yang bersangkutan. Oleh karena itu Slang bersifat khusus dan rahasia, pada kelompok terbatas. Bahasa prokem termasuk di dalam Slang (Maryono Dwiraharjo, 2001: 28). Dilihat dari bentuknya, Slang dapat digolongkan sebagai ragam bahasa tak resmi, berupa kosakata yang serba baru dan berubah-ubah (Harimurti Kridalaksana, 2001: 200).
Slang yang berubah-ubah atau bersifat temporal (Abdul Chaer, 1995: 87-88) itu menyebabkan Slang biasanya tidak bertahan lama. Hal ini sesuai dengan sifatnya sebagai bahasa rahasia, yang hanya diketahui oleh kelompok sendiri. Begitu orang lain atau kelompok lain mengetahui kosakata yang digunakan, maka sifat kerahasiaan itu sudah memudar. Seiring memudarnya kerahasiaan, maka orang menghadapi dua pilihan, yakni (1) kembali kepada bahasa pergaulan biasa, atau (2) menciptakan kosakata dengan rahasia yang baru.
Slang berada di bawah pengaruh linguistik produktif dari sikap-sikap macam tertentu. Slang selalu digunakan sesuka penuturnya. Slank ini merupakan permainan sosial, dan terutama merupakan bahasa lisan (Basuki Suhardi, 1995: 164-168). Sebagai permainan sosial Slang merupakan hasil kreativitas kelompok-kelompok anak muda dalam masyarakat tertentu. Sebagai bahasa lisan, Slang tidak banyak diingat, meski oleh pemakainya sendiri, setelah bahasa itu tidak digunakan lagi.
Slang juga tidak meninggalkan dokumen tertulis karena ia “hanya” bahasa pergaulan untuk menunjukkan keakraban dan kesamaan “identitas” dalam kelompok, bukan untuk mengatakan maksud yang resmi.
Kolokial (colloquial) adalah bahasa yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat yang tinggal di daerah tertentu. Kolokial biasa juga disebut sebagai bahasa sehari-hari, bahasa percakapan (Maryono Dwiraharjo, 2001: 28), dan kadang-kadang disebut bahasa pasar (Mansoer Pateda, 1987: 55).
Sebagai bahasa percakapan sehari-hari, maka Kolokial tergolong di dalam ragam lisan, bukan tulis (Abdul Chaer, 1995: 88). Di dalam ragam lisan, komunikasi cenderung bersifat praktis, bahkan kadang-kadang “melanggar” aturan-aturan tata bahasa. Bahasa percakapan sehari-hari bertujuan semata-mata untuk mengungkapkan maksud pembicara. Jika mitra bicara sudah mengetahui maksud yang diungkapkan pembicara maka komunikasi sudah berhasil. Oleh karena itu Kolokial dinilai sebagai bahasa pasar yang lebih rendah dari bahasa baku.
Kolokial adalah bahasa yang tidak begitu khas bagi lapisan sosial tertentu, tetapi lebih khas bagi situasi bertutur tertentu, yakni situasi santai (Basuki Suhardi, 1995:163). Kosakatanya berupa kata-kata yang telah mengalami penurunan sesuai situasi.

C.Vulgar dalam Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang heterogen. Selain dikenal adanya tingkatan sosial (priyayi dan wong cilik), masyarakat Jawa juga dapat dibedakan ke dalam golongan orang kota (wong negara) dan orang desa (wong désa, manca negara), orang kaya (wong sugih) dan orang miskin (wong mlarat, kêsrakat), serta orang terpelajar (wong pintêr) dan orang kurang terpelajar (wong bodho). Orang-orang kaya biasanya juga tergolong orang yang terpelajar karena mereka selalu menyekolahkan anak-anaknya, sebaliknya orang miskin biasanya juga tergolong orang yang kurang terpelajar karena mereka tidak mampu bersekolah.
Vulgar dalam bahasa Jawa banyak dipergunakan oleh masyarakat yang kurang terpelajar, dengan demikian juga yang miskin. Vulgar bagi golongan priyayi Jawa dinilai sebagai bahasa yang tidak sopan. Sopan santun (tata krama) Jawa agaknya memang identik dengan golongan priyayi. Golongan priyayi dalam segala tindakannya harus selalu menjaga sopan santun, termasuk santun berbahasa. Hal itu disebabkan karena para priyayi adalah golongan yang dekat dengan raja dan keraton yang dikenal sebagai pusat budaya Jawa. Dalam segala hal para priyayi harus bersikap halus. Sebaliknya golongan wong cilik, apalagi yang kurang terpelajar, dan tinggal di desa cenderung kurang menguasai tata krama, sehingga segala tindakannya kasar, termasuk di dalam berbahasa. Oleh karena orang-orang yang kurang terpelajar itu kurang mengenal tata krama maka ia tidak merasa janggal atas kekasaran dalam berbahasa, mereka telah terbiasa dalam berlaku demikian.
Contoh Vulgar dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut:

A : Dhasaré lanangan ngglathak! Mung buruh gêrji waé gêgêdhèn tékat nyunduki prawan! Mbok nyêbut! O uwong ki yèn thukmis!
B : Sum! Aja sêru-sêru, iki ki nèng kampung!
A : Sing gawé ramé dhisik sapa? Yèn wédokanmu ora nganti mêtêng ya ora bakal dadi ramé! Bèn waé! Kabèh bèn dha ngêrti. Mbah…Mbah Sima, Gito ngêtêngi prawan! Lik… Lik Jiah, gilo iki si Gito ngêtêngi bocah!
B : Sum, cangkêmmu bisa mênêng ora ta Sum!
A : Apa kuwi … Karêpé golèk gratisan! Grayangan nèng pêtêngan, mbok diakoni waé nèk ora kuwat nglonthé! Lha, sukur saiki bocahé mêtêng! Rumangsané apa dha ora ngêrti.
B : Cocotmu sida tak suwèk, mêngko!
A : Bèn! Wis sakkarêpmu dhéwé! Tanggungên dhéwé! Ning aku ra sudi mbok maru. Ora sudi! Aku minggat! Sumpêg nèng kéné! Wong lanang ki yèn wis kêbrongot birahiné dadi kaya kéwan kontholé! Gatêl ya gatêl, ning diampêt sêdhéla apa ya ra bêtah. Sêmêlang dadi akik pa piyé! Njur apa gunané bêbojoan, kok ndadak golèk turuk liyané! Béda apa jênêngé, béda apa ambuné, béda apa rupané!

Terjemahan:

A : Dasar laki-laki rakus! Hanya tukang jahit saja bertekad menumpuk gadis! Mbok menyebut! O orang itu kalau hidung belang!
B : Sum! Jangan keras-keras, ini di kampung!
A : Yang lebih dulu membuat ramai siapa? Jika pacarmu tidak sampai hamil ya tak akan jadi ramai! Biar saja! Semua biar tahu. Mbah … Mbah Sima, Gito menghamili gadis! Lik … Lik Jiah, ini lho Gito menghamili gadis!
B : Sum, mulutmu bisa diam tidak to Sum!
A : Apa itu … inginnya mencari gratisan! Meraba-raba di kegelapan, diakui saja jika tidak kuat (membayar) pelacur! Lha, rasakan sekarang anaknya hamil. Dikiranya apa tidak pada tahu ….
B : Mulutmu jadi kusobek nanti!
A : Biar! Sudah sekehendakmu saja! Tanggung saja sendiri! Tapi aku tidak mau dimadu. Tidak mau! Aku pergi! Gerah di sini! Laki-laki itu kalau sudah terbakar birahi jadi seperti hewan kemaluannya! Gatal ya gatal, tapi ditahan sebentar apa ya tidak kuat. Takut jadi akik apa gimana! Lalu apa gunanya berkeluarga, kok masih cari kemaluan yang lain! Beda apa namanya, beda apa baunya, beda apa bentuknya!


Demikianlah, dari kutipan Vulgar di atas tampak bahwa termuat leksikon yang bernuansa kasar. Ditinjau dari tingkat tutur, bahasa kasar tergolong dalam tingkat Ngoko. Bahasa kasar dalam bahasa Jawa memang selalu berbentuk Ngoko yang tercampur kata-kata kasar (Antunsuhono, 1953: 9). Kosakata memang merupakan penentu bentuk bahasa atau tingkat tutur dalam bahasa Jawa. Jika bahasa itu menggunakan kosakata Ngoko maka ia tergolong tingkat Ngoko. Jika bahasa itu menggunakan kosakata Krama maka masuk tingkat Krama.
Masyarakat tutur Jawa mengenal adanya kosakata Ngoko, Madya, Krama, dan Krama Inggil. Selain itu juga dikenal kosakata kasar. Beberapa kosakata kasar antara lain adalah sebagai berikut.

Kasar Ngoko Arti
cocot cangkêm ‘mulut’
gêrangan tuwa ‘tua’
goblog bodho ‘bodoh’
mbadhog mangan ‘makan’
micêk turu ‘tidur’
modar mati ‘mati’
picêk wuta ‘buta’
wadhuk wêtêng ‘perut’


Selain itu, kata-kata kasar juga sering dipungut dari kata-kata untuk binatang yang diterapkan untuk manusia, misalnya suthang yang berarti ‘kaki belalang’ digunakan untuk menyebut kaki manusia. Kata nguntal yang berarti ‘makan’ untuk ular digunakan untuk manusia. Dalam hal ini kekasarannya disebabkan oleh penurunan derajat manusia ke tingkat binatang.

D. Slang dalam Masyarakat Jawa

Slang di masyarakat Jawa banyak dikenal dan dimiliki oleh remaja dan anak-anak muda. Akan tetapi karena sifatnya yang temporal dan tak terdokumentasikan maka masih sedikit peneliti yang telah mendeskripsikannya dengan rinci. Penelitian tentang Slang dengan demikian juga selalu ketinggalan zaman karena ketika penelitian selesai, bahasa itu sudah tidak dipergunakan lagi.
Salah satu Slang yang pernah ada di Yogyakarta sekitar akhir tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an adalah bentuk “Walikan”. Sementara orang menyebut Slang bentuk ini sebagai bahasa Gali (Gabungan Anak Liar) padahal pencetus dan pemakai pertama kali justru anak-anak yang kreatif dan terpelajar. Gali memang kemudian mengadopsinya. Slang ini lalu berkembang sangat luas sebelum akhirnya hilang. Para pemakai merasa satu kelompok dan senasib, sehingga untuk menyelesaikan konflik di antara anak-anak muda sangat sering digunakan bahasa Slang ini.
Contoh Slang jenis “Walikan” adalah sebagai berikut:

A : Hiré nyasayé Dab?
Piyé kabaré Mas?
‘Bagaimana khabarnya Mas?’
B : Pahiny panyu.
Apik aku
‘Saya baik’
A : Nyothé padha yonyon?
Kowé ana rokok?
‘Kamu punya rokok?’

Slang jenis “Walikan” ini mempunyai rumus yang diambil dari huruf Jawa. Huruf Jawa yang berjumlah dua puluh dan terbagi ke dalam empat baris kemudian saling dibalikkan, huruf yang terdapat pada baris pertama diganti dengan huruf yang terdapat pada baris ketiga, demikian juga sebaliknya. Huruf yang terdapat pada baris kedua diganti dengan huruf yang terdapat pada baris keempat dan sebaliknya. Secara rinci beberapa kaidah dalam bahasa “Walikan” dapat diuraikan sebagai berikut.

1)Konsonan diganti sesuai dengan kedudukan dalam urutan huruf Jawa sedangkan vokal tetap, misalnya proses penggantian kata kowé menjadi nyothé adalah sebagai berikut.
ha na ca ra ka
da ta sa wa la
pa dha ja ya nya
ma ga ba tha nga
Kata kowé terdiri atas konsonan k dan w. Konsonan k terdapat pada baris pertama sehingga diganti dengan ny dari baris ketiga. Konsonan w terdapat pada baris kedua sehingga diganti th dari baris keempat. Vokal tetap sehingga terbentuk kata nyothé

2)Afiks tidak berubah/tetap, misalnya:

Afiks Kata bentukan Slang Arti
tak-(dak-) taktuku takgunyu ‘kubeli’
tok-(kok-) toktuku tokgunyu ‘kaubeli’
di- dituku digunyu ‘dibeli’
-ku motorku dogosku ‘motorku’
-mu mobilmu dosingmu ‘mobilmu’
-é motoré dogosé ‘motornya’
-ké/-aké tukokké gunyokké ‘belikan’


3)Bunyi [ny] pada akhir kata dilafalkan [n], misalnya:

Seharusnya Dilafalkan Ngoko Arti
thémony thémon wédok ‘perempuan’
pahiny pahin apik ‘baik’
nyawony nyawon kathok ‘celana’
sahany sahan bapak ‘ayah’
pédhany pédhan énak ‘enak’


4)Bunyi [y] pada akhir suku pertama berubah menjadi [s], misalnya:

Seharusnya Dilafalkan Ngoko Arti
lêygi lêsgi ngêrti ‘tahu’
Sèygidh Sèsgidh Bèrtin ‘Bertin’
nyuyda nyusda kurma ‘kurma’
têynu têsnu gêrdhu ‘gardu’


5)Dimungkinkan beberapa bagian kalimat dihilangkan, misalnya:

Poya mothik panyu.
Ora dhuwit aku.
‘Aku tidak punya uang’.

Jika diperhatikan kalimat di atas adalah kalimat yang tidak lengkap. Jelasnya kalimat di atas predikatnya tidak lengkap. Maksud kalimat di atas adalah seperti tampak dalam terjemahannya. Unsur yang hilang adalah kata duwé ‘punya’ yang seharusnya berbentuk muthé. Meskipun demikian mitra bicara sudah dapat menangkap makna kalimat itu karena sudah menjadi kesepakatan.

6)Dimungkinkan memungut dari bahasa Indonesia, misalnya:

Dayi lodsé Dab.
Mari ngombé Mas.
‘Mari minum Mas’.

Kata dayi ‘mari’ dalam kalimat di atas adalah kata pungut dari bahasa Indonesia. Contoh yang lain misalnya:

Bigu thip daladh muyul?
Situ wis mangan durung?
‘Situ sudah makan belum?’




7) Kata-kata yang sangat rahasia dibuat “simbol” bertingkat. Perhatikan contoh berikut.

Ngoko Walikan I Walikan II Arti harafiah
ganja tadhca sayal barang
pil (koplo) hing sêdhiny bênik

Demikianlah, Slang dalam bahasa Jawa yang pernah banyak digunakan dalam komunikasi di antara anak-anak muda. Slang dalam bahasa Jawa ini “dibangun” dari landasan bahasa Jawa Ngoko. Sebagai bahasa pergaulan di antara sesama teman bahasa Ngoko memang lebih cocok.

E. Kolokial dalam Masyarakat Jawa

Kolokial sebagai bahasa lisan dalam percakapan sehari-hari juga dikenal dalam masyarakat tutur Jawa. Salah satu sifat dari Kolokial adalah adanya unsur informal di dalam situasi tutur. Bahasa percakapan sehari-hari memang cenderung bersifat santai dan cair.
Kolokial ditandai oleh kosakata yang dipergunakan telah mengalami penurunan sesuai dengan situasi tutur. Oleh karena itu Kolokial dinilai lebih rendah daripada bahasa baku. Penurunan tataran sesuai dengan situasi tersebut berkaitan dengan tujuan praktis dari komunikasi informal di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Bentuk nyata dari adanya penurunan kosakata di dalam Kolokial adalah pada proses “pembuntungan”, artinya kata-kata banyak yang dikurangi suku katanya sehingga menjadi tidak lengkap lagi. Meskipun kosakatanya telah mengalami “pembuntungan” akan tetapi komunikasi tetap dapat berjalan lancar.
Jika Kolokial dipergunakan di dalam situasi santai, maka bahasa Jawa yang pertama-tama memiliki bentuk Kolokial adalah bahasa Ngoko. Hal ini disebabkan karena bahasa Jawa Ngoko tidak terbebani oleh rasa hormat antara pembicara dan mitra bicara. Dengan tidak adanya rasa hormat tersebut bahasa Jawa Ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara pembicara terhadap mitra bicara. Di dalam bahasa Jawa Ngoko pembicara tidak memiliki perasaan pakéwuh terhadap mitra bicara sehingga suasana tutur menjadi santai.
Beberapa bentuk kosakata Kolokial dalam tataran Ngoko antara lain adalah sebagai berikut.

Kolokial Ngoko
Arti
nggo kanggo ‘untuk’
njur banjur ‘lalu’
suk sésuk ‘besok’
cah bocah ‘anak’
ya iya ‘iya’
ning nanging ‘tetapi’
ra ora ‘tidak’
sah susah ‘usah’
dha padha ‘pada’
péngin kêpéngin ‘ingin’
bèn yobèn ‘biar’
wis uwis ‘sudah’
thoprak kêthoprak ‘ketoprak’

Contoh pemakaian kosakata di dalam kalimat adalah sebagai berikut.
- Ngamal jariah Bit, ngamal, nggo nglêbur dosa. Bèn jêmbar kuburmu, éntuk dalan padhang suk nèk mulih.
‘Beramal jariah Bit, beramal, untuk melebur dosa. Biar luas kuburmu, mendapat jalan terang besuk saat meninggal.’
- Sing nggo ngamal ki dhuwit gambar apa?
‘Yang untuk amal itu uang gambar apa?’
- Ora kaya cah saiki, dhalang kok sekolah, dhalang kertas kuwi.
‘Tidak seperti anak sekarang, dalang kok sekolah, dalang kertas itu.’
- Mumpung dadi patih, mbok aku ya ngono Lik!
‘Kesempatan jadi patih, aku pun juga begitu Paman!’
- Ning tanggor Likmu Bismo, Sêngkuniné Gondo Gêmpil dituku.
‘Tetapi menghadapi Pamanmu Bismo, Sengkuni milik Gondo Gempil dibeli.’
- Ora ujar ora kaul, sing ngêlèti Sêngkuni kudu aku, ra sah Brataséna.
‘Tidak bernadar tidak berkaul, yang menguliti Sengkuni harus aku, tidak usah Bratasena.’
- Sing arêp tuku dha antri.
‘Yang akan membeli pada antri.’
- Sing mudhêng têmbung hogi mêsthi péngin nuku papan kéné.
‘Yang memahami kata hogi pasti ingin membeli tempat ini.’
- Mbok bèn, sing mudhêng têmbung hogi ngétung-étung dhuwité.
‘Biar saja, yang tahu kata hogi menghitung uangnya.’
- Kowé apa wis ora péngin manggon kéné?
‘Kamu apa sudah tidak ingin bertempat tinggal di sini?’
- Thopraké ki lakoné apa kok sing nonton nganti antri.
‘Cerita ketopraknya apa to kok penontonnya sampai antri.’

Kata-kata sapaan yang menunjukkan hubungan kekerabatan juga banyak mengalami “pembuntungan” menjadi Kolokial. Perhatikan kata-kata berikut.

simbah mbah
pakdhé dhé
paklik lik
bapak pak
ibu bu
kangmas mas
kakang kang
mbakyu yu
adhi dhi

Selain bahasa Jawa Ngoko, bahasa Jawa Madya juga dapat disebut sebagai Kolokial. Hal itu disebabkan karena (1) bahasa Jawa Madya adalah bahasa Jawa Krama yang diturunkan (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979: 12), dan (2) Bahasa Jawa Madya memang bahasa Jawa Krama yang mengalami proses kolokialisasi (Soepomo Poedjasoedarmo, 1979: 15).
Berbeda dengan bahasa Jawa Ngoko, bahasa Jawa Madya masih mengandung sedikit rasa hormat pembicara terhadap mitra bicara. Bahasa Jawa Madya dikenal sebagai tingkat tutur yang agak hormat. Rasa hormat yang dikandung oleh Bahasa Jawa Madya lebih rendah dari yang dikandung oleh bahasa Jawa Krama. Oleh karena itu bahasa Jawa Madya terasa lebih santai bila dibandingkan dengan bahasa Jawa Krama.
Beberapa contoh kosakata Madya adalah sebagai berikut.

Madya Krama
Arti
ampun sampun ‘jangan’
dugi dumugi ‘tiba, sampai’
êmpun sampun ‘sudah’
kèn kèngkèn ‘suruh’
king saking ‘dari’
napa punapa ‘apa’
nika punika ‘itu’
njing bénjing ‘besok’
têng dhatêng ‘ke’
sêg sawêg ‘sedang’

Dari beberapa contoh kosakata Madya di atas tampak bahwa leksikon Madya telah mengalami “pembuntungan” atau kolokialisasi dari kosakata Krama. Terdapat beberapa bagian dari kata Krama yang dihilangkan.

F.Penutup

Demikianlah uraian tentang Vulgar, Slang, dan Kolokial dalam bahasa Jawa. Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Vulgar, Slang, dan Kolokial merupakan bentuk-bentuk bahasa lisan yang digunakan dalam percakapan anggota kelompok sosial di dalam masyarakat. Vulgar merupakan bahasa percakapan kelompok sosial yang kurang berpendidikan. Slang merupakan bahasa rahasia dalam percakapan antaranggota suatu kelompok sosial, kebanyakan anak-anak muda. Kolokial merupakan bahasa percakapan dalam situasi santai.
Dalam bahasa Jawa Vulgar merupakan bagian dari tingkat tutur Ngoko, meskipun demikian bahasa Jawa memiliki kosakata kasar secara khusus. Selain itu kata-kata kasar juga dipungut dari kata-kata yang sebenarnya untuk binatang tetapi diterapkan untuk manusia. Demikian juga Slang “dibangun” berdasarkan leksikon Ngoko. Kolokial selain berbentuk Ngoko juga Madya. Kosakata Madya merupakan kosakata Krama yang mengalami proses kolokialisasi. Selain itu di dalam bahasa Jawa kata-kata sapaan kekerabatan juga mengalami proses kolokialisasi di dalam percakapan.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Antunsuhono. 1953. Reringkesaning Paramasastra Djawi. Jogjakarta: Soejadi.
Basuki Suhardi, et al (penerjemah). 1995. Teori dan Metode Sosiolinguistik II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. (Edisi Ketiga). Jakarta: Gramedia.
Mansoer Pateda. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Maryono Dwiraharjo. 2001. Pokok-Pokok Materi Perkuliahan Sosiolinguistik. Surakarta: Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Soepomo Poedjosoedarmo, et al. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Suwito. 1985. Sosiolinguistik: Pengantar Awal. Surakarta: Henary Offset.








Selasa, 23 Maret 2010

BABAD BANYUURIP: MAKNA TEKS DALAM CAKRAWALA HIPOGRAM

Babad Banyuurip:
Makna Teks dalam Cakrawala Hipogram

Oleh: Aloysius Indratmo
Haluan Sastra Budaya No. 3 Vol. 43, Agustus 2000


Pendahuluan
Babad Banyuurip adalah karya sastra Jawa yang secara formal dapat digolongkan sebagai karya besar. Babad Banyuurip disampaikan dalam bentuk tembang. Keseluruhan ceritanya disampaikan dalam 40 pupuh yang terbagi dalam 778 bait atau 5.461 baris, dengan menggunakan 12 jenis tembang.
Babad Banyuurip ditulis pada hari Sabtu Legi tanggal 3 Rejeb Tahun Je 1890 Jawa atau 13 Januari 1959 dalam tarikh Masehi. Babad ini mengisahkan para leluhur Adipati Cakranagara, Bupati pertama Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Adipati Cakranagara memiliki kedudukan penting dalam sejarah Indonesia bukan oleh karena jabatannya tetapi karena keterlibatannya secara controversial dalam Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825 – 1830). Adipati Cakranagara dinilai memihak Belanda dalam berperang melawan tentara Pangeran Diponegoro. Dalam kaitan dengan itu, maka menjadi menarik untuk mengikuti bagaimana penulis Babad memandang dan melegitimasi Adipati Cakranagara.

Hubungan Intertekstual

Prinsip intertekstualitas memperhatikan konteks kesejarahan teks dalam usaha menangkap maknanya (Pradopo, 1987:227). Salah satu konteks kesejarahan teks adalah hipogram, yakni teks yang menjadi latar penciptaan teks baru (Riffaterre, 1978:11, 23). Dalam hubungannya dengan hipogram, teks yang baru dapat menyimpangi atau meneruskan konvensi yang berlaku. Konvensi yang disimpangi atau diteruskan dapat berupa bentuk formalnya atau pun isi pikiran, masalah, dan tema yang terkandung di dalam teks (Pradopo, 1987:223).

Teks dan Hipogram
Dalam analisis ini penentuan hipogram dibimbing oleh episode-episode yang tampil dalam Babad Banyuurip. Hipogram dengan demikian tergambar dengan sendirinya ketika pembaca meniti bacaan teks Babad Banyuurip. Gambaran tentang hipogram dengan demikian juga dipengaruhi oleh pengalaman pembacaan yang dimiliki oleh pembaca sebelum ia membaca teks Babad Banyuurip.
Berikut ini diuraikan hubungan antara teks Babad Banyuurip dengan beberapa hipogram. Mungkin akan terasa melompat-lompat, akan tetapi memang demikianlah bentuk hubungan arbitrer antara teks dan hipogram melalui gambar-angan dalam proses pembacaan.

Babad Banyuurip dan Babad Cakrajaya

Babad Cakrajaya dalam bentuk cetak diterbitkan oleh Penerbit Soemodidjojo Mahadewa Yogyakarta pada tahun 1951. Babad Cakrajaya setebal 10 halaman itu juga menampilkan silsilah Adipati Cakranagara dari garis ayah, meskipun sebenarnya intinya adalah menceritakan kehidupan Ki Cakrajaya yang kemudian bergelar Sunan Geseng. Dengan demikian menurut Babad Cakrajaya Ki Cakrajaya atau Sunan Geseng adalah Leluhur Adipati Cakranagara.
Silsilah Adipati Cakranagara yang ditampilkan Babad Cakrajaya dimulai dengan tokoh Prabu Daniswara atau Prabu Srimapunggung yang bertahta di Medhangkamulan. Prabu Daniswara berputra Prabu Kandhihawa. Prabu Kandhihawa berputra lima anak laki-laki: Raden Panuhun, Raden Sandhanggarba, Raden Karungkala, Raden Patularan, dan Raden Getayu.
Raden Patularan, anak keempat Prabu Kandhihawa, disebut sebagai raja pemotong hewan (jagal) dan penyadap nira (nderes) yang tinggal di Pagelen (Bagelen). Raden Patularan berputra Jaka Panuntun. Jaka Panuntun berputra perempuan bernama Rara Wetan atau Nyai Bagelen. Nyai Bagelen berputra Bagus Gentha. Bagus Gentha berputra Ki Damarmaya. Ki Damarmaya berputra Rara Rengganis. Setelah menikah dengan Kiai Pakotesan Rara Rengganis berputra Kiai Semana. Kiai Semana berputra Ki Cakrajaya atau Sunan Geseng. Sunan Geseng berputra dua orang, yakni Jaka Bumi dan Jaka Bedhug. Kelak Jaka Bedhug menjadi Bupati Bedhug dan bergelar Tumenggung Nilasraba. Jaka Bedhug inilah yang menurunkan Adipati Cakranagara.
Babad Banyuurip merupakan tentangan/penyimpangan atas Babad Cakrajaya, terutama dalam memaparkan genealogi leluhur Adipati Cakranagara. Beberapa bentuk penyimpangan itu antara lain:
• Babad Banyuurip menyebutkan leluhur Adipati Cakranagara bukan R. Patularan (anak ke-4) tetapi Ki Panuwun (anak pertama Prabu Srimapunggung).
• Babad Banyuurip menyebut R. Patularan dengan nama Petung Mlaras, dan tidak tinggal di Bagelen tetapi di Kahuripan sebagai pertapa. Menurut Babad Tanah Jawi (hal 12) yang tinggal di Bagelen adalah Panuwun.
• Jaka Panuntun sebagai anak R. Patularan tidak disebut oleh Babad Banyuurip, yang menyebut Ni Rara Ing Dalem Wetan adalah anak Ki Panuwun bukan anak Jaka Panuntun.
• Ki Cakrajaya atau Sunan Geseng tidak disebut dalam Babad Banyuurip. Ki Cakrajaya menurut Babad Cakrajaya adalah anak Kiai Semana, sedangkan menurut Babad Banyuurip anak Pangeran Semana adalah perempuan yang menikah dengan Tumenggung Kartisara.
• Babad Banyuurip tidak menyebut Ki Cakrajaya atau Sunan Geseng dalam silsilah Adipati Cakranagara oleh karena itu anak-anak Sunan Geseng juga tidak disebut.
Babad Banyuurip dengan demikian telah menyimpangi Babad Cakrajaya. Penyimpangan itu salah satunya disebabkan oleh perbedaan tema yang ditampilkan masing-masing babad. Babad Banyuurip yang menampilkan tema kesaktian dan kesetiaan pengabdian orang Bagelen harus menolak kehadiran Ki Cakrajaya, karena Ki Cakrajaya tidak pernah mengabdi raja.
Sebaliknya, Babad Cakrajaya menyebut Adipati Cakranagara sebagai keturunan Ki Cakrajaya karena adanya kesamaan nama. Adipati Cakranagara, sebagaimana lazimnya orang Jawa yang mengabdi raja, memiliki lima nama sesuai dengan jabatannya. Selama periode menjabat Mantri Gladhag di Surakarta ia memakai nama Mas Ngabehi Resadiwirya. Dalam periode awal Perang Jawa ketika menjabat penasihat pribadi Pangeran Kusumayuda ia memakai nama Tumenggung Resadiwirya. Ketika menjabat Bupati Tanggung dari tahun 1828-1830 ia memakai nama Tumenggung Cakrajaya. Ketika menjabat Bupati Purwarejo pada mulanya ia memakai nama Kiai Adipati Cakrajaya. Pada akhirnya ia memakai nama Raden Adipati Cakranagara yang dipergunakannya mulai tahun 1832-1862 saat ia meninggal dunia (Carey, 1986:137); Sudiro, tt. h. 2).
Dalam masyarakat Jawa kebiasaan memakai nama yang sama dengan orang tua atau leluhurnya disebut nunggak semi. Gejala itu tidak saja dilakukan oleh raja-raja tetapi juga oleh kalangan masyarakat luas. Gejala nunggak semi itulah agaknya yang membuat penulis Babad Cakrajaya menghubungkan Adipati Cakranagara dengan Sunan Geseng.

Babad Banyuurip dan Babad Tanah Jawi

Episode Penyerbuan Jakarta
Babad Banyuurip menceritakan bahwa setelah Bagus Taka dan Bagus Singa berhasil membunuh banteng yang mengamuk ia diangkat sebagai mantri oleh Sultan Agung. Ketika prajurit menyerbu Jakarta Bagus Taka dan Bagus Singa turut serta sebagai prajurit Pangeran Purbaya (XIII,2 – XIV,18).
Babad Tanah Jawi (hal. 135-139) menceritakan Sultan Agung memerintahkan Mandurareja untuk menyerbu Jakarta. Mandurareja diperintahkan memimpin prajurit Pasisir dari Surabaya ke barat. Prajurit Mataram menuju Jakarta melalui laut. Sesampai di Jakarta prajurit Mataram membuat pesanggrahan di sebelah tenggara kota Jakarta. Para prajurit itu menunggu kedatangan Adipati Sampang yang memimpin penyerangan di laut. Sementara itu Sultan Agung memerintahkan Pangeran Purbaya agar menyusul ke Jakarta melalui laut untuk memberi pelajaran kepada tentara Belanda. Pangeran Purbaya berangkat dengan disertai sedikit prajurit. Terjadilah perang antara prajurit Mataram melawan tentara Belanda. Tentara Belanda banyak yang mati, demikian juga dengan prajurit Mataram. Pangeran Purbaya kembali ke Mataram, setelah melaporkan jalannya pertempuran Pangeran Purbaya meminta agar Sultan Agung menghentikan pertempuran karena kedatangan Belanda ke Jawa hanyalah untuk keperluan berdagang.

Episode Pemberontakan Trunajaya
Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan pemberontakan Trunajaya yang diceritakan oleh Babad Banyuurip adalah peristiwa Singapatra yang berhasil menawan satu kapal Trunajaya (XV,16). Oleh karena keberhasilannya itu Singapatra diangkat menjadi mantri. Peristiwa berikutnya adalah Raja Amangkurat melarikan diri dari kerajaan bersama Adipati Anom dan Pangeran Puger (XXII, 10). Di dalam pelariannya kemudian Pangeran Puger kembali untuk berusaha merebut kembali kekuasaan raja. Dalam perjalanan ke Mataram, sesampainya di Purwakandha Pangeran Puger mendapat bantuan dari Mertamenggala (XXII, 15).
Babad Tanah Jawi (hal. 168-172) menceritakan, setelah kota diserbu oleh prajurit Trunajaya, raja bersama seluruh keluarga dan beberapa abdi melarikan diri. Sang Raja menuju ke arah barat dan singgah di Imogiri kemudian menyeberang Sungai Bagawanta sampai Urut Sewu. Sesampai di Karanganyar Raja dirampok tetapi perampok dapat dilumpuhkan dengan kata-kata Sang Raja. Di Ajibarang Raja memerintahkan Adipati Anom untuk merebut kembali kerajaan akan tetapi Adipati Anom tidak bersedia. Pangeran Pugerlah yang berangkat ke Mataram untuk merebut kerajaan. Pangeran Puger, Pangeran Singasari, dan Pangeran Mertasana segera berangkat. Tujuan pertama mereka adalah Jenar. Setelah kepergian Pangeran Puger Raja Amangkurat wafat dan dimakamkan di Tegalarum. Di Jenar Pangeran Puger mengumpulkan prajurit. Orang-orang Bagelen yang dipimpin Gajah Pramoda semua tunduk kepadanya. Pangeran Puger menobatkan diri sebagai raja dengan gelar Kanjeng Susuhunan Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama bertahta di Jenar. Nama Jenar kemudian diganti menjadi Purwakandha.

Episode Pemberontakan Pangeran Alit
Babad Banyuurip (XXII, 4-8) mengisahkan pemberontakan Pangeran Alit dalam kaitannya dengan tokoh Ki Mertalaya. Ki Mertalaya mengabdi Pangeran Alit di Mataram. Ketika Pangeran Alit meninggal dunia dalam usahanya merebut tahta kerajaan, Ki Mertalaya membela tuannya ikut mati. Ki Mertalaya dipenggal kepalanya.
Pemberontakan Pangeran Alit diceritakan oleh Babad Tanah Jawi dengan lebih lengkap. Pangeran Alit adalah adik Raja Amangkurat. Ia tinggal bersama Tumenggung Danupaya. Atas hasutan Tumenggung Pasingsingan Pangeran Alit berniat menduduki tahta kerajaan. Tumenggung Pasingsingan bersama anaknya bersedia menyiapkan prajurit. Rencana itu diketahui oleh Pangeran Purbaya yang melaporkannya kepada raja. Raja sangat murka, maka Tumenggung Pasingsingan dibunuh, kepalanya dibawa ke istana. Anak Tumenggung Pasingsingan yang hendak membela ayahnya juga dibunuh. Raja Amangkurat segera memanggil Pangeran Alit serta memperlihatkan kepala Tumenggung Pasingsingan. Raja Amangkurat berkata kepada Pangeran Alit, ”Itu rupanya orang yang akan mengangkatmu menjadi raja.” Pangeran Alit menghunus kerisnya dan menusuki kepala Tumenggung Pasingsingan. Pangeran Alit mengatakan bahwa ia tidak terlibat dalam rencana Tumenggung Pasingsingan. Sang Raja kemudian meminta Pangeran Alit menyerahkan semua prajuritnya. Oleh karena Pangeran Alit tidak tega kepada semua prajuritnya yang tentu akan dibunuh maka ia berniat melawan Raja. Pangeran Alit mengamuk di alun-alun. Demang Mlaya yang mengingatkannya justru dibunuhnya maka prajurit Sampang menjadi marah dan mengamuk. Akhirnya Pangeran Alit tertusuk oleh kerisnya sendiri dan meninggal dunia (hal. 142-144).

Babad Banyuurip dan Babad Pacina

Babad Banyuurip (XVIII,1 – XIX,26) menceritakan bahwa ketika Kartasura dilumpuhkan oleh prajurit Mas Garendi atau Sunan Kuning, Gagak Prenala III datang menghadap dan menyatakan kesetiaannya kepada Mas Garendi. Sementara itu raja melarikan diri sampai ke lereng Gunung Lawu. Raja ditemui oleh Sunan Lawu, jin penunggu Gunung Lawu. Sunan Lawu mengatakan bahwa ia dan pasukannya akan membantu jika raja bersedia menikah dengan anaknya. Raja bersedia. Kemudian raja dibantu oleh prajurit Magetan dan Ponorogo serta prajurit jin dari Gunung Lawu kembali menyerbu Kartasura. Prajurit Gagak Prenala III bersama prajurit Tumenggung Sujanapura ditugaskan di sebelah timur Bengawan Sala. Pertempuran terjadi dan prajurit Gagak Prenala III kalah. Gagak Prenala III melarikan diri ke arah selatan tetapi terus dikejar oleh prajurit Kartasura. Akhirnya Gagak Prenala III menceburkan diri ke sungai dan meninggal dunia. Sebagian prajurit Gagak Prenala III kembali ke Tanggung.
Menurut Babad Pacina Raden Mas Garendi dinobatkan di Demak oleh Martapura dengan gelar Sunan Amangkurat Mas Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama. Martapura bergelar Tumenggung Sujanapura. Kekuasaan Mas Garendi meliputi daerah Demak, Pati, Kudus, Rembang, Juwana, dan Grobogan. Sunan Kuning kemudian juga menaklukkan Kendeng.
Ketika Kartasura diserbu prajurit Sunan Kuning, Raja, atas saran Kumpeni, melarikan diri ke Surabaya. Di dalam perjalanan rombongan raja bertemu dengan Bupati Magetan yang mengajak mereka beristirahat di Magetan. Raja menginap di Madiun, kemudian ke Ponorogo. Di sini raja menikah dengan anak Adipati Ponorogo.
Kartasura setelah dikuasai oleh Sunan Kuning dipimpin oleh Tumenggung Sujanapura. Ia mengirim utusan ke Pangeran Madura, para bupati Mancanagara diminta supaya takluk saja dan segera menghadap ke Kartasura. Sementara itu prajurit Raja bergerak ke Kartasura dipimpin oleh Bupati Ponorogo. Prajurit Sunan Kuning yang dipimpin Tumenggung Sujanapura kalah tetapi segera datang bantuan prajurit Cina sehingga Raja mundur sampai Nguter. Raja kembali ke Ponorogo dan beristirahat di Gunung Lawu.
Karena hatinya sedih, Raja berpuasa. Pada hari Selasa Kliwon Raja didatangi Sunan Lawu yang bersedia membantu asalkan Raja mau menikah dengan anaknya. Raja bersedia.
Atas bantuan prajurit dari Madura, Kartasura berhasil dikalahkan. Sunan Kuning melarikan diri ke Mataram. Di Mataram Sunan Kuning dibantu prajurit dari Bagelen.

Babad Banyuurip dan Babad Mangir

Babad Banyuurip mengisahkan bahwa Raja Pajang mengangkat Adipati Mangir yang kemudian diperintahkan agar menangkap Dipati Ukur yang memberontak. Adipati Mangir kemudian meminjam pusaka tombak Ki Barukuping kepada Ajar Subrata. Adipati Mangir bersama Adipati Bocor berhasil menangkap Dipati Ukur. Ketika Pajang diganti Mataram, Adipati Mangir tidak mau tunduk kepada Panembahan Senopati. Raja Mataram kemudian berusaha menangkap Adipati Mangir dengan cara tidak langsung, yakni dengan cara memikat hati Adipati Mangir melalui anak gadisnya, Pembayun, yang menyamar menjadi pengamen keliling. Adipati berhasil dipikat oleh Pembayun. Ketika Adipati Mangir menghadap Panembahan Senopati ia dibunuh oleh tangan Senopati sendiri (XXVI,9 – XXXII,9).
Babad Mangir sebagaimana judulnya menceritakan Ki Ageng Mangir sebagai tokoh sentral. Diceritakan, Ki Ageng Wanabaya membangun desa yang kemudian dipimpinnya. Ki Ageng Wanabaya bergelar Ki Ageng Mangir, walayahnya pun disebut Desa Mangir. Ki Ageng Mangir memiliki pusaka tombak yang sangat sakti, yakni Kiai Barukuping. Tombak sakti itu diwariskan kepada puteranya, yang juga bernama Ki Ageng Mangir (II), ketika puteranya itu menggantikan kedudukan ayahnya. Ki Ageng Wanabaya membangun Desa Mangir dengan mantap sehingga desa itu tumbuh menjadi wilayah yang disegani dan tidak pernah tunduk kepada penguasa di atas wilayah itu.
Sejak awal Ki Ageng Mangir II tidak mau tunduk dan menghadap ke istana Pajang. Keadaan itu tidak berubah sampai meinggalnya Ki Ageng Mangir II dan digantikan puteranya, Ki Ageng Mangir III. Ketika Senopati berkuasa di Mataram, Desa Mangir dikuasai oleh Ki Ageng Mangir III. Menurut Senopati Ki Ageng Mangir yang tidak mau tunduk kepadanya akan mengganggu kekuasaan Mataram, maka Senopati berusaha menundukkan Mangir. Atas saran Adipati Mandaraka, yakni Ki Juru Mertani, usaha menundukkan Mangir akan dilakukan secara halus. Senopati akan memperdaya Ki Ageng Mangir dengan cara mengikatnya dengan pernikahan. Senopati segera memerintahkan Pembayun, anaknya, agar menyamar menjadi dalang keliling untuk memikat hati Ki Ageng Mangir. Keberangkatan Pembayun disertai rombongan dari Mataram yang bertugas menjadi kelompok dalang keliling yang sekaligus menjaga Pembayun.
Ki Ageng Mangir benar-benar terpikat oleh Pembayun. Setelah Ki Ageng Mangir menikahi Pembayun, Pembayun mengaku bahwa ia adalah anak Senopati. Karena kecintaannya kepada Pembayun Ki Ageng Mangir tidak dapat menolak ajakannya untuk datang menghadap ayahnya di istana Mataram. Semula Ki Ageng Mangir agak berat hati dan khawatir akan hal yang tidak diinginkannya, maka ia menyiapkan prajuritnya dan tombaknya selalu di sampingnya.
Setelah Ki Ageng Mangir dan istrinya sampai di depan istana, mereka segera disambut dan diiringkan memasuki istana sebelum diizinkan menghadap raja. Sementara itu para pengikut Ki Ageng Mangir ditempatkan di luar istana sambil dijamu serta dipestakan secara meriah. Sebelum Ki Ageng Mangir diperbolehkan masuk ke penghadapan raja, pusaka Kiai Barukuping yang selalu dibawanya dibujuk untuk tidak dibawa menghadap karena tidak sesuai dengan etika. Ki Ageng Mangir melepaskan tombaknya dengan berat hati. Ki Ageng Mangir segera menghadap Senopati.
Ketika Ki Ageng Mangir menghaturkan sembah kepada Senopati dan hendak mencium lutut Senopati, Senopati menggeser lututnya dan dengan cepat kepala Ki Ageng Mangir dibenturkan pada batu gilang yang didudukinya sehingga Ki Ageng Mangir mati seketika.
Berbeda dengan Babad Banyuurip, Babad Mangir menceritakan asal-usul tombak Kiai Barukuping secara mistis.Ketika Ki Ageng Wanabaya bertapa , datanglah seorang gadis meminjam pisau kepadanya untuk membantu kerja di tempat tetangga yang punya hajat. Gadis itu secara tidak sengaja menduduki pisau milik Ki Ageng Wanabaya, maka ia menjadi hamil. Setelah tiba saatnya gadis itu melahirkan seekor ular. Ketika dewasa ular itu menanyakan siapa ayahnya. Sang ibu pun mengatakan bahwa ayahnya adalah Ki Ageng Wanabaya. Ular yang bernama Baruklinthing itu adalah ular yang sangat besar. Setelah bertemu, Ki Ageng Wanabaya mengatakan bahwa ia mau mengakui ular yang tinggal di Rawa Pening itu sebagai anaknya dengan syarat jika ular itu mampu melingkari Gunung Merbabu dengan tubuhnya. Sang ular berusaha melingkari Gunung Merbabu. Ketika kepalanya tidak berhasil menyentuh ekornya, ular itu menjulurkan lidahnya. Pada saat itulah dengan cepat Ki Ageng Wanabaya memotong lidah Si Ular. Lidah itu kemudian berubah menjadi sebilah tombak yang diberi nama Kiai Barukuping.

Makna Teks dalam Cakrawala Hipogram

Hubungan antara teks dan hipogram menunjukkan bahwa sebagian hipogram ditransformasikan sedangkan sebagian lainnya disimpangi. Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa dan dengan alas an apa Babad Banyuurip menyimpangi hipogramnya.

Perbedaan Sudut Pandang
Penyimpangan Babad Banyuurip atas penyebutan Sunan Geseng sebagai leluhur Adipati Cakranagara (disebut dalam Babad Cakrajaya) disebabkan karena kedua penulis babad memandang Adipati Cakranagara dari sudut pandang yang berbeda. Babad Cakrajaya memandang Adipati Cakranagara dari sudut persamaan nama. Dalam masyarakat Jawa terdapat kebiasaan memakai nama yang sama dengan orang tua atau leluhurnya, yang disebut nunggak semi. Gejala ini tidak saja dilakukan oleh raja-raja dan penguasa tetapi juga oleh kalangan masyarakat luas. Gejala nunggak semi itulah yang menyebabkan penulis Babad Cakrajaya menghubungkan Sunan Geseng dengan Adipati Cakranagara. Berbeda dengan itu, penulis Babad Banyuurip memandang Adipati Cakranagara dari sudut kesaktian dan kesetiaannya dalam mengabdi.
Demikian juga hipogram yang menyebutkan hal-hal secara umum dan Babad Banyuurip menyebutkan secara rinci adalah juga karena sudut pandang yang berbeda. Hal itu tampak misalnya Babad Pacina menyebutkan bahwa dalam pelariannya di Mataram Sunan Kuning dibantu oleh orang-orang Bagelen, sedangkan Babad Banyuurip menjelaskan Gagak Prenala III-lah yang membantu Sunan Kuning. Gejala yang sama terjadi dalam episode pemberontakan Pangeran Alit, Pangeran Puger menjadi raja di Jenar, dan penyerbuan Dipati Ukur.
Jika Babad Banyuurip mengisahkan Adipati Mangir diangkat oleh Raja Pajang, hal itu harus dipandang dalam kerangka untuk membangun tema keseluruhan Babad Banyuurip, yakni kesaktian dan kesetiaan dalam pengabdian. Babad Banyuurip menyimpangi Babad Mangir karena mengejar kesatuan struktural.
Selain itu, menurut Babad Banyuurip asal-usul Ki Ageng Mangir bukanlah dari desa Mangiran di Bantul, melainkan dari dusun Wanabaya Desa Ngombol Kecamatan purwodadi Purworejo. Sampai dengan saat ini orang-orang Wanabaya masih percaya bahwa Ki Ageng Wanabaya yang kemudian bergelar Ki Ageng Mangir I masih sering memperlihatkan diri kepada mereka. Bekas tempat tinggalnya pun masih keramat, maka penulis Babad Banyuurip menggolongkan Ki Ageng Mangir (I) sebagai tokoh Bagelen yang memiliki kesaktian tinggi. Tokoh Ki Ageng Mangir (I) bersama-sama dengan tokoh lain membangun dan mengemban tema sentral Babad Banyuurip.
Nyatalah, bahwa hipogram ditulis dari sudut pandang istana kerajaan sedangkan Babad Banyuurip ditulis berdasarkan sudut pandang lokal desa (Bagelen). Kemungkinan besar Babad Banyuurip ditulis bukan di skriptorium istana oleh pujangga istana melainkan di skriptorium desa oleh penulis lokal.
Sejalan dengan itu, hipogram yang ditulis di skriptorium istana bertujuan untuk melegitimasi raja dan kerajaannya, maka tokoh-tokoh desa tidak dianggap penting sehingga tidak disebut secara detail. Sebaliknya, Babad Banyuurip yang ditulis di skriptorium desa bertujuan untuk melegitimasi kebesaran lokal desa. Oleh karena itu hal-hal yang berhubungan dengan desanya disebut secara rinci. Hubungan antara desa dan istana digunakan untuk mengangkat kebesaran desa. Sejalan dengan itu dapat dipahami jika Babad Banyuurip menceritakan Raden Jambu secara lebih banyak mengacu ke Giriganda daripada sebagai adik Panembahan Senopati yang pasti sangat dekat dengan istana.

Sastra sebagai Mitos

Babad Banyuurip berfungsi member legitimasi kepada Adipati Cakranagara. Legitimasi itu disampaikan melalui pemaparan tokoh-tokoh leluhur Adipati Cakranagara. Semesta tokoh yang menampilkan tokoh-tokoh leluhur yang sakti dan berdedikasi tinggi dalam mengabdi secara tidak langsung dicerminkan pada diri Adipati Cakranagara. Dalam hal ini Babad Banyuurip telah memadatkan bacaan, bacaan pertama yang menangkap arti kesaktian dan kesetiaan pengabdian tokoh-tokoh leluhur, dan bacaan kedua adalah bacaan yang menangkap makna perwatakan Adipati Cakranagara.
Dengan adanya pemadatan bacaan itu sekaligus juga terjadi proses identifikasi diri antara Adipati Cakranagara dengan tokoh-tokoh leluhur Bagelen. Proses identifikasi diri itu terjadi secara mitologis. Penghadiran tokoh-tokoh leluhur itu secara mitologis memiliki fungsi penguatan dan pembenaran atas suatu tindakan dan peristiwa. Dikaitkan dengan tema Babad Banyuurip, maka kehadiran tokoh-tokoh leluhur memiliki fungsi penguatan dan pembenaran kesaktian dan kesetiaan pengabdian Adipati Cakranagara.
Babad Banyuurip dengan demikian adalah mitos, dalam arti sebagai bentuk simbolik tentang bagaimana menginterpretasi pengalaman dan realitas (Cassirer, 1955: 102). Mitos merupakan modus paling awal bagaimana manusia menanggapi dunia. Sebagai modus awal, mitos merupakan landasan untuk selanjutnya berkembang sastra, sejarah, teknik, yang juga merupakan tanggapan manusia atas dunia (Vickery, 1982: 68). Oleh karena itu pada dasarnya sastra adalah mitos, kedua-duanya dianggap mempunyai arti/makna sebagai ide yang diakui masyarakat yang menyebabkan orang membenarkan.
Penciptaan mitos berfungsi sebagai dasar pemahaman atas peristiwa dan nasib. Maka dengan Babad Banyuurip tokoh-tokoh leluhur Adipati Cakranagara tidak hanya dikenang tetapi diaktualkan, di-“hidup”-kan. Tokoh leluhur yang “hidup” kembali, berarti menjadi kini, itulah sebagai dasar pemahaman atas peristiwa yang terjadi.

Penutup
Karya-karya yang berupa mitos bukan berarti tidak bernilai, justru karya yang demikian memberikan informasi bagaimana satu masyarakat berusaha memahami logos dari suatu peristiwa. Pemahaman masyarakat itu ditentukan oleh pandangan dunia masyarakat pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Suatu peristiwa yang sama dengan demikian dapat menghasilkan mitos yang berbeda-beda bila ditanggapi oleh masyarakat yang berbeda pandangan dunianya.
Babad sebagai mitos, sebagai fakta mental, memberikan pemahaman atas peristiwa dengan cara-cara yang khas sesuai dengan tradisi masyarakatnya. Babad dengan demikian tidak harus bersifat historis. Jika masyarakat, terutama para pewaris aktif, menganggap babad menyampaikan peristiwa faktual, hal ini disebabkan karena babad ternaungi oleh sifat mitos sebagai ide yang diakui masyarakat yang menyebabkan orang membenarkan.









DAFTAR PUSTAKA

Babad Mangir, Jilid 1 dan 2. Alih Aksara oleh Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta. Proyek penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Jawa, Depdikbud, Jakarta, 1980.
Babad Pacina, Jilid 1-4. Alih Aksara Moelyono Sastronaryatmo. Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud, Jakarta, 1981.
Babad Tanah Djawi. De prozaversie van Ngabehi Kertapradja voor het eerst uitgegeven door J.J. Meinsma en getranscribeerd door W.L. Olthof. Foris publication, Dordrecht, 1987.
Babad Tjakradjaja. Penerbit Soemodidjojo Mahadewa, Yogyakarta, 1951.
Carey, Peter. 1986. Ekologi Kebudayaan Jawa Dan Kitab Kedung Kebo. Penerbit Pustaka Azet, Jakarta.
Cassirer, Ernst. 1955. The Philosophy of Symbolic Form. Yale University Press, New Heaven.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Indiana University Press, Bloomington and London.
Vickery, John B. 1982. “Literature And Myth”, dalam Jean-Pierre Barricelli and Joseph Gibaldi (ed.). Interrelation of Literature. The Modern Language Association of America, new York.


KISAH PENAKLUKAN GIRI OLEH SULTAN AGUNG

KISAH PENAKLUKAN GIRI OLEH SULTAN AGUNG
(Sketsa Pertentangan Babad Mayor dan Babad Minor)

Oleh: Aloysius Indratmo
(Haluan Sastra Budaya No. 30 Th. XVI Maret 1997 ISBN 0852-0933 h: 42-49)

Pendahuluan
Dalam sejarah Mataram penyerbuan dan penaklukan Sultan Agung atas Sunan Giri merupakan peristiwa yang penting karena dengan penaklukan itu terhapuslah jabatan wali sehingga Sultan Agung duduk sebagai satu-satunya penguasa alam. Berhubung dengan pentingnya tersebut maka banyaklah uraian-uraian historiografi tradisional (babad) yang merekamnya. Uraian ini akan membicarakan peristiwa tersebut berdasarkan apa yang tertulis dalam babad, tidak semua babad yang memuatnya, melainkan hanya berdasarkan dua babad yakni Babad Tanah Jawi (BTJ) dan Babad Jalasutra (BJ). Dipilihnya dua babad tersebut atas alas an: (1) kedua babad menampilkan kisah penaklukan secara berbeda, perbedaan inilah yang akan dijadikan pokok pembicaraan; (2) BTJ adalah babad mayor (Day, 1978: 434) sedangkan BJ adalah babad minor maka terdapat dugaan bahwa perbedaan kisah tersebut sedikit banyak dipengaruhi juga oleh perbedaan kedudukan babadnya.
Pokok uraian ini adalah perbedaan (atau pertentangan) kisah penaklukan Sultan Agung atas Sunan Giri. Perbedaan tersebut pertama-tama akan diperjelas melalui analisis structural, akan tetapi mengingat historiografi tradisional sebagai bagian dari perbendaharaan cultural adalah gambaran dari suatu pandangan dunia (Taufik Abdullah, 1992: 237) maka analisisnya akan dilengkapi dengan analisis asal dan terjadinya (genetic). Jadi secara keseluruhan akan digunakan teori Strukturalisme genetic.

Kisah dalam Babad Mayor dan Babad Minor
Penaklukan Giri oleh Mataramdikisahkan oleh BTJ dalam tidak lebih dari dua halaman, yakni pada halaman 134 dan 135 (dalam edisi Olthof). Episode ini dapat dibagi dalam unit naratif sebagai berikut:
1) Sultan Agung ingin menundukkan Sunan Giri karena seluruh Jawa sudah takluk kepadanya kecuali Sunan Giri;
2) Sultan Agung menunjuk Pangeran Pekik sebagai senopati;
3) Pasukan Mataram menyerbu Giri;
4) Sunan Giri tunduk kepada Sultan Agung.
Berbeda dengan BTJ, BJ sebagai babad minor yang hanya setebal 15 halaman cetak menampilkan kisah penyerbuan Mataram atas Giri pada bagian akhir babad. BJ menguraikannya sebagai berikut:
Amila kajawi kaliyan minangkani ugi saking penuwunipun guru Kiai Ageng Jalasutra inggih Pangeran Penggung, ingkang panuwunipun wau naming kawedhar ing dalem cipta, mila Sang Prabu (Sultan Agung – Pen) kagungan karsa badhe ngicali wontenipun pangkat wali. Gugununganipun para wali nama Sunan Giri lajeng linurugan, para wali kasirnakaken. Punika saking pamalesing ukumipun Pangeran Panggung, margi Pangeran Panggung sampun kapidana tanpa dosa dening para wali, kalebetaken ing brama murub gesang-gesangan (h. 17).
Terjemahan:
Memang selain untuk melaksanakan permintaan guru, yakni Kiai Ageng Jalasutra alias Pangeran Panggung, yang permintaannya itu hanya disampaikan dalam cipta, juga karena Sang Prabu berniat untuk menghapuskan jabatan wali. Ketua para wali yang bernama Sunan Giri lalu diserbu. Yang diutus Pangeran Pekik. Giri dihancurkan, sudah tunduk, para wali dibunuh. Hal itu dikarenakan oleh dendam Pangeran Panggung, karena Pangeran Panggung sudah dihukum walau tanpa dosa oleh para wali, yakni dibakar hidup-hidup.

Peristiwa yang sama ternyata dapat muncul dalam bentuk kisah yang berbeda. Perbedaan pengisahan dalam dua babad di atas terutama terletak pada alasan penyerbuan Sultan Agung pada Giri. BTJ mengisahkan alas an penyerbuan itu sebagai perluasan kekuasaan Sultan Agung. Di lain pihak, BJ mengisahkan penyerbuan itu karena: (1) untuk memenuhi permintaan guru; (2) ingin menghapus wali; dan (3) sebagai karma atas tindakan para wali yang telah menghukum Pangeran Panggung.
Alasan yang disampaikan dalam BJ mendudukkan Kiai Ageng Jalasutra pada posisi yang sangat penting, Kiai Ageng Jalasutralah yang meminta Sultan Agung untuk menggempur Giri. Permintaan Kiai Ageng Jalasutra itu dilatarbelakangi oleh adanya dendam kepada para wali.
Untuk mengetahui mengapa sampai timbul rasa dendam dalam diri Kiai Ageng Jalasutra dapat disimak dalam keseluruhan kisah BJ, di sini akan ditampilkan dalam bentuk unit naratif sebagai berikut:
1) Silsilah Kiai Ageng Jalasutra adalah murid Seh Siti Jenar;
2) Pembunuhan Seh Siti Jenar
- Kiai Ageng Jalasutra berguru kepada Seh Siti Jenar
- Seh Siti Jenar dibunuh oleh para wali
- Kiai Ageng Jalasutra mendendam para wali
3) Kiai Ageng Jalasutra mbalela
- Kiai Ageng Jalasutra mendirikan perguruan
- Kiai Ageng Jalasutra mengajarkan ilmu makrifat
- Sultan Demak marah kepada Kiai Ageng Jalasutra
4) Kiai Ageng Jalasutra dihukum bakar
- Kiai Ageng Jalasutra dipanggil Sultan Demak
- Kiai Ageng Jalasutra dihukum bakar
- Di dalam api Kiai Ageng Jalasutra menulis Suluk Malangsumirang
- Kiai Ageng Jalasutra terbebas dari maut
5) Kiai Ageng Jalasutra mengembara
- Kiai Ageng Jalasutra bertemu dengan Ki Cakrajaya
- Ki Cakrajaya berguru kepada Kiai Ageng Jalasutra
- Kiai Ageng Jalasutra mendirikan perguruan di Bengkung
- Ki Cakrajaya mendirikan perguruan di Loano
- Kiai Ageng Jalasutra pindah ke Gunung Jalasutra
6) Kelahiran Sultan Agung
- Kiai Ageng Jalasutra meramalkan kelahiran raja besar Mataram sebagai pewaris ilmu makrifat
- Permaisuri raja Mataram mengidam badher bang asisik kencana
- Kiai Ageng Jalasutra menangkap badher bang asisik kencana
- Kiai Ageng Jalasutra mempersembahkan badher bang asisik kencana kepada permaisuri
7) Kiai Ageng Jalasutra mewariskan ilmu makrigat kepada Sultan Agung
- Sultan Agung mewarisi ilmu makrifat dari Kiai Ageng Jalasutra
- Sultan Agung menyerang Giri

Letak Perbedaan
Perbedaan alas an penyerbuan Sultan Agung ke Giri dalam kedua babad tersebut bukanlah hanya terletak pada perbedaan fibula dan sjuzet (Kunne-Ibsch, 1977: 18), bukan pula pada perbedaan cariyos dan ungel. Perbedaan alasan penyerbuan Giri oleh Sultan Agung dalam BTJ dan BJ sudah menyangkut pada tataran balungan, yakni the basic thematic structure (Day, 1978: 448). Oleh karena letak perbedaan berada pada tingkat balungan maka masing-masing babad juga menampilkan kernels yakni the action by opening an alternative (Rimmon-Kenan, 1983: 16) yang berbeda.
Dalam peristiwa penyerbuan Sultan Agung ke Giri BTJ menampilkan kernels langsung pada keinginan Sultan Agung untuk menyerbu Giri agar kekuasaannya menjadi sempurna. Berbeda dengan itu BJ menampilkan kernels jauh di awal kisah, yakni pada rasa dendam Kiai Ageng Jalasutra kepada para wali yang sudah membunuh Seh Siti Jenar.
Dalam sebuah naratif selalu ditampilkan rangkaian peristiwa, maka kernels juga selalu diikuti oleh catalysts, yakni the expand, amplify, maintain of delay the former (Rimmon-Kenan, 1983: 16). BTJ dalam hal ini menampilkan hubungan yang sangat erat dan langsung antara kernels dan catalysts karena catalysts yang muncul adalah penunjukan Pangeran Pekik sebagai pimpinan pasukan penyerbuan Giri dan penaklukan Giri. Di dalam BJ hubungan antara kernels dan peristiwa penyerbuan Giri dapat dikatakan cukup kurang langsung. Catalists yang ditampilkan oleh BJ dengan demikian dapat dikatakan cukup berbelit. Catalists dalam BJ meliputi peristiwa-peristiwa: Kiai Ageng Jalasutra mbalela, dihukum bakar, mengembara, mendirikan perguruan dan menjadi guru makrifat, pewarisan ilmu kepada Sultan Agung, barulah pada penyerbuan Giri.
Sejalan dengan hubungan kernels dan catalysts dalam BJ dapatlah dipahami mengapa babad ini menampilkan alas an penyerbuan ke Giri oleh Sultan Agung sebagai tindakan bakti murid kepada guru, dalam arti membalaskan dendam guru. Oleh karena itu BJ mendudukkan Kiai Ageng Jalasutra sebagai tokoh utama sedangkan Sultan Agung sebagai tokoh bawahan. Berbeda dengan itu, BTJ mendudukkan Sultan Agung sebagai tokoh utama atau tokoh sentral.

Dekonstruksi Model Penulis Jawa
Deconstruction adalah gerakan permenungan sastra yang tergolong poststructuralism, ia disusun orang bukan atas dasar penelitian empiric. Dalam “Preface” untuk bukunya yang berjudul On Deconstruction, Culler menulis sebagai berikut:
This book is sequel to my Structuralist Poetics, though both the method and conclusions are different. Structuralist Poetics set out to survey comprehensively a body of critical and theoretical writings, to identify their most valuable proposals and achievements, and to introduce them to English and American audience that had little interest in continental criticism. Today the situation had changed. Introductions have been performed and quarrels have broken out. To write about critical theory at the beginning of the 1980s is no longer to introduce unfamiliar questions, methods, and principles, but to intervene in a lively and confusing debate (1983: 7).
Pendapat Culler ini diperkuat oleh Lodge (1986: 143) yang menyatakan bahwa sebagai salah satu bentuk poststrukturalisme, dekonstruksi bertumpu bukan pada penelitian empiric melainkan permenungan ideologik.
Yang dimaksud dengan dekonstruksi adalah membalikkan pusat atau centre, yang dapat pula berarti membalikkan struktur hirarki. Menurut Derrida sebagaimana dikutip Selden (1986: 84) pusat dibutuhkan orang karena tuntutan akan jaminan Beeing as presence, misalnya pusat kehadiran manusia adalah “saya”.
Dalam hal Negara Jawa maka raja memiliki kedudukan sebagai pusat mikrokosmos Negara dan puncak hirarki-status dalam Negara (Soemarsaid, 1985: 34). Sejalan dengan itulah maka BTJ mendudukkan Sultan Agung sebagai tokoh sentral dalam episode penaklukan Giri. Kedudukan Sultan Agung tersebut kemudian didekonstruksi oleh BJ yang mendudukkan Sultan Agung hanya sebagai tokoh bawahan sedangkan tokoh sentralnya adalah Kiai Ageng Jalasutra. Dengan kata lain, penulis BJ telah mendekonstruksi ideologi yang berkembang di masyarakat Jawa bahwa raja adalah pusat sekaligus puncak hirarki-status dalam kerajaan. Sehingga yang sebenarnya didekonstruksi oleh penulis BJ bukanlah BTJ melainkan ideologi masyarakat Jawa yang berkembang saat ini.
Jika dalam Filologi Teeuw (1991: 216) menyebut para penyalin naskah Jawa sebagai “Philologists avant la letter”, dapatkah penulis BJ ini disebut sebagai tokoh dekonstruksi avant la letter, yakni tokoh yang perpaham dekonstruksi sebelum istilah dekonstruksi itu sendiri muncul?

Pandangan Dunia yang Berbeda
BTJ ditulis di Surakarta pada suatu waktu antara tahun 1788 dan 1836, salinan yang kini dapat dijumpai ditulis pada tahun 1836, dalam bentuk prosa yang lebih singkat diedit oleh Meinsma dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1874 (Ricklefs, 1972: 295). Dengan demikian tak dapat disangsikan lagi bahwa BTJ ditulis oleh pujangga kraton. Sebagai pujangga kraton maka penulis BTJ secara sadar atau pun tidak, memiliki pandangan dunia yang sejalan dengan pandangan masyarakat kraton pada umumnya, yang kemudian ditetapkan sebagai pandangan dunia masyarakat Jawa. Berkaitan dengan kedudukan raja, pujangga ini tentu mengakui dan mengangkat raja sebagai penguasa tertinggi dan sebagai pusat Negara dan dunia. Pandangan dunia inilah yang membentuk struktur naratif BTJ, yang mendudukkan Sultan Agung sebagai tokoh sentral dalam penyerbuan Giri.
Berbeda dengan BTJ, BJ sampai saat ini belum diketahui kapan dan di mana ditulis, demikian juga siapa penulisnya. Akan tetapi dengan menyimak isinya, lebih-lebih keberaniannya untuk mendekonstruksi kedudukan Sultan Agung, dapatlah dipastikan bahwa BJ tidak ditulis di palace scriptorium. Jadi dapat dipastikan BJ ditulis di scriptorium desa di luar kraton, yang tidak terlalu terikat oeh kraton, mungkin semacam perdikan. Sebagai penulis perdikan penulis BJ tidak merasa perlu mengangkat raja sebagai pusat junjungan. Baginya penguasa perdikan itulah pusat dunianya, dalam hal ini Kiai Ageng Jalasutralah yang didudukkan sebagai tokoh sentral mengatasi Sultan Agung.
Perdikan tempat penulisan BJ tentu juga bukan di daerah pesisiran. Dari konflik yang ditampilkan oleh BJ tampaklah adanya pertentangan antara Kiai Ageng Jalasutra melawan para wali, termasuk Sunan Giri. Jika dapat dikatakan Kiai Ageng Jalasutra mewakili Islam pedalaman yang mengembangkan Islam Makrifat, maka Sunan Giri mewakili Islam Pesisiran yang mengembangkan Islam Syariat. Jadi BJ ini ditulis oleh pengarang dalam lingkungan masyarakat Islam pedalaman yang berpandangan dunia bahwa Islam Makrifat tidak pernah kalah oleh Islam Syariat.

Penutup
Struktur naratif dibentuk berdasarkan suatu tujuan tertentu. BTJ ditulis antara lain untuk memuliakan kebesaran raja sebagai penguasa dunia. BJ ditulis untuk suatu “kemenangan”. Dengan ditulisnya BJ pihak-pihak yang merasa pernah dikalahkan akan merasa puas karena telah berhasil mencapai kemenangan. Masyarakat yang ingin menang inilah yang melatarbelakangi penulisan BJ.

DAFTAR PUSTAKA
Babad Jalasutra. Yogyakarta: Soemodidjojo Maha Dewa, 1956.
Babad Tanah Djawi, de prozaversie van Ngabehi Kertapradja voor het eerst uitgegeven door JJ Meinsma en getranscribeerd door WL Olthof. Dordrect: Foris Publication, 1987.
Culler, Jonathan. 1983. On Deconstruction. New York: Cornell University Press.
Day, Anthony. 1978. “Babad Kandha, Babad Kraton and Variation in Modern Javanese Literature”, Bijdragen tot de Yaal-Land-en Volkenkunde, Deel 134.
Kunne-Ibsch, DW Fokkema. 1977. Theories of literature in the Twentieth Century. London: C. Hurst and Company.
Lodge, David. 1986. Working with structuralism. London: Arnold.
Riclefs, M. C. 1972. “A Consideration of Three Version of The Babad Tanah Djawi, with Excerption the Fall of Madjapahit”. Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 35 Part 2.
Rimmon-Kenan, Shlomith. 1983. Narrative Fiction: Contemporary Poetics. London: Methuen.
Selden, Raman. 1986. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. Brighton: The Harvester Press.
Soemarsaid Moertono. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Taufik Abdulah. 1992. “Dari Sejarah Lokal ke Kesadaran Nasional: Beberapa Problematik Metodologis”, dalam Ibrahim Alfian et. Al. (ed.). Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Teeuw, A. 1991. “The Text” dalam JJ Ras and S.O. Robson (ed.). Variation, Transformation and Meaning, Studies of Indonesian Literatures in Honour of A. Teeuw. Leiden: KITLV Press.

Sabtu, 06 Maret 2010

BEDAYA KETAWANG DAN LATAR BELAKANG IDEOLOGINYA

TARIAN RITUAL BEDHAYA KETAWANG
DAN LATAR BELAKANG IDEOLOGINYA

Oleh: Aloysius Indratmo



1. Pendahuluan
Masyarakat Jawa mengenal beberapa seni pertunjukan ritual, yakni meliputi seni pertunjukan tari, musik, teater, dan resitasi. Adapun ciri-ciri pertunjukan ritual adalah: diselenggarakan pada waktu yang terpilih, dilakukan pada tempat yang terpilih, dilakukan oleh penyaji yang terpilih, dan diperlukan pula berbagai sesaji (Soedarsono, 1991: 41).
Tari Jawa yang dikenal sampai sekarang pada garis besarnya terdiri atas tradisi/gaya Surakarta dan Yogyakarta. Gaya adalah sifat pembawaan tari, yang meliputi cara-cara bergerak tertentu yang merupakan ciri pengenal dari gaya yang bersangkutan (Edi Sedyawati, 1981: 4). Sebenarnya, kalau dilihat dari elemen-elemen geraknya, dapat dikatakan bahwa tak ada perbedaan antara gaya Surakarta dan Yogyakarta. Hanya dalam pelaksanaan teknis serta penyajiannya yang agak berbeda. Gaya Yogyakarta lebih bersifat klasik sedangkan gaya Surakarta sudah mengarah ke gaya romantik (Soedarsono, 1972: 59). Oleh karena itulah dapat dikatakan, bahwa tari gaya Surakarta dan Yogyakarta memiliki ciri umum yang sama. Ciri-ciri tersebut antara lain adalah sikap dada yang tegap, langkah-langkah yang tenang terukur, gerak-gerak lengan dengan variasi arah yang luas tetapi dengan posisi stabil pada siku, gerak serba halus tertahan, gerak-gerak leher yang terolah dalam berbagai variasi, penggunaan selendang untuk memperluas kemungkinan bentuk, serta mimik yang tenang tak “dimainkan”.
Seni pertunjukan ritual yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat tersebut. Demikian juga seni tradisonal Jawa, juga merupakan bagian dari kebudayaan Jawa. Tarian ritual Jawa lahir dari rahim kebudayaan Jawa dan sekaligus mendukung dan menjadi bagian kebudayaan Jawa. Pusat kebudayaan Jawa adalah kraton dengan raja sebagai penguasa tunggal, maka dalam pandangan Jawa rajalah sebagai pengampu kebudayaan Jawa.
Pandangan masyarakat Jawa mengenai kedudukan raja itu tampak di dalam tradisi sastra yang menyertai asal-usul penciptaan tari. Tari-tarian Jawa yang dikenal sampai sekarang menurut tradisi sastranya merupakan ciptaan raja-raja Mataram, seperti Panembahan Senopati, Sultan Agung, Hamengku Buwana I, dan lain-lain.
Sebagai suatu karya cipta, seni tari tak dapat dipisahkan dari pandangan dunia (world view) penciptanya. Suatu seni tari dicipta oleh penciptanya melalui renungan yang panjang. Renungan pencipta ini dipengaruhi, bahkan diarahkan oleh pandangan dunianya. Sedangkan padangan dunia pencipta ini dibentuk oleh kebudayaan masyarakatnya. Oleh karena itu tarian Jawa berbeda dengan tarian Minangkabau atau Irian Jaya oleh karena pandangan dunia Jawa berbeda dengan pandangan dunia masyarakat Minangkabau maupun Irian Jaya. Dengan demikian untuk memahami suatu tarian daerah haruslah dikaitkan dengan pandangan dunia masyarakat pendukungnya.
Jika suatu tarian dipandang sebagai suatu tanda atau rangkaian tanda-tanda maka dia dicipta berdasarkan titik tolak pemikiran ideologis tertentu. Oleh karena itulah di dalam sebuah tanda (atau teks) terdapat suatu ideologi (Zoest, 1992: 104-105). Sejalan dengan itu maka di dalam menginterpretasikan sebuah karya seni haruslah sampai pada permasalahan ideologi.
Kebudayaan Jawa dalam sejarahnya sangat banyak mendapat pengaruh asing. Pengaruh asing tersebut antara lain berasal dari India, Arab, dan Barat. Secara berturut-turut pengaruh India membentuk ideologi Hindu-Budha, pengaruh Arab membentuk ideologi Islam, sedangkan pengaruh Barat membentuk ideologi modern. Meskipan masyarakat Jawa telah berhasil meramu pengaruh asing itu manjadi satu kesatuan utuh, akan tetapi unsur-unsur budaya asing itu masih dapat dikenali jejaknya.

2. Bedhaya Ketawang dan Sakti Raja
Bedhaya Ketawang merupakan tarian sakral yang tertua (Nusjirwan, 1967: 31) merupakan pusaka kraton Kasunanan yang konon dicipta oleh Sultan Agung (Soedarsono, 1991: 37-38). Pertunjukan Bedhaya Ketawang diselenggarakan pada upacara Abhiseka Krama atau Jumenengan Dalem (Penobatan raja) atau pada saat Tingalan Jumenengan Dalem (ulang tahun penobatan raja). Pada saat ini kraton Surakarta menyelenggarakan pertunjukan Bedhaya Ketawang setahun sekali, yakni pada hari kedua bulan Ruwah. Tanggal ini merupakan tanggal ketika Susuhunan Paku Buwana XII naik tahta.
Upacara Tingalan Jumenengan Dalem ini sifatnya agak tertutup dan pribadi. Tempat pelaksanaannya di pendapa Sasanasewaka dan para putri duduk di dalem Prabasuyasa. Berhubung sifatnya yang pribadi itu, maka sesudah upacara resmi berakhir residen dan para tamu undangan lainnya segera meninggalkan tempat pasamuan, sehingga tarian Bedhaya Ketawang itu hanya disaksikan oleh Sunan bersama keluarga, kerabat, dan para abda dalem saja. Keadaaan ini berubah ketika pada tahun 1920 Sunan mengizinkan permohonan Residen Harloff untuk ikut menyaksikan tarian sakral ritual itu (Darsiti, 1980: 152).
Bedhaya Ketawang, sebuah pusaka kraton yang ditarikan oleh sembilan orang gadis di dalam kraton Surakarta, seperti halnya Bedhaya Semang untuk kraton Yogyakarta, berkedudukan lebih tinggi daripada berbagai macam tarian bedhaya lainnya. Kesembilan penari itu mengenakan kostum yang sama, yakni busana basahan pengantin puteri yang akan dipertemukan (Hadiwidjojo, 1978: 45) dan menarikan tipe tari puteri yang sama. Ketika menari kesembilan puteri itu haruslah dalam keadaan bersih, dalam arti tidak sedang menstruasi.
Bedhaya Ketawang ini melambangkan pertemuan mistis antara Senopati, raja pertama Mataram dengan Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan. Babad Tanah Djawi menyebutkan, bahwa ketika Senopati bertapa di pantai Laut Selatan untuk menambah kekuatan batinnya agar kelak dapat naik tahta Mataram, air laut mendidih. Kanjeng Ratu Kidul sangat cemas dan segera menemui Senopati. Seraya menyembah Ratu Kidul memohon agar meditasi Senopati dihentikan. Kanjeng Ratu Kidul menjajikan bahwa permohonan Senopati agar kelak menjadi raja Mataram akan terkabul, bahkan keturunannya juga akan menjadi penguasa tanah Jawa tanpa tanding. Kanjeng Ratu Kidul menjanjikan bala bantuan para jin dan makhluk tak kasat mata untuk menjaga keselamatan Senopati dan keturunannya (BTJ, 1941: 77-79). Dalam pertemuan itu keduanya saling jatuh cinta dan terjadilah perkawinan sakral.
Perkawinan sakral antara Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul kemudian diwariskan kepada anak cucu Senopati, sehingga semua raja-raja Mataram keturunan Senopati akan menjadi suami Kajeng Ratu Kidul.
Ideologi yang menjadi latar belakang penciptaan Tarian Pusaka Bedhaya Ketawang dapat ditelusuri pada unsur yang berkaitan dengan nilai sembilan, yakni jumlah penari Bedhaya Ketawang tersebut.
Dalam alam pikiran Jawa nilai atau bilangan sembilan memang mempunyai arti yang penting. Kanjeng Brongtodiningrat (dalam Soedarsono, 1984: 80) menyatakan, bahwa jumlah sembilan dalam tari Bedhaya Ketawang adalah merupakan lambang babahan hawa sanga, yakni sembilan lubang dalam badan jasmani manusia, sebagaimana kraton juga memiliki sembilan pintu utama. Sedangkan bentuk rakit lajur-nya dipandang sangat erat hubungannya dengan gambaran bentuk jasmani manusia. Dalam hal ini bagian kepala dilambangkan dengan Endel dan Batak, leher dilambangkan dengan Jangga. Bagian badan dilambangkan oleh peran Dhadha, dan Buntil melambangkan organ sex. Apit Ngajeng dan Apit Wingking melambangkan tangan kanan dan kiri. Sementara Endhel Wedalan Ngajeng dan Endhel Wedalan Wingking merupakan simbol kaki kanan dan kiri.
Kanjeng Brongtodiningrat telah memberikan tafsiran atas nilai sembilan dalam tari Bedhaya Ketawang. Akan tetapi benarkah tari Bedhaya Ketawang dengan sembilan peran fungsionalnya itu hanya sekedar melambangkan tubuh jasmani manusia dan sembilan lubangnya? Lalu apa hubungannya dengan upacara penobatan raja? Serta mengapa dianggap sebagai pusaka?
Jawaban akan pertanyaan-pertanyaan itu agaknya harus ditelusuri lebih jauh di dalam kebudayaan Jawa yang lebih tua, pada kebudayaan Jawa semasa pengaruh Hindu masih kentara.
Di dalam pandangan agama Hindu seluruh alam semesta ini terbagi menjadi sembilan arah mata angin yang disebut nawa yonyatmaka. Hal ini disimbolkan dalam bentuk Cakra, yakni simbol yang berbentuk lingkaran terbagi delapan dengan pusat lingkaran merupakan titik (arah) yang kesembilan, yakni yang merupakan inti pusat cakra. Dalam hal ini eksistensi nawa yonyatmaka sebenarnya terdiri atas sembilan jenis adhara atau sembilan jenis sikap yang disebut nawadhara. Dari nawadhara inilah kemudian lahir sembilan jenis sakti yang dikenal dengan istilah nawa natha atau sembilan penari (Pudja, 1976: 52).
Dalam tradisi kepercayaan Hindu kehadiran sembilan jenis sakti dalam bentuk penari tersebut tak dapat dipisahkan dari keberadaan Siwa, karena dalam kepercayaan Hindu, Siwa adalah Nataraja atau raja dari para penari. Siwa adalah yogi yang paling menonjol di antara para dewa, yang sekaligus juga merupakan the master of dance. Dengan tariannyalah Siwa telah menciptakan alam semesta (Soedarsono, 1972: 30).
Sehubungan dengan itu dapatlah dikatakan, bahwa nawadhara adalah merupakan sembilan jenis sikap gerak baku (mudra) yang dilakukan Siwa pada saat menari. Kesembilan adhara tersebut adalah akula, muladhara, swadhistana, manipura, anahata, wisudha, lambhika, ajna, serta bindu (Pudja, 1976: 53). Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa lahirnya sembilan jenis sakti yang berupa sembilan penari (nawa natha) tersebut merupakan akibat dari aktivitas gerak (tari) Siwa pada saat utpatti atau mencipta atau penciptaan alam semesta.
Menurut kepercayaan Hindu-Bali, pembagian alam semesta menjadi nawa jonyatmaka tersebut dianggap sangat erat hubungannya dengan para dewa dalam alam semesta beserta kesepuluh simbol aksaranya (dasa aksara) yakni: Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, dan Ya. Di dalam cakra aksara kelima (I) berada di dalam satu tempat kedudukan dengan aksara kesepuluh (Ya), yakni pada pusat cakra, titik yang kesembilan (Goris, 1986: 18).
Sementara di dalam Nyasa Nawa Sakti, salah satu mantra Hindu, semakin ditegaskan bahwa kedudukan sembilan dewa dalam sembilan arah mata angin adalah merupakan lambang dari kemahakuasaan Tuhan sendiri. Para dewa tersebut senantiasa berada dalam satu kesatuan dengan para saktinya. Siwa (Iswara) senantiasa berada dalam satu kesatuan dengan Umapatti, Brahma dengan Saraswati, dan Wisnu dengan Sri (Pudja, 1976: 193).
Di dalam candi-candi Hindu-Jawa persatuan dewa dengan sakti itu dilambangkan dengan persatuan Lingga dan Yoni.
Hal itu menunjukkan bahwa dalam paham Hindu-Jawa Siwa dianggap senantiasa berada dalam satu kesatuan dengan saktinya, yakni Umapatti atau Durga. Hanya dalam persatuan itulah alam semesta akan berada dalam suatu keseimbangan yang harmonis, subur, dan kuat sentausa.
Jika ditelusur secara seksama, maka secara historis perkembangan alam pikiran Jawa sangatlah banyak dipengaruhi oleh pola-pola pikiran Hindu. Sedangkan kepercayaan Hindu yang banyak mempengaruhi alam pikiran Jawa itu lebih banyak bersifat Siwaistis. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya peninggalan candi-candi Hindu di Jawa, seperti Candi Dieng dan Prambanan. Selain itu, munculnya konsep raja-dewa (raja sebagai pengejawantahan dewa di dunia) yang semakin berkembang pada saat pemerintahan kerajaan Hindu di Jawa Timur semakin menegaskan besarnya pengaruh Siwaisme di Jawa. Menurut kebiasaannya, raja yang telah wafat dan dicandikan akan senantiasa diperdewa, sementara arcanya diletakkan di candi makam.
Suatu contoh, seperti disebutkan dalam Negarakretagama pupuh 43 bait 6, di candi makam Sagala terdapat arca Ardhanareswara, sebuah arca dwitunggal sebagai lambang kesatuan raja Kertanegara dengan Bajradewi. Di sini Ardhanareswara diwujudkan dalam bentuk (simbol) kesatuan Siwa dengan saktinya Dewi Parwati (Slamet Mulyono, 1979: 226).
Timbulnya pemujaan terhadap kesatuan antara Siwa dan saktinya, antara lingga dan yoni, menunjukkan bahwa hakikat kesatuan antara pria dan wanita adalah sebagai perbuatan yang suci mulia yang bermutu sangat tinggi dalam keagamaan. Demikian pula tentunya antara raja dengan permaisurinya atau saktinya. Dalam konsep kerajaan, permaisuri adalah sakti raja. Oleh karena itu jika dalam penyajiannya tari Bedhaya Ketawang, hakikat kehadiran Sunan adalah sebagai saksi tunggal dari dan untuk sajian tari tersebut, maka tentunya tari Bedaya Ketawang mempunyai hubungan yang sangat khusus dengan Sunan. Tari Bedhaya Ketawang itu tentu berfungsi sangat penting bagi Sunan dan keluarga istana. Hal ini akan semakin jelas dalam penghayatan terhadap tradisi penyajian tari Bedhaya Ketawang. Bedhaya pusaka ini senantiasa disajikan sebagai bagian yang amat penting dalam upacara penobatan seseorang menjadi raja di kraton Surakarta.
Bagi seorang raja, saat penobatan adalah peristiwa yang paling penting dari seluruh masa kelahirannya sebagai raja. Sehinga dalam ritus kenegaraan ini, Bedhaya Ketawang tak dapat dilepaskan dari fungsinya sebagai regalia. Sebagai pusaka kerajaan yang tuahnya akan senantiasa memberikan keteguhan terhadap kekuatan dan kekuasaan Sunan, serta kesejahteraan bagi negaranya. Fungsi Bedhaya Ketawang dengan demikian sama seperti fungsi sakti bagi Siwa. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa Bedhaya Ketawang merupakan sakti bagi Sunan.
Jika Bedhaya Ketawang menceritakan pertemuan mistis dan perkawinan sakral antara raja keturunan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul, maka itu berarti suatu persatuan antara Siwa dengan sakti, persatuan antara lingga dengan yoni. Hanya dalam persatuan ini alam semesta akan berada dalam suatu keseimbangan yang harmonis, subur, sejahtera, dan kuat sentausa. Sejalan dengan itu, maka Ratu Kidul pada hakikatnya adalah sakti bagi raja-raja Mataram hingga raja-raja Surakarta dan Yogyakarta.

3. Pemujaan Siwa dalam Tradisi Surakarta
Seperti telah disebutkan di depan, hubungan Siwa dengan Umapatti adalah hubungan antara dewa dengan sakti, sebagaimana hubungan antara lingga dan yoni yang harus tetap bersatu untuk mendapatkan keseimbangan yang harmonis dan sejahtera.
Kraton Surakarta juga memiliki tradisi pemujaan terhadap Bethari Durga yang dianggap sebagai penguasa mata angin arah utara, yang berkedudukan di hutan Krendhawahana. Labuhan kepada Bethari Durga dilakukan setiap tahun, yang disebut sebagai selamatan Mahesalawung. Sesaji ini dilangsungkan pada hari Senin atau Kamis terakhir bulan Rabingulakir dan ditujukan untuk keselamatan dan kemakmuran kerajaan Surakarta dan seluruh isinya (Darsiti, 1989: 155-156).
Dalam hubungannya dengan sesaji Mahesalawung ini, Sitihinggil kraton dianggap sebagai kedudukan Siwa (Kusumotanoyo, 1992: 35) dan sesajian yang akan dipersembahkan kepada Bethari Durga itu sebelumnya harus disemayamkan semalam suntuk di Sitihinggil. Doa yang disampaikan dalam upacara itu merupakan doa Budha-Jawa, yakni Rajah Kalacakra (Kusumotanoyo, 1992: 49). Ajaran Kalacakra adalah salah satu dari bentuk-bentuk Budhisme yang amat dipengaruhi oleh Bhagawatisme (Moens, 1986: 8).
Gambaran Siwaisme yang lebih tua muncul dalam para penari Canthangbalung. Canthangbalung hanya muncul pada saat upacara Garebeg Maulud tahun Dal. Pada masa pemerintahan Paku Buwana X Canthangbalung termasuk abdi dalem golongan Kridhastama dengan tugas membuat orang lain menjadi gembira. Disebut Canthangbalung karena mereka membawa kepyak dari tulang yang diselipkan pada jari-jari tangan dan selalu dibunyikan: “crek-crek-crek”. Dua pasang Canthangbalung berpangkat lurah dan jajar kiwa-tengen mengenakan kostum yang mencolok. Tugas Canthangbalung adalah mengiringkan gunungan yang dibawa ke masjid pada setiap upacara Garebeg Mulud dan sesudah sampai di gapura masjid mereka kembali ke Sitihinggil. Jika Sunan kembali ke kedhaton, gendhing yang mengiringi adalah gendhing Kancil Belik atau Udanarum, atau Undur-undur Kajogan secara bergantian setiap Garebeg. Pada waktu itu Canthangbalung menarikan tarian Gajah Ngombe di depan bangsal Angun-angun. Tangan kirinya selalu membunyikan kepyak, sedang tangan kanannya memegang gelas berisi minuman. Pada setiap saat gong berbunyi, ia meminum gelas itu.
Mengenai Canthangbalung ini Darsiti Suratman (1989: 147) berpendapat sebagai berikut. Pertama, kedudukan Canthangbalung sebagai pimpinan pengiring sajian suci ke tempat ibadat, mewajibkan mereka mengikuti iring-iringan gunungan sampai ke halaman masjid. Dodot yang dikenakan kedua lurah itu bermotif tambal sedangkan dodot kedua jajar berupa sindur, yaitu warna merah dengan putih di tepi. Sejak zaman dahulu orang Jawa menganggap sindur itu suci. Dengan demikian maka baik sajian yang berupa gunungan, pemimpin rombongan pengiring, maupun tempat yang dituju semuanya serba suci. Inilah peranan Canthangbalung sebagai “brahmana”.
Kedua, karena kedudukan Canthangbalung sebagai abdi dalem niyaga, maka semula setiap hari Sabtu sore mereka bertugas mengiringi permainan watangan dengan gamelan. Sesudah permainan itu dihapus pada awal abad XIX, sebagai gantinya mereka berkedudukan sebagai jajar bertugas menari di depan bangsal Angun-angun pada waktu raja berjalan meninggalkan Sitihinggil menuju kedhaton. Canthangbalung memiliki hubungan yang erat dengan para tandak, baik di dalam maupun di luar kedhaton. Para lurahnya sering menjadi perantara masuknya tandhak-tandhak desa ke kraton untuk menjadi abdi dalem.
Ketiga, sebagai abdi dalem kridhastama Canthangbalung bertugas membuat lelucon, agar orang lain menjadi gembira. Sebagai punakawan, Canthangbalung mempunyai kebebasan untuk mengatakan segala sesuatu yang mereka inginkan, dan dilaksanakan lewat kedudukannya sebagai badut. Pada lelucon itu sering dilontarkan kritik sosial. Serta jumlah Canthangbalung itu mengikuti konsepsi klasifikasi yang saling melengkapi.
Moens (1986: 11) memberi gambaran Canthangbalung yang agak lain sebagai berikut. Canthangbalung adalah dua badut berjanggut, yang bagian atas badannya telanjang dan diborehi belang-belang kuning. Tugas mereka adalah untuk minum arak di hadapan umum sampai mabuk, lalu menari dalam keadaan mabuk itu. Belum lama berselang pejabat-pejabat istana semacam itu masih menerima penghasilan resmi dari pemeliharaan penari-penari ronggeng dan pelacur-pelacur. Nama mereka adalah suatu nama ejekan, yang mungkin berdasarkan kenyataan bahwa mereka mula-mula melakukan tarian mereka di Ksetra, sambil menggeletuk-geletuk tulang-tulang orang mati (nyanthang balung).
Gambaran yang diberikan oleh Moens itu agaknya merupakan bentuk Canthangbalung yang lebih tua daripada yang digambarkan oleh Darsiti. Berdasarkan lukisan yang diberikan itu, maka Moens (1986: 11) berpendapat bahwa Canthangbalung berasal dari sekte Bhairawa. Bhairawa adalah suatu sekte Durga dari “tangan kiri” (wama-sakta) atau sering juga secara teknis disebut sebagai tantris kiri (Goris, 1986: 7). Bhairawa sendiri adalah dewa yang khas dari lapangan mayat dan khusus dengan tabiat Aksobhya (Moens, 1986: 13).
Untuk mencapai keselamatan atau ekstase yang tertinggi para penganut sekte Bhairawa ini melakukan panca-tattwa (lima unsur kenikmatan hawa nafsu) yakni: madya (minuman keras), mangsa (daging), matsya (ikan), mudra (sikap tangan), dan maithuna (persetubuhan). Panca-tattwa ini sedikit banyak masih dilakukan atau pun disimbolkan dalam gerakan Canthangbalung.
Jika Canthangbalung mengenakan kuluk putih yang sangat tinggi (Darsiti, 1989: 148), hal itu juga berkaitan dengan pandangan Bhairawa. Di atas telah disebutkan, bahwa Bhairawa adalah dewa yang khas dari lapangan mayat dan khusus dengan tabiat Aksobhya, maka secara khusus hubungan antara Bhairawa dan Aksobhya ini dilukiskan dengan menempatkan patung kecil Aksobhya dalam perhiasan rambut Bhairawa itu. Lukisan ini juga dijumpai dalam Negarakretagama pupuh 52 bait 2, yakni pada saat Prapanca memberitahukan mengenai patung makam Krtanegara di Jejawi sebagai sebuah patung Siwa (Bhairawa) yang tak terkatakan indahnya dengan sebuah patung Aksobhya kecil yang tiada bandingannya dalam makuta (dalam Moens, 1986: 13-14). Patung Aksobhya itu memang tidak dipahatkan pada makuta (kuluk) Canthangbalung, akan tetapi warna putih dan bentuk kuluk yang sangat tinggi dapat mewakilinya. Warna putih memang merupakan warna dewa.
Sebuah gambaran yang benar-benar Siwaistis tampak dalam Serat Wahanabrata yang menceritakan pertemuan dan perkawinan Raden Mas Suryakusuma (Mangkunegara I) dengan gadis desa Nglaroh yang bernama Rubiyah. Rubiyah di dalam serat ini diceritakan, bahwa pada setiap malam Anggara Kasih ketika tidur alat kelaminnya bersinar. Perhatikan kutipan berikut.
Antawis saperapat jam dangunipun anggening tilem malih pun Rubiyah, padonanipun katingal murub kados urubing dilah. Ing ngriku Kiai Kasan Nuriman kalangkung kaget malih temah kauyeg-uyeg tapih leresing padonanipun Rubiyah. Dangu panguyegipun urub lajeng sirna tanpa karana (hal. 21).

‘Kira-kira seperempat jam lamanya Rubiyah tidur, alat kelaminnya kelihatan menyala seperti nyala lampu. Melihat hal itu Kiai Kasan Nuriman sangatlah terkejut maka diusap-usaplah kain tepat pada alat kelamin Rubiyah. Lama setelah diusap-usap nyala itu hilang tanpa bekas.’

Kutipan di atas menunjukkan, bahwa Rubiyah sebagai gadis desa telah mendapat wahyu yang ditandai dengan alat kelaminnya bersinar terang. Di dalam hal ini Mangkunagara I juga mendapat wahyu melalui alat kelamin jenazah Kiai Kasan Nuriman (ayah Rubiyah) yang harus digali dalam kubur setelah seratus hari pemakaman Kiai Kasan Nuriman. Serat Wahanabrata melukiskannya sebagai berikut.
Ing riku sasirnaning kilat kawistara manther kados urubing dilah, ijem wening tan siwah kadi kartika wonten leresing dhudhukan. Tanggap KGPAA Mangkunagara amariksa wujuding urub wau, katingal wujuding planangan. Datan saranta planangan ingkang katingal murub wau badhe kaasta dening KGPAA Mangkunagara, sami sakala musna tanpa karana, mawa gara-gara jumegur ing ngawiyat. Sasirnaning planangan, KGPAA Mangkunagara jajanipun karaos kadhodhog, kantep dhawah sumaput wonten salebeting dhudhukan. Enget rayam-rayam kapiyarsa suwanten memeling makaten: Heh, PAA Mangkunagara, aja tambuh pikirmu. Planangan wus rumasuk marang sira bakal mahanani anake Nuriman kang sira alap dadi kanthinira amukti wibawa ing saturun-turunira (hal. 37).

‘Di tempat itu setelah hilangnya petir terlihatlah cahaya terang seperti nyala lampu, hijau bening bagaikan bintang di tempat galian. KGPAA Mangkunagara mengamati wujud nyala itu, terlihat berbentuk kelamin laki-laki. Tak sabar alat kelamin laki-laki itu akan diambil oleh KGPAA Mangkunegara, tiba-tiba hilang tanpa bekas, disertai suara gelegar di udara. Sesaat setelah hilangnya alat kelamin laki-laki itu dada KGPAA Mangkunagara terasa ditebah, jatuh pingsanlah ia di dalam galian. Setelah sadar samar-samar terdengar suara berkata demikian: “Hai, PAA Mangkunagara, janganlah ragu pikirmu. Alat kelamin laki-laki sudah menyatu dalam dirimu yang akan menyebabkan anak Nuriman yang kau ambil menjadi teman hidupmu berbahagia sampai anak cucumu”.’

Dari kutipan di atas jelaslah bahwa wahyu yang diterima oleh Rubiyah dan Mangkunagara I berbentuk alat kelamin wanita dan laki-laki yang bercahaya, maka tak disangsikan bahwa itu adalah gambaran lingga dan yoni.
Lingga adalah manivestasi Siwa. Agaknya Siwa adalah salah satu Dewa Trimurti yang disegani di Surakarta. Di candi-candi lingga digambarkan sebagai batu lambang kelelakian yang dipahat mirip kemaluan pria selagi tegak. Sebagai pasangannya adalah yoni sebagai simbol kewanitaan. Yoni dibuat dari batu persegi dengan lubang di tengahnya, mirip bentuk kelamin wanita. Lubang di tengah yoni merupakan tempat tertancapnya lingga. Dan persatuan lingga-yoni merupakan kekuatan tertinggi.
Dalam kerangka ini dapat ditafsirkan, bahwa Mangkunagara I di dalam Serat Wahanabrata ini diidentifikasikan sebagai Siwa. Sedangkan Rubiyah, “permaisurinya” yang kemudian bergelar Raden Ayu Patahati, dengan demikian adalah sakti bagi kerajaan. Persatuan antara Mangkunagara dengan Rubiyah adalah persatuan antara Siwa dengan Sakti. Hanya dalam persatuan dengan sakti itulah Mangkunagara I mendapatkan kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu sakti harus selalu bersatu dengan raja, seperti halnya di candi-candi lingga tak pernah terpisah dari yoni.

4. Penutup
Dari pembicaraan ini dapat disimpulkan bahwa Siwaisme mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam konsepsi-konsepsi ritual di Surakarta. Bedhaya Ketawang diciptakan berdasarkan ideologi Siwaisme sehingga “sembilan penari” tentulah berkaitan dengan konsepsi nawa dhara dan nawa natha. Canthangbalung lebih bersifat Tantris. Besarnya pengaruh Siwaisme membentuk konsepsi bahwa Sitihinggil adalah singgasana Siwa, sedangkan Durga berkedudukan di hutan Krendhawahana. Raja dengan demikian diidentifikasikan sebagai Siwa dan permaisuri sebagai saktinya. Konsep Siwa-sakti inilah yang mendudukkan Bedhaya Ketawang sebagai pusaka kraton, yang tuahnya dapat menambah keagungan raja.



DAFTAR PUSTAKA

Drasiti Suratman. 1989. Kehidupan Dunia Kraton. Yogyakarta: Tamtama.

Edi Sedyawati. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.

Goris, R. 1986. Sekte-sekte di Bali. Jakrata: Bhratara.

Hadiwidjojo, KPH. 1978. Bedhaya Ketawang: Tarian Sakral di Candi-candi. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah Depdikbud.

Kusumotanoyo, KRT. 1992. “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung” dalam Jaya Baya No. 10, 8 November.

Moens, JL. 1986. Budhisme di Jawa dan Sumatra. Jakarta: Bhratara.

Nusjirwan Tirtaamidjaja. 1967. “A Bedhaja Ketawang Dance Performance at the Court of Surakarta" dalam Indonesia Vollume 1, April.

Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647, edisi WL Olthof. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. 1941.

Pudja, G. 1976. Wedhaparikrama. Jakarta: Yayasan Hindu-Dharma Indonesia.

Serat Wahanabrata. Manuskrip koleksi Perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran Surakarta.

Slamet Mulyono. 1979. Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Balai Pustaka.

Soedarsono. 1972. Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soedarsono. 1984. Wayang Wong: The State Ritual Dence Drama in the Court of Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soedarsono. 1991. “Tayub di Akhir Abad Ke-20” dalam Soedarso SP, ed. Beberapa Catatan tentang Perkembangan Kesenian Kita. Yogyakarta; BP ISI.

Zoest, Art van. 1992. “Peranan Konteks, Kebudayaan, dan Ideologi di dalam Semiotika” dalam Panuti Sudjiman dan Art van Zoest. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.


Selasa, 23 Februari 2010

SERAT KALATIDHA

SERAT KALATIDHA
MENGINGATKAN MANUSIA PADA AKHIR KEHIDUPAN
Oleh: Aloysius Indratmo
KR 21 Mei 1985

14 Maret 1802, atau dalam tarikh Jawa Senen Legi 10 Dulkaidah, tahun Be 1728, dan tepat pada saat matahari di titik kulminasi, wuku Sungsang, Dewi Sri, Warukung Uwas, mangsa Jita, windu Sangara, di kampung Kliwon Surakarta lahirlah seorang anak dari keluarga Mas Panjangswara alias Mas Ngabehi Ranggawarsita II.
Mas Ngabehi Ranggawarsita II alias Mas Panjangswara dikenal sebagai carik di Kadipaten Anom. Ia terkenal sebagai ahli tarik suara. Selain suaranya yang merdu, ia pun dikenal karena Jawa-nya. Mas Panjangswara adalah putra R.Ng.Ranggawarsita I alias RT Sastranagara alias R.Ng.Yasadipura II.
Sejarah Sastra Jawa pun mencatat tanggal 14 Maret 1802 itu lahir seorang anak laki-laki yang kelak kemudian menjadi seorang cerdik-pandai, bijaksana, bahkan menjadi parampara kerajaan Surakarta Hadiningrat. Dialah Raden Ngabehi Ranggawarsita yang punya nama kecil Bagus Burhan. Pujangga besar sastra Jawa ini wafat setelah mengenyam hidup sekitar sembilan windu. Beliau wafat pada tanggal 24 Desember 1874, pada hari Rebo Pon 5 Zulhijah 1802 Jawa.

Kekecewaan
Salah satu karya R.Ng.Ranggawarsita yang terkenal adalah Serat Kalatidha. Serat ini terdiri atas dua belas bait dengan satu bait pembuka. Kesemuanya dalam bentuk tembang Sinom. Ketika menulis Serat Kalatidha R.Ng.Ranggawarsita tengah dirundung kekecewaan karena kenaikan pangkatnya dibatalkan. Penyebabnya adalah kekacauan yang terjadi dalam kerajaan Surakarta. Pakubuwana IX mencurigai ayah R.Ng.Ranggawarsita menyetujui pengasingan Pakubuwana VI, ayah Pakubuwana VI, ke Ambon pada tahun 1830 M. Kecurigaan itu berakibat ayah R.Ng.Ranggawarsita diasingkan ke Jakarta hingga wafat. Musibah ini ternyata berpengaruh terhadap rencana Pakubuwana IX yang hendak menaikkan pangkat R.Ng.Ranggwarsita dari Kliwon Kadipaten Anom menjadi Bupati Anom. Kekecewaan ini dapat kita tangkap dari bait 3 dan 4.
Kekecewaan dalam pengalaman hidupnya di tengah suasana yang serba kacau, serba menyedihkan, berhasil ia padukan dengan pengetahuan yang diperolehnya. Lahirlah Serat Kalatidha yang maksudnya untuk memperingatkan manusia, sekaligus mengajarnya agar selalu mawas diri atau eling dan waspada terhadap situasi jaman.

Falsafah
Serat Kalatidha adalah serat yang memuat tentang falsafah atau ajaran hidup hasil perenungan dan pemikiran pujangga R.Ng.Ranggawarsita. Dari serat ini banyak yang dapat kita peroleh untuk bekal hidup kita. Tulisan ini akan mencoba menangkap ajaran R.Ng.Ranggawarsita tentang akhir hidup manusia, meskipun menurut Karkono Partokusumo inti dari serat ini adalah yang tertulis dalam bait ketujuh. Bait ini menggambarkan situasi pada masa itu yang benar-benar “gila”. Itulah sebabnya bait ini disebut sebagai bait “jaman edan”.
Ternyata R.Ng.Ranggawarsita tidak hanya kecewa tetapi bahkan putus asa. Ia bermaksud memperoleh keuntungan tetapi karena tak terkabul akibatnya leburlah cita-citanya, kehendaknya “met pamrih pakolih, temah suh-ha ing karsa tanpa weweka”. Bagaimanapun R.Ng.Ranggawarsita adalah manusia biasa oleh karena itu ia tak luput dari kekecewaan. Untungnya kekecewaan ini tidak diungkapkannya melalui demonstrasi tetapi justru mendekatkan dirinya pada Tuhan.
Seakan dengan kekecewaannya, dengan penderitaannya ini, R.Ng.Ranggawarsita lebih menyadari eksistensinya. Memang dalam penderitaan dan kemalangan lebih besar kemungkinan manusia akan mencapai eksistensi yang otentik daripada dalam kemakmuran dan kebahagiaan yang terancam.
Dalam keadaan makmur yang berlimpah-limpah, arti eksistensi seringkali tinggal tersembunyi. Tidak jarang kesengsaraan menjadi jalan menuju pengalaman tentang ‘transendensi’. Dan jika manusia telah menyadari eksistensinya di hadapan Tuhan maka ia akan merasa terlalu banyak dosa, dan ia pun mulai mawas diri. Inilah yang dialami R.Ng.Ranggawarsita.
Setelah menimbang-nimbang dan mawas diri akhirnya R.Ng.Ranggawarsita pun anarima, mupus papesthening takdir. R.Ng.Ranggawarsita sadar bahwa memang tidak ada faedahnya jika berkedudukan tinggi tetapi akan mengakibatkan kesulitan dan sakit hati, seperti dikatakannya: yen pinikir sayekti, pedah apa aneng kayun, andhedher kaluputan, siniram banyu lali, lamun tuwuh dadi kekembanging beka.
Untuk menutup kekecewaannya R.Ng.Ranggawarsita lebih banyak menulis cerita: “angurbaya ngiketa cariteng kuna”. R.Ng.Ranggawarsita menerima kekecewaan dan kesedihannya sebagai takdir Tuhan yang harus diterimanya. Dengan menerima takdir, manusia akan merasa dekat dengan Tuhannya. Atau, dalam penderitaan manusia hendaknya makin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Meskipun telah ditutup dengan menulis cerita-cerita kuna tetapi ternyata perasaan putus asa itu mesih juga mencekam hatinya, sehingga R.Ng.Ranggawarsita merasa mulai tua. Dan jika orang sudah merasa tua maka ia pun mulai memikirkan kematian. Dengan mawas diri manusia merasa banyak dosa dan dengan menyadari kematian maka manusia mulai mencari pengampunan dosanya. Di Jawa, pengampunan dosa dan mendekatkan diri dengan Tuhan dapat dilakukan dengan menyepi, menjauhkan diri dari keduniawian. Inilah yang dilakukan R.Ng.Ranggawarsita, seperti dituliskannya: “wis tuwa are papa, muhung mahas ing asepi, supayantuk parimarmaning Hyang Suksma”.
Puncak dari menyepi ini akhirnya manusia harus dapat “mati sajroning urip” seperti diungkapkan oleh R.Ng.Ranggawarsita pada bait kedua belas berikut:
Sageda sabar santosa,
Mati sajroning ngaurip,
Kalis ing reh huru-hara,
Murka angkara sumingkir,
Tarlen meleng malatsih,
Sanityaseng tyas mamatuh,
Badharing sapudhendha,
Antuk mayar sawatawis,
Borong angga suwarga mesi martaya.
Mati sajroning urip dalam bahasa J.Krishnamurti disebut meditasi. Meditasi adalah pekerjaan berat, kata Krishnamurti. Ia menuntut bentuk tertinggi dari disiplin – bukan penyesuaikan diri, bukan penjiplakan, bukan ketaatan, melainkan suatu disiplin yang datang melalui kewaspadaan yang terus-menerus, bukan hanya waspadaterhadap hal-hal yang ada di luar diri, melainkan juga di sebelah dalam. Maka meditasi bukanlah suatu kegiatan dari pengasingan diri, melainkan tindakan dalam kehidupan sehari-hari yang menuntut kerja sama, kepekaan, dan intelegensi. Tanpa meletakkan dasar dari suatu kehidupan benar, meditasi menjadi suatu pelarian dan karenanya tidak mempunyai nilai apapun juga. Suatu kehidupan benar bukan berarti mengikuti akhlak kemasyarakatan, melainkan kebebasan dari iri hati, ketamakan dan dari pencarian kekuasaan – yang kesemuanya itu melahirkan permusuhan.
Kebebasan dari semua ini tidak datang melalui kesibukan dari kemauan melainkan melalui kewaspadaan terhadap semua itu, melalui pengenalan diri sendiri. Tanpa mengenal kesibukan diri pribadi, meditasi menjadi rangsangan indra dank arena itu sedikit sekali artinya.
Hal inilah yang dimaksud R.Ng.Ranggawarsita terutama dalam bait kesembilan dan kesepuluh, ketika beliau mengatakan: “ikhtiar iku yekti, pamilihe reh rahayu, sinambi mbudi daya, kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka marmaning Suksma. Memang dalam ‘bertapa’, setelah mewawas diri sendiri dengan seksama, orang harus suka dan mampu mengoreksi diri pribadi, di bawah pengawasan disiplin pribadi yang keras. Selanjutnya menuju langsung ke arah penjernihan pendapat, ketajaman kecerdasan atau budi, agar dengan demikian mendapat keyakinan yang menentukan.

Eskatologis
Dengan mengingat unsur-unsur di atas dapatlah dikatakan bahwa Serat Kalatidha merupakan naskah eskatologis, seperti ditegaskan oleh R.Ng.Ranggawarsita pada bait kesebelas, sebagai berikut:
Ya Allah ya Rasulullah,
Kang sipat murah lan asih,
Mugi-mugi aparinga,
Pitulung ingkang nartani,
Ing alam awal akhir …

Manusia harus mengatur hidupnya di dunia ini untuk kebahagiaan di dunia nanti. Lalu bagaimana cara mencapai kebahagiaan di dunia nanti? Dalam Kalatidha bait kedelapan disebutkan, manusia pertama-tama harus mampu meninggalkan hal-hal yang sifatnya duniawi dan juga harus dapat meninggalkan hal atau orang-orang yang dicintai. Dalam kehidupan sehari-hari disebutkan, manusia jangan sampai kelet kumanthil. Hendaknya manusia meninggalkan hal-hal dan orang-orang tercinta itu.
Jalan atau sarananya ialah eling (bait kesepuluh). Manusia hendaknya selalu eling atau sadar akan Tuhan, maka manusia akan dapat bersifat hati-hati sehingga dapat memisahkan yang benar dan yang salah agar tindakannya tidak terjerumus ke hal-hal yang nista. Dan kendaraannya adalah iman, kepercayaan akan Tuhan. Hal ini diungkapkan oleh R.Ng.Ranggawarsita dalam bait keenam.
Demikianlah ajaran dalam Serat Kalatidha karya pujangga keturunan kesepuluh Sultan Trenggana bila ditarik dari garis ibunya. Karya R.Ng.Ranggawarsita ini merupakan karya seni yang mencerminkan kesejatian hidup, baik secara lahir maupun secara batin. Pada sisi lain, karya demikian akan menumbuhkan semangat humanism universal. Dan karya demikian akan tetap relevan sepanjang jaman.