Selasa, 06 April 2010

VULGAR, SLANG, DAN KOLOKIAL BAHASA JAWA

VULGAR, SLANG, DAN KOLOKIAL
DALAM BAHASA JAWA

Oleh: Aloysius Indratmo
Widya Warta, No. 02 Tahun XXVIII/Juli 2005.

A.Pendahuluan

Sosiolinguistik mengkaji bahasa dari sudut pandang eksternal. Sudut pandang secara eksternal berarti kajian itu dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa, tetapi berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh para penuturnya di dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan (Abdul Chaer, 1995: 1).
Sosiolinguistik memandang bahasa dalam kaitannya dengan konteks. Sosiolinguistik mempelajari pemakaian bahasa dalam konteks sosial (Mansoer Pateda, 1987: 11). Bahasa dipandang sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan. Sebagai produk sosial atau budaya, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu (Sumarsono, 2002: 20).
Terdapat dua faktor yang turut menentukan ketika aktivitas berbicara berlangsung. Kedua faktor itu adalah faktor situasional dan faktor sosial (Mansoer Pateda, 1987: 15). Faktor situasi mempengaruhi pembicaraan terutama dalam pemilihan kata-kata dan bagaimana caranya mengkode. Misalnya, bahasa yang dipergunakan ketika menjenguk orang sakit atau bertamu ke rumah orang yang mengalami musibah akan lain dengan bahasa yang dipergunakan ketika berada di pesta perkawinan. Faktor sosial juga menentukan bahasa yang dipergunakan. Yang tergolong faktor sosial adalah umur, jenis kelamin, latar belakang ekonomi, tempat tinggal, status, dan sebagainya (Mansoer Pateda, 1987: 15-16). Identitas penutur, identitas pendengar, lingkungan sosial atau tempat peristiwa tutur terjadi juga mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur (Abdul Chaer, 1995: 7).
Ada banyak contoh lingkungan fisik tempat suatu masyarakat hidup dapat dicerminkan dalam bahasanya. Artinya, lingkungan dapat mempengaruhi bahasa masyarakat itu, biasanya dalam hal leksikon atau perbendaharaan katanya. Bahasa Eskimo penuh dengan kata-kata yang berkisar tentang salju. Perbedaan halus antara berbagai jenis salju bagi orang Eskimo adalah esensial karena mereka tinggal di kutub utara. Demikian juga orang Arab mampu mengadakan pembedaan halus tentang unta (Sumarsono, 2002: 61).
Lingkungan sosial juga dicerminkan dalam bahasa dan sering dapat berpengaruh pada struktur kosakata. Misalnya sistem kekeluargaan atau kekerabatan orang Amerika berbeda dengan sistem kekeluargaan orang-orang dari berbagai suku di Indonesia. Hal itu tercermin dalam kosa katanya. Orang Amerika mempunyai family yang padanannya dalam bahasa Indonesia adalah keluarga. Tetapi family hanya mencakup ‘suami, istri, dan anak-anaknya’, sedangkan keluarga dapat mencakup orang-orang di luar suami, istri, dan anak-anak. Istilah-istilah dalam sistem kekerabatan juga dapat berbeda (Sumarsono, 2002: 62 - 63).
Adanya lapisan-lapisan masyarakat feodal dan kasta menimbulkan pula pengaruh dalam bahasa. Seperti misalnya adanya sistem feodal pada beberapa suku di Indonesia dan sistem kasta pada masyarakat Bali pada zaman dulu, maka dalam masyarakat itu muncul penjenjangan dalam bahasa.
Di samping lingkungan dan struktur sosial, nilai-nilai masyarakat (social value) dapat pula berpengaruh pada bahasa masyarakat itu. Contohnya misalnya yang menyangkut tabu. Tabu menyangkut tingkah laku yang menurut kepercayaan terlarang, dianggap asusila atau tidak layak. Di dalam bahasa kata-kata yang ditabukan itu ada, tetapi tidak atau jarang digunakan, setidaknya secara terbuka di muka umum. Karena kata-kata tabu itu tidak digunakan, digunakanlah kata lain (yang sudah mempunyai makna tersendiri) sebagai penggantinya. Akibatnya kata tabu itu menjadi tersingkir. Kata akar yang mengacu kepada bagian bawah tumbuh-tumbuhan, dan kata kiai yang mengacu kepada guru mengaji, dipakai sebagai ganti untuk ular dan harimau oleh para pemburu pada zaman lampau, setidaknya pada waktu mereka sedang berburu (Sumarsono, 2002: 64-65).
Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu (Suwito, 1985: 5). Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai tingkah laku sosial (social behavior) yang dipergunakan dalam komunikasi (Sumarsono, 2002: 19).
Oleh karena masyarakat pengguna bahasa itu beragam maka bahasa yang dipergunakan juga beragam. Keragaman bahasa ini menghasilkan apa yang disebut variasi bahasa. Sebenarnya dalam hal variasi bahasa ini terdapat dua pandangan yang berbeda. Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa. Jadi variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Andaikata penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi atau keragaman itu tidak akan ada; artinya, bahasa itu menjadi seragam. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau pun ditolak. Yang jelas, variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial (Abdul Chaer, 1995: 81).
Mansoer Pateda (1987: 52) mengutip pendapat Ferguson dan Gumperz memberikan definisi variasi sebagai berikut:
A variety is any body of human speech patterns which is sufficiently homogeneous to be analysed by available techniques of synchronic description and which has a sufficiently large repertory of elements and their arrangements or processes with broad enough semantic scope to function in all normal contexts of communication.

Jadi, di dalam variasi itu terdapat pola-pola bahasa yang sama, pola-pola bahasa itu dapat dianalisis secara deskriptif, dan pola-pola yang dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi. Variasi bahasa dapat dilihat dari (1) tempat, (2) waktu, (3) pemakai/penutur, (4) situasi, (5) dialek yang dihubungkan dengan sapaan, (6) status, dan (7) pemakaiannya (= ragam) (Mansoer Pateda, 1987: 52-53).
Makalah ini tidak akan membicarakan semua jenis variasi bahasa yang ada, akan tetapi terbatas pada Vulgar, Slang, dan Kolokial.

B.Pengertian Vulgar, Slang, dan Kolokial


Vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya adalah pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan (Abdul Chaer, 1995: 87). Bagi kalangan yang kurang terpelajar agaknya dalam berbahasa cenderung langsung mengungkapkan maksudnya tanpa mempertimbangkan bentuk bahasanya. Oleh karena itu bahasa yang dipergunakan adalah bahasa dengan kata-kata kasar. Kosakata kasar itulah yang menjadi ciri Vulgar, seperti diungkapkan oleh Maryono Dwiraharjo (2001: 28).
Bagi kalangan yang terpelajar kosakata kasar cenderung dihindari karena dinilai tidak sopan. Di dalam masyarakat, golongan terpelajar memang dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi sehingga ia harus menyesuaikan bahasa yang dipakai dengan kedudukannya itu. Bagi golongan yang kurang terpelajar kosakata kasar itu sudah terasa wajar karena sudah menjadi kebiasaan dalam percakapan sehari-hari. Vulgar dengan demikian juga dapat diartikan sebagai tingkatan bahasa yang lebih rendah dari bahasa formal (bandingkan: Harimurti Kridalaksana, 2001: 96).
Slang berarti ucapan populer yang kita dengar sehari-hari di daerah tertentu (Mansoer Pateda, 1987: 55). Sebagai ucapan populer, maka Slang merupakan bahasa pergaulan di dalam kelompok tertentu yang terbatas, biasanya kaum remaja atau anak-anak muda. Slang digunakan dengan tujuan agar kelompok lain tidak dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakan oleh kelompok yang bersangkutan. Oleh karena itu Slang bersifat khusus dan rahasia, pada kelompok terbatas. Bahasa prokem termasuk di dalam Slang (Maryono Dwiraharjo, 2001: 28). Dilihat dari bentuknya, Slang dapat digolongkan sebagai ragam bahasa tak resmi, berupa kosakata yang serba baru dan berubah-ubah (Harimurti Kridalaksana, 2001: 200).
Slang yang berubah-ubah atau bersifat temporal (Abdul Chaer, 1995: 87-88) itu menyebabkan Slang biasanya tidak bertahan lama. Hal ini sesuai dengan sifatnya sebagai bahasa rahasia, yang hanya diketahui oleh kelompok sendiri. Begitu orang lain atau kelompok lain mengetahui kosakata yang digunakan, maka sifat kerahasiaan itu sudah memudar. Seiring memudarnya kerahasiaan, maka orang menghadapi dua pilihan, yakni (1) kembali kepada bahasa pergaulan biasa, atau (2) menciptakan kosakata dengan rahasia yang baru.
Slang berada di bawah pengaruh linguistik produktif dari sikap-sikap macam tertentu. Slang selalu digunakan sesuka penuturnya. Slank ini merupakan permainan sosial, dan terutama merupakan bahasa lisan (Basuki Suhardi, 1995: 164-168). Sebagai permainan sosial Slang merupakan hasil kreativitas kelompok-kelompok anak muda dalam masyarakat tertentu. Sebagai bahasa lisan, Slang tidak banyak diingat, meski oleh pemakainya sendiri, setelah bahasa itu tidak digunakan lagi.
Slang juga tidak meninggalkan dokumen tertulis karena ia “hanya” bahasa pergaulan untuk menunjukkan keakraban dan kesamaan “identitas” dalam kelompok, bukan untuk mengatakan maksud yang resmi.
Kolokial (colloquial) adalah bahasa yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat yang tinggal di daerah tertentu. Kolokial biasa juga disebut sebagai bahasa sehari-hari, bahasa percakapan (Maryono Dwiraharjo, 2001: 28), dan kadang-kadang disebut bahasa pasar (Mansoer Pateda, 1987: 55).
Sebagai bahasa percakapan sehari-hari, maka Kolokial tergolong di dalam ragam lisan, bukan tulis (Abdul Chaer, 1995: 88). Di dalam ragam lisan, komunikasi cenderung bersifat praktis, bahkan kadang-kadang “melanggar” aturan-aturan tata bahasa. Bahasa percakapan sehari-hari bertujuan semata-mata untuk mengungkapkan maksud pembicara. Jika mitra bicara sudah mengetahui maksud yang diungkapkan pembicara maka komunikasi sudah berhasil. Oleh karena itu Kolokial dinilai sebagai bahasa pasar yang lebih rendah dari bahasa baku.
Kolokial adalah bahasa yang tidak begitu khas bagi lapisan sosial tertentu, tetapi lebih khas bagi situasi bertutur tertentu, yakni situasi santai (Basuki Suhardi, 1995:163). Kosakatanya berupa kata-kata yang telah mengalami penurunan sesuai situasi.

C.Vulgar dalam Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang heterogen. Selain dikenal adanya tingkatan sosial (priyayi dan wong cilik), masyarakat Jawa juga dapat dibedakan ke dalam golongan orang kota (wong negara) dan orang desa (wong désa, manca negara), orang kaya (wong sugih) dan orang miskin (wong mlarat, kêsrakat), serta orang terpelajar (wong pintêr) dan orang kurang terpelajar (wong bodho). Orang-orang kaya biasanya juga tergolong orang yang terpelajar karena mereka selalu menyekolahkan anak-anaknya, sebaliknya orang miskin biasanya juga tergolong orang yang kurang terpelajar karena mereka tidak mampu bersekolah.
Vulgar dalam bahasa Jawa banyak dipergunakan oleh masyarakat yang kurang terpelajar, dengan demikian juga yang miskin. Vulgar bagi golongan priyayi Jawa dinilai sebagai bahasa yang tidak sopan. Sopan santun (tata krama) Jawa agaknya memang identik dengan golongan priyayi. Golongan priyayi dalam segala tindakannya harus selalu menjaga sopan santun, termasuk santun berbahasa. Hal itu disebabkan karena para priyayi adalah golongan yang dekat dengan raja dan keraton yang dikenal sebagai pusat budaya Jawa. Dalam segala hal para priyayi harus bersikap halus. Sebaliknya golongan wong cilik, apalagi yang kurang terpelajar, dan tinggal di desa cenderung kurang menguasai tata krama, sehingga segala tindakannya kasar, termasuk di dalam berbahasa. Oleh karena orang-orang yang kurang terpelajar itu kurang mengenal tata krama maka ia tidak merasa janggal atas kekasaran dalam berbahasa, mereka telah terbiasa dalam berlaku demikian.
Contoh Vulgar dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut:

A : Dhasaré lanangan ngglathak! Mung buruh gêrji waé gêgêdhèn tékat nyunduki prawan! Mbok nyêbut! O uwong ki yèn thukmis!
B : Sum! Aja sêru-sêru, iki ki nèng kampung!
A : Sing gawé ramé dhisik sapa? Yèn wédokanmu ora nganti mêtêng ya ora bakal dadi ramé! Bèn waé! Kabèh bèn dha ngêrti. Mbah…Mbah Sima, Gito ngêtêngi prawan! Lik… Lik Jiah, gilo iki si Gito ngêtêngi bocah!
B : Sum, cangkêmmu bisa mênêng ora ta Sum!
A : Apa kuwi … Karêpé golèk gratisan! Grayangan nèng pêtêngan, mbok diakoni waé nèk ora kuwat nglonthé! Lha, sukur saiki bocahé mêtêng! Rumangsané apa dha ora ngêrti.
B : Cocotmu sida tak suwèk, mêngko!
A : Bèn! Wis sakkarêpmu dhéwé! Tanggungên dhéwé! Ning aku ra sudi mbok maru. Ora sudi! Aku minggat! Sumpêg nèng kéné! Wong lanang ki yèn wis kêbrongot birahiné dadi kaya kéwan kontholé! Gatêl ya gatêl, ning diampêt sêdhéla apa ya ra bêtah. Sêmêlang dadi akik pa piyé! Njur apa gunané bêbojoan, kok ndadak golèk turuk liyané! Béda apa jênêngé, béda apa ambuné, béda apa rupané!

Terjemahan:

A : Dasar laki-laki rakus! Hanya tukang jahit saja bertekad menumpuk gadis! Mbok menyebut! O orang itu kalau hidung belang!
B : Sum! Jangan keras-keras, ini di kampung!
A : Yang lebih dulu membuat ramai siapa? Jika pacarmu tidak sampai hamil ya tak akan jadi ramai! Biar saja! Semua biar tahu. Mbah … Mbah Sima, Gito menghamili gadis! Lik … Lik Jiah, ini lho Gito menghamili gadis!
B : Sum, mulutmu bisa diam tidak to Sum!
A : Apa itu … inginnya mencari gratisan! Meraba-raba di kegelapan, diakui saja jika tidak kuat (membayar) pelacur! Lha, rasakan sekarang anaknya hamil. Dikiranya apa tidak pada tahu ….
B : Mulutmu jadi kusobek nanti!
A : Biar! Sudah sekehendakmu saja! Tanggung saja sendiri! Tapi aku tidak mau dimadu. Tidak mau! Aku pergi! Gerah di sini! Laki-laki itu kalau sudah terbakar birahi jadi seperti hewan kemaluannya! Gatal ya gatal, tapi ditahan sebentar apa ya tidak kuat. Takut jadi akik apa gimana! Lalu apa gunanya berkeluarga, kok masih cari kemaluan yang lain! Beda apa namanya, beda apa baunya, beda apa bentuknya!


Demikianlah, dari kutipan Vulgar di atas tampak bahwa termuat leksikon yang bernuansa kasar. Ditinjau dari tingkat tutur, bahasa kasar tergolong dalam tingkat Ngoko. Bahasa kasar dalam bahasa Jawa memang selalu berbentuk Ngoko yang tercampur kata-kata kasar (Antunsuhono, 1953: 9). Kosakata memang merupakan penentu bentuk bahasa atau tingkat tutur dalam bahasa Jawa. Jika bahasa itu menggunakan kosakata Ngoko maka ia tergolong tingkat Ngoko. Jika bahasa itu menggunakan kosakata Krama maka masuk tingkat Krama.
Masyarakat tutur Jawa mengenal adanya kosakata Ngoko, Madya, Krama, dan Krama Inggil. Selain itu juga dikenal kosakata kasar. Beberapa kosakata kasar antara lain adalah sebagai berikut.

Kasar Ngoko Arti
cocot cangkêm ‘mulut’
gêrangan tuwa ‘tua’
goblog bodho ‘bodoh’
mbadhog mangan ‘makan’
micêk turu ‘tidur’
modar mati ‘mati’
picêk wuta ‘buta’
wadhuk wêtêng ‘perut’


Selain itu, kata-kata kasar juga sering dipungut dari kata-kata untuk binatang yang diterapkan untuk manusia, misalnya suthang yang berarti ‘kaki belalang’ digunakan untuk menyebut kaki manusia. Kata nguntal yang berarti ‘makan’ untuk ular digunakan untuk manusia. Dalam hal ini kekasarannya disebabkan oleh penurunan derajat manusia ke tingkat binatang.

D. Slang dalam Masyarakat Jawa

Slang di masyarakat Jawa banyak dikenal dan dimiliki oleh remaja dan anak-anak muda. Akan tetapi karena sifatnya yang temporal dan tak terdokumentasikan maka masih sedikit peneliti yang telah mendeskripsikannya dengan rinci. Penelitian tentang Slang dengan demikian juga selalu ketinggalan zaman karena ketika penelitian selesai, bahasa itu sudah tidak dipergunakan lagi.
Salah satu Slang yang pernah ada di Yogyakarta sekitar akhir tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an adalah bentuk “Walikan”. Sementara orang menyebut Slang bentuk ini sebagai bahasa Gali (Gabungan Anak Liar) padahal pencetus dan pemakai pertama kali justru anak-anak yang kreatif dan terpelajar. Gali memang kemudian mengadopsinya. Slang ini lalu berkembang sangat luas sebelum akhirnya hilang. Para pemakai merasa satu kelompok dan senasib, sehingga untuk menyelesaikan konflik di antara anak-anak muda sangat sering digunakan bahasa Slang ini.
Contoh Slang jenis “Walikan” adalah sebagai berikut:

A : Hiré nyasayé Dab?
Piyé kabaré Mas?
‘Bagaimana khabarnya Mas?’
B : Pahiny panyu.
Apik aku
‘Saya baik’
A : Nyothé padha yonyon?
Kowé ana rokok?
‘Kamu punya rokok?’

Slang jenis “Walikan” ini mempunyai rumus yang diambil dari huruf Jawa. Huruf Jawa yang berjumlah dua puluh dan terbagi ke dalam empat baris kemudian saling dibalikkan, huruf yang terdapat pada baris pertama diganti dengan huruf yang terdapat pada baris ketiga, demikian juga sebaliknya. Huruf yang terdapat pada baris kedua diganti dengan huruf yang terdapat pada baris keempat dan sebaliknya. Secara rinci beberapa kaidah dalam bahasa “Walikan” dapat diuraikan sebagai berikut.

1)Konsonan diganti sesuai dengan kedudukan dalam urutan huruf Jawa sedangkan vokal tetap, misalnya proses penggantian kata kowé menjadi nyothé adalah sebagai berikut.
ha na ca ra ka
da ta sa wa la
pa dha ja ya nya
ma ga ba tha nga
Kata kowé terdiri atas konsonan k dan w. Konsonan k terdapat pada baris pertama sehingga diganti dengan ny dari baris ketiga. Konsonan w terdapat pada baris kedua sehingga diganti th dari baris keempat. Vokal tetap sehingga terbentuk kata nyothé

2)Afiks tidak berubah/tetap, misalnya:

Afiks Kata bentukan Slang Arti
tak-(dak-) taktuku takgunyu ‘kubeli’
tok-(kok-) toktuku tokgunyu ‘kaubeli’
di- dituku digunyu ‘dibeli’
-ku motorku dogosku ‘motorku’
-mu mobilmu dosingmu ‘mobilmu’
-é motoré dogosé ‘motornya’
-ké/-aké tukokké gunyokké ‘belikan’


3)Bunyi [ny] pada akhir kata dilafalkan [n], misalnya:

Seharusnya Dilafalkan Ngoko Arti
thémony thémon wédok ‘perempuan’
pahiny pahin apik ‘baik’
nyawony nyawon kathok ‘celana’
sahany sahan bapak ‘ayah’
pédhany pédhan énak ‘enak’


4)Bunyi [y] pada akhir suku pertama berubah menjadi [s], misalnya:

Seharusnya Dilafalkan Ngoko Arti
lêygi lêsgi ngêrti ‘tahu’
Sèygidh Sèsgidh Bèrtin ‘Bertin’
nyuyda nyusda kurma ‘kurma’
têynu têsnu gêrdhu ‘gardu’


5)Dimungkinkan beberapa bagian kalimat dihilangkan, misalnya:

Poya mothik panyu.
Ora dhuwit aku.
‘Aku tidak punya uang’.

Jika diperhatikan kalimat di atas adalah kalimat yang tidak lengkap. Jelasnya kalimat di atas predikatnya tidak lengkap. Maksud kalimat di atas adalah seperti tampak dalam terjemahannya. Unsur yang hilang adalah kata duwé ‘punya’ yang seharusnya berbentuk muthé. Meskipun demikian mitra bicara sudah dapat menangkap makna kalimat itu karena sudah menjadi kesepakatan.

6)Dimungkinkan memungut dari bahasa Indonesia, misalnya:

Dayi lodsé Dab.
Mari ngombé Mas.
‘Mari minum Mas’.

Kata dayi ‘mari’ dalam kalimat di atas adalah kata pungut dari bahasa Indonesia. Contoh yang lain misalnya:

Bigu thip daladh muyul?
Situ wis mangan durung?
‘Situ sudah makan belum?’




7) Kata-kata yang sangat rahasia dibuat “simbol” bertingkat. Perhatikan contoh berikut.

Ngoko Walikan I Walikan II Arti harafiah
ganja tadhca sayal barang
pil (koplo) hing sêdhiny bênik

Demikianlah, Slang dalam bahasa Jawa yang pernah banyak digunakan dalam komunikasi di antara anak-anak muda. Slang dalam bahasa Jawa ini “dibangun” dari landasan bahasa Jawa Ngoko. Sebagai bahasa pergaulan di antara sesama teman bahasa Ngoko memang lebih cocok.

E. Kolokial dalam Masyarakat Jawa

Kolokial sebagai bahasa lisan dalam percakapan sehari-hari juga dikenal dalam masyarakat tutur Jawa. Salah satu sifat dari Kolokial adalah adanya unsur informal di dalam situasi tutur. Bahasa percakapan sehari-hari memang cenderung bersifat santai dan cair.
Kolokial ditandai oleh kosakata yang dipergunakan telah mengalami penurunan sesuai dengan situasi tutur. Oleh karena itu Kolokial dinilai lebih rendah daripada bahasa baku. Penurunan tataran sesuai dengan situasi tersebut berkaitan dengan tujuan praktis dari komunikasi informal di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Bentuk nyata dari adanya penurunan kosakata di dalam Kolokial adalah pada proses “pembuntungan”, artinya kata-kata banyak yang dikurangi suku katanya sehingga menjadi tidak lengkap lagi. Meskipun kosakatanya telah mengalami “pembuntungan” akan tetapi komunikasi tetap dapat berjalan lancar.
Jika Kolokial dipergunakan di dalam situasi santai, maka bahasa Jawa yang pertama-tama memiliki bentuk Kolokial adalah bahasa Ngoko. Hal ini disebabkan karena bahasa Jawa Ngoko tidak terbebani oleh rasa hormat antara pembicara dan mitra bicara. Dengan tidak adanya rasa hormat tersebut bahasa Jawa Ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara pembicara terhadap mitra bicara. Di dalam bahasa Jawa Ngoko pembicara tidak memiliki perasaan pakéwuh terhadap mitra bicara sehingga suasana tutur menjadi santai.
Beberapa bentuk kosakata Kolokial dalam tataran Ngoko antara lain adalah sebagai berikut.

Kolokial Ngoko
Arti
nggo kanggo ‘untuk’
njur banjur ‘lalu’
suk sésuk ‘besok’
cah bocah ‘anak’
ya iya ‘iya’
ning nanging ‘tetapi’
ra ora ‘tidak’
sah susah ‘usah’
dha padha ‘pada’
péngin kêpéngin ‘ingin’
bèn yobèn ‘biar’
wis uwis ‘sudah’
thoprak kêthoprak ‘ketoprak’

Contoh pemakaian kosakata di dalam kalimat adalah sebagai berikut.
- Ngamal jariah Bit, ngamal, nggo nglêbur dosa. Bèn jêmbar kuburmu, éntuk dalan padhang suk nèk mulih.
‘Beramal jariah Bit, beramal, untuk melebur dosa. Biar luas kuburmu, mendapat jalan terang besuk saat meninggal.’
- Sing nggo ngamal ki dhuwit gambar apa?
‘Yang untuk amal itu uang gambar apa?’
- Ora kaya cah saiki, dhalang kok sekolah, dhalang kertas kuwi.
‘Tidak seperti anak sekarang, dalang kok sekolah, dalang kertas itu.’
- Mumpung dadi patih, mbok aku ya ngono Lik!
‘Kesempatan jadi patih, aku pun juga begitu Paman!’
- Ning tanggor Likmu Bismo, Sêngkuniné Gondo Gêmpil dituku.
‘Tetapi menghadapi Pamanmu Bismo, Sengkuni milik Gondo Gempil dibeli.’
- Ora ujar ora kaul, sing ngêlèti Sêngkuni kudu aku, ra sah Brataséna.
‘Tidak bernadar tidak berkaul, yang menguliti Sengkuni harus aku, tidak usah Bratasena.’
- Sing arêp tuku dha antri.
‘Yang akan membeli pada antri.’
- Sing mudhêng têmbung hogi mêsthi péngin nuku papan kéné.
‘Yang memahami kata hogi pasti ingin membeli tempat ini.’
- Mbok bèn, sing mudhêng têmbung hogi ngétung-étung dhuwité.
‘Biar saja, yang tahu kata hogi menghitung uangnya.’
- Kowé apa wis ora péngin manggon kéné?
‘Kamu apa sudah tidak ingin bertempat tinggal di sini?’
- Thopraké ki lakoné apa kok sing nonton nganti antri.
‘Cerita ketopraknya apa to kok penontonnya sampai antri.’

Kata-kata sapaan yang menunjukkan hubungan kekerabatan juga banyak mengalami “pembuntungan” menjadi Kolokial. Perhatikan kata-kata berikut.

simbah mbah
pakdhé dhé
paklik lik
bapak pak
ibu bu
kangmas mas
kakang kang
mbakyu yu
adhi dhi

Selain bahasa Jawa Ngoko, bahasa Jawa Madya juga dapat disebut sebagai Kolokial. Hal itu disebabkan karena (1) bahasa Jawa Madya adalah bahasa Jawa Krama yang diturunkan (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979: 12), dan (2) Bahasa Jawa Madya memang bahasa Jawa Krama yang mengalami proses kolokialisasi (Soepomo Poedjasoedarmo, 1979: 15).
Berbeda dengan bahasa Jawa Ngoko, bahasa Jawa Madya masih mengandung sedikit rasa hormat pembicara terhadap mitra bicara. Bahasa Jawa Madya dikenal sebagai tingkat tutur yang agak hormat. Rasa hormat yang dikandung oleh Bahasa Jawa Madya lebih rendah dari yang dikandung oleh bahasa Jawa Krama. Oleh karena itu bahasa Jawa Madya terasa lebih santai bila dibandingkan dengan bahasa Jawa Krama.
Beberapa contoh kosakata Madya adalah sebagai berikut.

Madya Krama
Arti
ampun sampun ‘jangan’
dugi dumugi ‘tiba, sampai’
êmpun sampun ‘sudah’
kèn kèngkèn ‘suruh’
king saking ‘dari’
napa punapa ‘apa’
nika punika ‘itu’
njing bénjing ‘besok’
têng dhatêng ‘ke’
sêg sawêg ‘sedang’

Dari beberapa contoh kosakata Madya di atas tampak bahwa leksikon Madya telah mengalami “pembuntungan” atau kolokialisasi dari kosakata Krama. Terdapat beberapa bagian dari kata Krama yang dihilangkan.

F.Penutup

Demikianlah uraian tentang Vulgar, Slang, dan Kolokial dalam bahasa Jawa. Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Vulgar, Slang, dan Kolokial merupakan bentuk-bentuk bahasa lisan yang digunakan dalam percakapan anggota kelompok sosial di dalam masyarakat. Vulgar merupakan bahasa percakapan kelompok sosial yang kurang berpendidikan. Slang merupakan bahasa rahasia dalam percakapan antaranggota suatu kelompok sosial, kebanyakan anak-anak muda. Kolokial merupakan bahasa percakapan dalam situasi santai.
Dalam bahasa Jawa Vulgar merupakan bagian dari tingkat tutur Ngoko, meskipun demikian bahasa Jawa memiliki kosakata kasar secara khusus. Selain itu kata-kata kasar juga dipungut dari kata-kata yang sebenarnya untuk binatang tetapi diterapkan untuk manusia. Demikian juga Slang “dibangun” berdasarkan leksikon Ngoko. Kolokial selain berbentuk Ngoko juga Madya. Kosakata Madya merupakan kosakata Krama yang mengalami proses kolokialisasi. Selain itu di dalam bahasa Jawa kata-kata sapaan kekerabatan juga mengalami proses kolokialisasi di dalam percakapan.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Antunsuhono. 1953. Reringkesaning Paramasastra Djawi. Jogjakarta: Soejadi.
Basuki Suhardi, et al (penerjemah). 1995. Teori dan Metode Sosiolinguistik II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. (Edisi Ketiga). Jakarta: Gramedia.
Mansoer Pateda. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Maryono Dwiraharjo. 2001. Pokok-Pokok Materi Perkuliahan Sosiolinguistik. Surakarta: Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Soepomo Poedjosoedarmo, et al. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Suwito. 1985. Sosiolinguistik: Pengantar Awal. Surakarta: Henary Offset.