Selasa, 23 Februari 2010

SERAT KALATIDHA

SERAT KALATIDHA
MENGINGATKAN MANUSIA PADA AKHIR KEHIDUPAN
Oleh: Aloysius Indratmo
KR 21 Mei 1985

14 Maret 1802, atau dalam tarikh Jawa Senen Legi 10 Dulkaidah, tahun Be 1728, dan tepat pada saat matahari di titik kulminasi, wuku Sungsang, Dewi Sri, Warukung Uwas, mangsa Jita, windu Sangara, di kampung Kliwon Surakarta lahirlah seorang anak dari keluarga Mas Panjangswara alias Mas Ngabehi Ranggawarsita II.
Mas Ngabehi Ranggawarsita II alias Mas Panjangswara dikenal sebagai carik di Kadipaten Anom. Ia terkenal sebagai ahli tarik suara. Selain suaranya yang merdu, ia pun dikenal karena Jawa-nya. Mas Panjangswara adalah putra R.Ng.Ranggawarsita I alias RT Sastranagara alias R.Ng.Yasadipura II.
Sejarah Sastra Jawa pun mencatat tanggal 14 Maret 1802 itu lahir seorang anak laki-laki yang kelak kemudian menjadi seorang cerdik-pandai, bijaksana, bahkan menjadi parampara kerajaan Surakarta Hadiningrat. Dialah Raden Ngabehi Ranggawarsita yang punya nama kecil Bagus Burhan. Pujangga besar sastra Jawa ini wafat setelah mengenyam hidup sekitar sembilan windu. Beliau wafat pada tanggal 24 Desember 1874, pada hari Rebo Pon 5 Zulhijah 1802 Jawa.

Kekecewaan
Salah satu karya R.Ng.Ranggawarsita yang terkenal adalah Serat Kalatidha. Serat ini terdiri atas dua belas bait dengan satu bait pembuka. Kesemuanya dalam bentuk tembang Sinom. Ketika menulis Serat Kalatidha R.Ng.Ranggawarsita tengah dirundung kekecewaan karena kenaikan pangkatnya dibatalkan. Penyebabnya adalah kekacauan yang terjadi dalam kerajaan Surakarta. Pakubuwana IX mencurigai ayah R.Ng.Ranggawarsita menyetujui pengasingan Pakubuwana VI, ayah Pakubuwana VI, ke Ambon pada tahun 1830 M. Kecurigaan itu berakibat ayah R.Ng.Ranggawarsita diasingkan ke Jakarta hingga wafat. Musibah ini ternyata berpengaruh terhadap rencana Pakubuwana IX yang hendak menaikkan pangkat R.Ng.Ranggwarsita dari Kliwon Kadipaten Anom menjadi Bupati Anom. Kekecewaan ini dapat kita tangkap dari bait 3 dan 4.
Kekecewaan dalam pengalaman hidupnya di tengah suasana yang serba kacau, serba menyedihkan, berhasil ia padukan dengan pengetahuan yang diperolehnya. Lahirlah Serat Kalatidha yang maksudnya untuk memperingatkan manusia, sekaligus mengajarnya agar selalu mawas diri atau eling dan waspada terhadap situasi jaman.

Falsafah
Serat Kalatidha adalah serat yang memuat tentang falsafah atau ajaran hidup hasil perenungan dan pemikiran pujangga R.Ng.Ranggawarsita. Dari serat ini banyak yang dapat kita peroleh untuk bekal hidup kita. Tulisan ini akan mencoba menangkap ajaran R.Ng.Ranggawarsita tentang akhir hidup manusia, meskipun menurut Karkono Partokusumo inti dari serat ini adalah yang tertulis dalam bait ketujuh. Bait ini menggambarkan situasi pada masa itu yang benar-benar “gila”. Itulah sebabnya bait ini disebut sebagai bait “jaman edan”.
Ternyata R.Ng.Ranggawarsita tidak hanya kecewa tetapi bahkan putus asa. Ia bermaksud memperoleh keuntungan tetapi karena tak terkabul akibatnya leburlah cita-citanya, kehendaknya “met pamrih pakolih, temah suh-ha ing karsa tanpa weweka”. Bagaimanapun R.Ng.Ranggawarsita adalah manusia biasa oleh karena itu ia tak luput dari kekecewaan. Untungnya kekecewaan ini tidak diungkapkannya melalui demonstrasi tetapi justru mendekatkan dirinya pada Tuhan.
Seakan dengan kekecewaannya, dengan penderitaannya ini, R.Ng.Ranggawarsita lebih menyadari eksistensinya. Memang dalam penderitaan dan kemalangan lebih besar kemungkinan manusia akan mencapai eksistensi yang otentik daripada dalam kemakmuran dan kebahagiaan yang terancam.
Dalam keadaan makmur yang berlimpah-limpah, arti eksistensi seringkali tinggal tersembunyi. Tidak jarang kesengsaraan menjadi jalan menuju pengalaman tentang ‘transendensi’. Dan jika manusia telah menyadari eksistensinya di hadapan Tuhan maka ia akan merasa terlalu banyak dosa, dan ia pun mulai mawas diri. Inilah yang dialami R.Ng.Ranggawarsita.
Setelah menimbang-nimbang dan mawas diri akhirnya R.Ng.Ranggawarsita pun anarima, mupus papesthening takdir. R.Ng.Ranggawarsita sadar bahwa memang tidak ada faedahnya jika berkedudukan tinggi tetapi akan mengakibatkan kesulitan dan sakit hati, seperti dikatakannya: yen pinikir sayekti, pedah apa aneng kayun, andhedher kaluputan, siniram banyu lali, lamun tuwuh dadi kekembanging beka.
Untuk menutup kekecewaannya R.Ng.Ranggawarsita lebih banyak menulis cerita: “angurbaya ngiketa cariteng kuna”. R.Ng.Ranggawarsita menerima kekecewaan dan kesedihannya sebagai takdir Tuhan yang harus diterimanya. Dengan menerima takdir, manusia akan merasa dekat dengan Tuhannya. Atau, dalam penderitaan manusia hendaknya makin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Meskipun telah ditutup dengan menulis cerita-cerita kuna tetapi ternyata perasaan putus asa itu mesih juga mencekam hatinya, sehingga R.Ng.Ranggawarsita merasa mulai tua. Dan jika orang sudah merasa tua maka ia pun mulai memikirkan kematian. Dengan mawas diri manusia merasa banyak dosa dan dengan menyadari kematian maka manusia mulai mencari pengampunan dosanya. Di Jawa, pengampunan dosa dan mendekatkan diri dengan Tuhan dapat dilakukan dengan menyepi, menjauhkan diri dari keduniawian. Inilah yang dilakukan R.Ng.Ranggawarsita, seperti dituliskannya: “wis tuwa are papa, muhung mahas ing asepi, supayantuk parimarmaning Hyang Suksma”.
Puncak dari menyepi ini akhirnya manusia harus dapat “mati sajroning urip” seperti diungkapkan oleh R.Ng.Ranggawarsita pada bait kedua belas berikut:
Sageda sabar santosa,
Mati sajroning ngaurip,
Kalis ing reh huru-hara,
Murka angkara sumingkir,
Tarlen meleng malatsih,
Sanityaseng tyas mamatuh,
Badharing sapudhendha,
Antuk mayar sawatawis,
Borong angga suwarga mesi martaya.
Mati sajroning urip dalam bahasa J.Krishnamurti disebut meditasi. Meditasi adalah pekerjaan berat, kata Krishnamurti. Ia menuntut bentuk tertinggi dari disiplin – bukan penyesuaikan diri, bukan penjiplakan, bukan ketaatan, melainkan suatu disiplin yang datang melalui kewaspadaan yang terus-menerus, bukan hanya waspadaterhadap hal-hal yang ada di luar diri, melainkan juga di sebelah dalam. Maka meditasi bukanlah suatu kegiatan dari pengasingan diri, melainkan tindakan dalam kehidupan sehari-hari yang menuntut kerja sama, kepekaan, dan intelegensi. Tanpa meletakkan dasar dari suatu kehidupan benar, meditasi menjadi suatu pelarian dan karenanya tidak mempunyai nilai apapun juga. Suatu kehidupan benar bukan berarti mengikuti akhlak kemasyarakatan, melainkan kebebasan dari iri hati, ketamakan dan dari pencarian kekuasaan – yang kesemuanya itu melahirkan permusuhan.
Kebebasan dari semua ini tidak datang melalui kesibukan dari kemauan melainkan melalui kewaspadaan terhadap semua itu, melalui pengenalan diri sendiri. Tanpa mengenal kesibukan diri pribadi, meditasi menjadi rangsangan indra dank arena itu sedikit sekali artinya.
Hal inilah yang dimaksud R.Ng.Ranggawarsita terutama dalam bait kesembilan dan kesepuluh, ketika beliau mengatakan: “ikhtiar iku yekti, pamilihe reh rahayu, sinambi mbudi daya, kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka marmaning Suksma. Memang dalam ‘bertapa’, setelah mewawas diri sendiri dengan seksama, orang harus suka dan mampu mengoreksi diri pribadi, di bawah pengawasan disiplin pribadi yang keras. Selanjutnya menuju langsung ke arah penjernihan pendapat, ketajaman kecerdasan atau budi, agar dengan demikian mendapat keyakinan yang menentukan.

Eskatologis
Dengan mengingat unsur-unsur di atas dapatlah dikatakan bahwa Serat Kalatidha merupakan naskah eskatologis, seperti ditegaskan oleh R.Ng.Ranggawarsita pada bait kesebelas, sebagai berikut:
Ya Allah ya Rasulullah,
Kang sipat murah lan asih,
Mugi-mugi aparinga,
Pitulung ingkang nartani,
Ing alam awal akhir …

Manusia harus mengatur hidupnya di dunia ini untuk kebahagiaan di dunia nanti. Lalu bagaimana cara mencapai kebahagiaan di dunia nanti? Dalam Kalatidha bait kedelapan disebutkan, manusia pertama-tama harus mampu meninggalkan hal-hal yang sifatnya duniawi dan juga harus dapat meninggalkan hal atau orang-orang yang dicintai. Dalam kehidupan sehari-hari disebutkan, manusia jangan sampai kelet kumanthil. Hendaknya manusia meninggalkan hal-hal dan orang-orang tercinta itu.
Jalan atau sarananya ialah eling (bait kesepuluh). Manusia hendaknya selalu eling atau sadar akan Tuhan, maka manusia akan dapat bersifat hati-hati sehingga dapat memisahkan yang benar dan yang salah agar tindakannya tidak terjerumus ke hal-hal yang nista. Dan kendaraannya adalah iman, kepercayaan akan Tuhan. Hal ini diungkapkan oleh R.Ng.Ranggawarsita dalam bait keenam.
Demikianlah ajaran dalam Serat Kalatidha karya pujangga keturunan kesepuluh Sultan Trenggana bila ditarik dari garis ibunya. Karya R.Ng.Ranggawarsita ini merupakan karya seni yang mencerminkan kesejatian hidup, baik secara lahir maupun secara batin. Pada sisi lain, karya demikian akan menumbuhkan semangat humanism universal. Dan karya demikian akan tetap relevan sepanjang jaman.

Senin, 15 Februari 2010

RANGGAWARSITA & JAMAN EDAN

RANGGAWARSITA PUN OPTIMISTIS HADAPI JAMAN EDAN
Oleh: Aloysius Indratmo
KR, 8 Februari 1985

Raden Ngabehi Ranggawarsita sebagai seorang pujangga terakhir kraton Surakarta telah banyak dikenal oleh masyarakat Jawa. R.Ng.Ranggawarsita yang juga dikenal sebagai “pujangga rakyat” dalam hidupnya yang kira-kira selama 71 tahun 9 bulan itu telah melahirkan kurang lebih enam puluh judul buku. Namun gelar pujangga besar itu bukan hanya ditilik dari banyaknya karya yang telah ditulis, melainkan lebih-lebih ditinjau dari bobot isi dari karya-karyanya.
Dari seluruh karya R.Ng.Ranggawarsita, sebagian besar memang bercorak sastra yang jumlahnya kurang lebih dua puluh buah, di antaranya: Ajidarma, Ajipamasa, Ajinirmala, Bratayuda, Budayana, Cemporet, Darmasarana, Jitabsara, Matnyanaparta, Panji Kudanarawangsa, Panji Jayengtilam, Paramayoga, Purusangkara, Puwagnyana, Pustakaraja, Sariwahana, Witaradya, dan Yudayana. Sedangkan karya-karya yang lain mempunyai corak: pendidikan, ilmu pengetahuan, filsafat, babad, jangka, pakem pedalangan, dan silsilah. Memang belum semua karya R.Ng.Ranggawarsita ini diterbitkan. Masih banyak naskah-naskahnya yang berupa tulisan tangan. Karya-karya R.Ng.Ranggawarsita yang bercorak pendidikan antara lain: Sabdajati, Sabdapranawa, Sabdatama, Kalatidha.

Jaman Gila
Dalam Kalatidha inilah R.Ng.Ranggawarsita memberikan gambaran tentang kacaunya keadaan masyarakat waktu itu. Karena kacaunya keadaan itu maka ia menyebut jaman itu sebagai jaman gila. Dalam bait ketujuh dari Kalatidha kita dapat menangkap situasi itu yang dituliskan sebagai:
Amenangi jaman edan
Ewuh-aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah kersa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada.
Kalatidha sendiri terdiri atas dua belas bait dengan satu bait pembuka. Semua dalam tembang Sinom. Dalam bait-bait sebelumnya Sang Pujangga mencoba mencari sebab-sebab terjadinya kekacauan itu, tetapi ia justru menemui kontradiksi-kontradiksi. Pada bait pertama disebutkan bahwa jalan perundang-undangan yang rusak itu karena tiadanya teladan: rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi. Tetapi pada bait kedua disebut bahwa semua punggawa kraton sampai rajanya pun merupakan priyayi yang baik bahkan utama. Rupanya keutamaan raja tidak mampu memberi teladan kepada punggawa dan rakyatnya.
Memang kehendak orang itu berbeda-beda dan inilah yang merupakan halangan yang membanjiri suasana waktu itu. Orang-orang pun lalu berlomba-lomba berbuat culas, berbuat tidak jujur, karena orang-orang yang jujur akan terbelakang. Oleh karena tidak dapat menemukan sebab-sebab yang pasti, akhirnya R.Ng.Ranggawarsita menyimpulkan bahwa suasana itu memang sudah merupakan takdir Tuhan. Anggap saja sebuah keajaiban, seperti dituliskan sebagai:
Temahan anarima
Mupus papesthening takdir
Puluh-puluh anglakoni kaelokan.

Pada hakikatnya R.Ng.Ranggawarsita tidak menemukan sebab-sebab pasti dari kekacauan keadaan itu. Keadaan itu memang sulit diterima akal, absurd, sehingga ia menyebutnya sebagai kaelokan. Menyadari absurditas dunia ini, R.Ng.Ranggawarsita menyerahkannya kepada kebijaksanaan Tuhan.
Pujangga yang pernah dididik Kiai Kasan Besari di pesantren Gebang Tinatar, Ponorogo ini menyadari kebesaran Tuhan yang kadang kehendakNya sulit diterima manusia. Namun ia percaya dan optimistis bahwa Tuhan masih akan melindungi orang-orang yang eling dan waspada. Ranggawarsita tidak mencoba menentang absurditas itu, tetapi dengan bersandar pada kuasaTuhan ia berusaha mawas diri kanthi awas lawan eling.
Kepercayaannya inilah yang telah membedakannya dari penulis-penulis Barat yang atheis, Albert Camus misalnya. Pandangan Camus tentang absurditas tampak dalam novelnya yang berjudul La Peste. Absurditas digambarkannya sebagai wabah sampar yang tiba-tiba melanda manusia tanpa dapat diketahui sebab-musababnya. Wabah sampar itu menjadikan kehidupan manusia menjadi brengsek, pahit, dan penuh kemalangan. Dan ini dianggapnya sebagai masalah duniawi semata. Sehingga manusia harus menentangnya, memberontak dengan tanpa berlagak sebagai pahlawan, seraya meninggalkan dimensi transenden.
Camus sependapat dengan Nietzshe, yang mengatakan bahwa mencari jalan pada yang transenden atas persoalan-persoalan duniawi adalah tindakan pemalas yang ingin mencari gampang-gampangan saja. Kepercayaan akan Allah adalah pelarian yang paling mudah untuk memecahkan persoalan-persoalan, tetapi kurang mengena (Sindhunata dan A. Sudiarja, 1982:19).
Akhirnya Camus menyimpulkan bahwa dunia ini absurd karena tidak dapat menerangkan kontradiksi-kontradiksi yang ada padanya. Kesulitan untuk menangkap dan mengerti kontradiksi-kontradiksi dalam hidup manusia ini agaknya telah lama dialami manusia, sehingga Sophochles, penulis Yunani yang hidup sebelum tarikh Masehi itupun lewat tokoh Theiresias berseru: “Wahai Dewa, adalah derita untuk mengerti. Dan bila mengerti, derita akibatnya.”

Pendidikan
Untuk mengatasi absurditas dunia, Camus menganjurkan agar manusia berani memberontaknya. Anjuran ini berbeda dengan yang diberikan oleh R.Ng.Ranggawarsita. Dalam bait keenam R.Ng.Ranggawarsita mengajarkan agar manusia percaya akan takdir Tuhan. Bait kesembilan mengajarkan agar manusia harus ikhtiar, yang disambung bait kesepuluh yang mengajarkan agar manusia selalu awas dan eling. Sedang bait kedelapan dan kesebelas R.Ng.Ranggawarsita mengajarkan agar manusia selalu mawas diri.
Mawas diri memang merupakan senjata ampuh dalam membentuk kepribadian manusia yang utama. Manusia yang utama adalah manusia yang memiliki tiga sifat utama, yakni pertama, selalu menjaga keselarasan dengan dunia yang diwujudkan dalam susila/etikanya; kedua, selalu menjaga keselarasan dengan Tuhan yang diwujudkan dalam ketakwaannya. Dan ketiga, selalu dekat dengan kesadaran dirinya yang diwujudkan dalam sikap batinnya yang selalu eling dan waspada, sadar dan waspada akan segala tindakannya.

Bagaimana dengan keadaan dunia saat ini? Dennis Gabor menilai abad ini sebagai suatu tragi-komedi. Yakni suatu abad yang menyeret manusia kepada suatu sukses tetapi sia-sia. Lucu tapi mengharukan. Dunia saat ini sedang dilanda wabah “ramai ini, ramai itu”. Semua orang ikut-ikutan. Yang tidak dapat ikut resah dan gelisah. Gejala resah dan gelisah karena ketidaksampaian maksud hati mengikuti gejolak musim ini disebut dengan nama beken “frustrasi”. Dan bila sudah memuncak dan menimbulkan keinginan yang aneh-aneh dalam bertindak, penyakitnya disebut “neurosis”.
Nah, jika manusia sudah dapat memiliki sifat-sifat utama itu, saya rasa akan terbebas dari penyakit neurosis itu. Dengan kata lain, ajaran R.Ng.Ranggawarsita dalam Kalatidha ini masih relevan untuk jaman ini. Manusia hendaknya selalu eling atau sadar terhadap Tuhan maka manusia akan dapat bersifat hati-hati sehingga dapat memisahkan yang benar dan yang salah, yang nyata dan yang bukan nyata, yang berubah dan yang abadi.

Rabu, 10 Februari 2010

DUNIA SASTRA JAWA

DUNIA SASTRA JAWA
Aloysius Indratmo


1. Pengantar
Dunia Sastra Jawa sampai dengan saat ini belum banyak dipahami masyarakat. Saudara-saudara mahasiswa baru mungkin juga belum sepenuhnya mengetahui seberapa luas dunia sastra kita. Ketika ditanya mengapa memilih Jurusan Sastra Daerah (Jawa), kebanyakan dari mahasiswa baru menjawab “karena ingin menjadi guru Bahasa Jawa”. Menurut banyak orang Sastra Jawa itu identik dengan Bahasa Jawa, padahal tidaklah demikian.
Sastra Jawa memang erat kaitannya dengan bahasa Jawa tetapi Sastra Jawa tidak sekedar Bahasa Jawa. Studi Sastra Jawa dengan demikian tidak hanya studi tentang Bahasa Jawa. Studi Sastra Jawa merupakan dunia yang sangat luas, yang menantang kita, para peneliti dan calon peneliti untuk segera menggarapnya. Seberapa luas Sastra Jawa itu, kita bicarakan pada bagian berikut.

2. Pengertian Sastra Jawa
Kalau kita berbicara tentang Sastra Jawa, sebaiknya kita sampaikan dulu pengertian dasar tentang apa itu Sastra Jawa. Pengertian dasar ini diperlukan agar pembicaraan kita memiliki landasan yang sama sehingga bisa lebih terfokus.
Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita mulai dengan menjawab pertanyaan “Apakah yang dimaksud dengan Sastra?” Terdapat banyak definisi tentang Sastra yang pernah dikemukakan para ahli tetapi yang pali sederhana adalah sebagai berikut.
Sastra atau Karya Sastra adalah karya seni yang menggunakan bahasa sebagai media. Kita mengenal banyak jenis karya seni. Lukisan adalah karya seni yang menggunakan garis dan warna sebagai media. Patung adalah karya seni yang menggunakan bentuk sebagai media. Lagu adalah karya seni yang menggunakan titi nada sebagai media. Berbeda dengan lukisan, patung, dan lagu, Sastra menggunakan bahasa sebagai media ekspresinya.
Kalau kita berpijak pada pengertian Sastra di atas, maka yang dimaksud dengan Sastra Jawa adalah karya seni yang menggunakan Bahasa Jawa sebagai media.
Di dalam pengertian Sastra terdapat empat komponen yang saling berhubungan. Keempat komponen tersebut adalah karya (sastra), penulis, pembaca, dan realitas (dunia).
Karya sastra merupakan komponen pokok dan pusat di antara ketiga komponen yang lain. Jika tidak ada karya sastra tidak akan ada komponen yang lain. Karya Sastra biasanya berbentuk prosa, puisi, dan drama; lisan dan tulis.
Penulis adalah manusia penghasil karya sastra. Penulis karya sastra disebut dengan berbagai istilah, misalnya Kawi, pujangga, penggurit, novelis, sastrawan. Di dalam komponen penulis dapat pula diamati tentang proses kreatif yang berbeda-beda dari zaman ke zaman. Istilah Penulis sebenarnya memiliki pengertian Pengarang/Pencipta; sehingga termuat juga para pencipta sastra lisan, bukan hanya sastra tulis saja.
Pembaca adalah manusia penikmat karya sastra. Dalam hubungan antara karya dengan pembaca terdapat proses resepsi/tanggapan/tafsir/pemaknaan. Pada komponen ini termasuk juga hasil proses pembacaan/mendengarkan; yang bisa berupa kritik atau pun karya baru.
Komponen yang keempat, realitas dunia. Ini merupakan tempat hidup ketiga komponen sebelumnya. Penulis hidup di dunia, ia mendapat inspirasi dari dunia pula. Karya sastra menceritakan orang-orang yang hidup dalam dunia, maka karya sastra juga mencerminkan realitas dunia. Pembaca juga memerlukan pengetahuan tentang dunia untuk dapat memahami karya sastra yang dibacanya.
Karya Sastra adalah benda budaya, karena ia diciptakan oleh manusia, hasil sentuhan tangan manusia. Sebagai benda budaya karya sastra memuat ide/gagasan penciptanya. Sedangkan gagasan pokok dalam sastra adalah kemanusiaan.



3. Khazanah Sastra Jawa
Yang membedakan Sastra Jawa dengan sastra yang lain adalah pada penggunaan Bahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki sejarah yang sangat panjang, yakni sejak zaman kuna hingga saat ini. Oleh karena itu Bahasa Jawa dapat dibedakan berdasarkan kesejarahannya. Sejalan dengan itu maka Sastra Jawa juga dapat dipilah-pilah sesuai dengan perkembangan historis Bahasa Jawa.
Selain itu, karena sastra berbicara tentang manusia dan kemanusiaan, maka sastra juga memuat seluruh aspek hidup manusia. Oleh karena itu terdapat berbagai kategori/jenis sastra. Maka Sastra Jawa juga dapat digolongkan berdasarkan jenisnya.

3.1 Jenis Sastra Jawa berdasarkan bahasa
Berdasarkan Bahasa Jawa yang digunakan, Sastra Jawa dapat dibedakan menjadi Sastra Jawa Kuna, Sastra Jawa Tengahan, Sastra Jawa Baru, dan Sastra Jawa modern.

3.1.1 Sastra Jawa Kuna
Sebagian besar Sastra Jawa Kuna berbentuk Kakawin (puisi) yang menggunakan metrum India, tetapi terdapat juga yang berbentuk Parwa (prosa). Bahasa Jawa Kuna sering disebut sebagai Bahasa Kawi, akan tetapi sebutan Bahasa Kawi bagi Bahasa Jawa Kuna tidaklah tepat. Bahasa Kawi hanya berarti bahasa para Kawi, yakni para penulis Kakawin. Akan tetapi Bahasa Jawa kuna tidak hanya digunakan dalam Kakawin saja, Parwa juga menggunakan Bahasa Jawa Kuna sehingga sebutan Bahasa Kawi lalu menjadi terlalu sempit. Memang pernah ada penggunaan istilah Bahasa Parwa, tetapi sebagaimana sebutan Bahasa Kawi, sebutan Bahasa Parwa juga terlalu sempit, hanya mencakup sebagian saja, tidak mencakup semuanya seutuhnya.
Sastra Jawa Kuna hidup pada abad IX- XVII, atau pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu Jawa, yakni sejak Mataram Hindu sampai Majapahit. Beberapa karya besar zaman Jawa Kuna aantara lain:
- Ramayana karya Yogiswara
- Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa
- Hariwangsa karya Mpu Panuluh
- Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan Panuluh
- Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh
- Krsnayana karya Mpu Panuluh
- Smaradahana karya Mpu Dharmaja
- Arjunawijaya karya Mpu Tantular
- Sutasoma karya Mpu Tantular
- Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca
- Lubdaka/Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung (Zoetmulder, 1985: 453).

3.1.2 Sastra Jawa Tengahan
Bahasa Jawa Tengahan digunakan sekitar abad XVI, atau pada masa akhir Majapahit sampai dengan masuknya Islam ke Jawa. Karya Sastra Jawa Tengahan sebagian besar dalam bentuk Kidung (Puisi). Berbeda dengan Kakawin yang menggunakan metrum India, Kidung menggunakan metrum Jawa. Beberapa karya Kidung antara lain:
- Kidung Harsawijaya
- Kidung Ranggalawe
- Kidung Sorandaka
- Kidung Sunda
- Wangbang Wideya
- Sri Tanjung (Zoetmulder, 1985: 532).

3.1.3 Sastra Jawa Baru
Penggunaan Bahasa Jawa Baru sejak masuknya Islam ke Jawa, dan semakin berkembang saat Kerajaan Demak berkuasa. Berbeda dengan Sastra Jawa Kuna dan Sastra Jawa Tengahan yang tidak menyisakan sastra lisan, Sastra Jawa Baru masih meninggalkan sastra dalam bentuk lisan. Sastra Lisan kebanyakan berkembang dalam tradisi masyarakat lokal bersama folklor setempat. Sastra Lisan ini sering juga disebut sebagai Cerita Rakyat.
Sastra Jawa Baru yang tertulis juga sering disebut Sastra Kapujanggan. Disebut demikian karena sastra ini kebanyakan ditulis oleh para pujangga kerajaan. Selama abad XVIII dan XIX dikenal tiga belas nama tokoh pujangga besar, termasuk di antaranya dua raja Surakarta: PB II dan IV, seorang pangeran, dan dua adipati dari Semarang (Margana, 2004: 133). Beberapa pujangga itu antara lain:
- Pangeran Adilangu II
Pangeran Adilangu atau Kadilangu II adalah keturunan Sunan Kalijaga yang juga dikenal sebagai Pangeran Adilangu. Pangeran Adilangu II adalah pujangga semasa PB I dari Kartasura. Karyanya adalah Babad Pajajaran, Babad Demak, Babad Mentawis.
- Carik Bajra (wafat 1751)
Pada masa mudanya ia bernama Sarataruna yang bekerja sebagai juru tulis di rumah Tumenggung Kartanegara. Karena tulisan-tulisannya disukai Raja PB I, ia diminta untuk menjadi juru tulis istana dan memperoleh gelar Carik Bajra. Karyanya adalah Babad Kartasura dan Babad Tanah Jawi.
- Raden Ngabehi Yasadipura I (1729 – 1803)
R.Ng. Yasadipura I lahir di desa Pengging. Ayahnya adalah Tumenggung Padmanagara, seorang jaksa pada masa Kartasura. R.Ng. Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Karya-karyanya adalah: Tajusalatin, Iskandar, Panji Anggreni, Babad Giyanti, Sewaka, Ambiya, Menak, Baratayuda (jarwa), Babad Prayut, Cebolek, Arjunawiwaha (jarwa), Arjunasasrabahu (jarwa), Rama (jarwa), Panitisastra (Kawi Miring), Dewa Ruci (jarwa), Babad Pakepung.
- Raden Ngabehi Yasadipura II (1756 – 1844)
R.Ng. Yasadipura II adalah putra R. Ng. Yasadipura I. Ia memiliki beberapa nama lain, yakni Raden Panjangwasita, R.Ng. Ranggawarsita I, dan Tumenggung Sastranagara. Karirnya sebagai penulis mulai berkembang pada awal abad XIX. Bersama-sama dengan atahnya ia menulis beberapa babad dan menerjemahkan beberapa karya Jawa Kuna. Ia diangkat sebagai pujangga kerajaan setelah ayahnya wafat. Ia juga bekerjasama dengan Kiai Ranggasutrasna, Kiai Ngabehi Sastradipura, dan Pangeran Adipati Anom Hamengkubuwana III (PB V) menyusun Serat Centhini.
Karya-karya Yasadipura II antara lain: Serat Arjunasasra atau Serat Lokapala, Serat Darmasunya, Serat Panitisastra, Serat Kawidasanama, Serat Ambiya, Serat Musa, Serat Sasana Sunu, Babad Pakepung, Serat Wicara Keras, dan Serat Centhini. Kemungkinan bersama CF Winter ia juga menggubah Serat Baratayuda dan Serat Ramayana.
- Raden Ngabehi Ranggawarsita (18 Maret 1802 – 23 Desember 1873)
R.Ng. Ranggawarsita adalah putra Raden Ngabehi Panjangswara atau Raden Ngabehi Ranggawarsita II; atau cucu Yasadipura II. Nama kecilnya adalah Bagus Burhan. Karya R.Ng. Ranggawarsita diperkirakan berjumlah enam puluh serat. Di dalam beberapa karyanya R.Ng. Ranggawarsita menyamarkan namanya ke dalam sandi asma. Beberapa karyanya juga memuat ramalan. Karya-karya yang banyak dikenal masyarakat antara lain: Serat Kalatidha, Serat Jaka Lodhang, Serat Sabdajati, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Pustakaraja Purwa, Serat Jayengbaya.

3.1.4 Sastra Jawa Modern
R.Ng. Ranggawarsita dikenal sebagai pujangga terakhir Sastra Jawa. Setelah kematiannya berkembanglah Sastra Jawa Modern. Kemunculan Sastra Jawa Modern bersamaan dengan munculnya penerbit dan surat khabar, seperti Penerbit Balai Pustaka (1917), Surat Khabar Bromartani (1885), Surat Khabar Retnodumilah (1895), Surat Khabar Budi Utomo (1920) dan lain-lain.
Tokoh Sastra yang muncul pada masa ini adalah Ki Padmosusastra, yang oleh Imam Supardi dijuluki “Wong mardika kang kang marsudi kasusastran Jawa” (Suripan, 1975: 8). Ki Padmosusastra lebih banyak menulis prosa daripada puisi (tembang). Ki Padmosusastra juga menerbitkan karya-karya pujangga sebelumnya. Beberapa karyanya antara lain: Rangsang Tuban, Layang Madubasa, Serat Pathibasa.
Pada periode ini banyak karya berupa kisah perjalanan, misalnya Cariyos Kekesahan Saking Tanah Jawi Dhateng Nagari Welandi tulisan RMA Suryasuparta. Terdapat juga karya terjemahan dari sastra dunia, seperti Dongeng Sewu Setunggal Dalu.
Sastra Jawa Modern periode 1920 – 1945 sepenuhnya didukung oleh penerbit Balai Pustaka, Majalah Panjebar Semangat. Novel pertama diterbitkan tahun 1920 berjudul Serat Riyanto tulisan RM Sulardi. Sejak tahun 1935 crita sambung mulai berkembang, diawali oleh cerita bersambung karya Sri Susinah dengan judul “Sandhal Jinjit Ing Sekaten Sala” (PS No. 44 Tahun III, 2 Nov 1935). Disusul kemudian dengan perkembangan crita cekak yang dimulai oleh terbitnya karya Sambo yang berjudul “Netepi Kuwajiban” (PS No. 45 Tahun III, 9 Nov 1935). Geguritan muncul agak belakangan, yakni berjudul “Dayaning Sastra” karya R. Intoyo dalam majalah Kejawen No, 26 tanggal 1 April 1941.
Sejak saat itu Sastra Jawa Modern terus berkembang hingga saat ini dengan didukung oleh ratusan pengarang yang masih setia.

3.2 Jenis Sastra Jawa berdasarkan kategori isi
Karya Sastra Jawa dapat dibagi berdasarkan kategori isi menjadi:
3.2.1 Sejarah
`Teks Sejarah mencakup segala macam babad yang menceritakan peristiwa historis dan legendaris, sejak penciptaan dunia sampai dengan Perang Dunia I.
3.2.2 Silsilah
Banyak di antara teks sejarah juga mengandung penjabaran silsilah para raja Jawa. Dalam bagian ini, hanya naskah yang secara eksplisit terfokus pada silsilah yang termasuk.
3.2.3 Hukum
Teks berisi uraian tentang hukum, peraturan dan adat-istiadat di kraton Jawa.
3.2.4 Bab Wayang
Teks yang termasuk dalam kategori “wayang” ini kebanyakan dikarang dalam bentuk prosa dan berisi pakem (ringkas atau lengkap) untuk lakon-lakon wayang purwa, madya, golek, gedhog, wong. Kategori ini juga mencakup tentang ruwat, pedalangan, dan pembuatan wayang.
3.2.5 Sastra Wayang
Kebanyakan teks ini merupakan saduran langsung dari pakem wayang, digarap dalam bentuk tembang macapat.
3.2.6 Sastra
Kategori ini yang paling luas di antara kategori yang dipakai, dan paling sulit untuk didefinisikan. Secara kasar, semua cerita yang digubah dalam bentuk prosamaupun puisi, yang menceritakan peristiwa yang tidak dianggap sebagai peristiwa historis, inilah yang tergolong disini.
3.2.7 Piwulang
Golongan teks yang memberi ajaran para orang saleh, suci dan bijaksana. Sebagian mementingkan keislaman dalam ajaran tersebut, tetapi sebagian besar mementingkan kejawen. Juga termasuk Sastra Suluk.
3.2.8 Islam
Teks tentang fiqih, sarat dan hukum Islam, maupun teks turunan teks kitab suci Al-Qur’an. Kebanyakan teks ini ditulis dengan huruf Arab atau Pegon, dan berisi kutipan panjang dalam bahasa Arab.
3.2.9 Primbon
Segala macam teks mengenai kumujuran serta kemalangan berdasarkan ilmu-ilmu tradisional, termasuk buku petangan, pawukon, impen, dan sebagainya.
3.2.10 Bahasa
Teks tentang bahasa serta kesusastraan Jawa, terutama jenis kamus. Juga terdapat teks tentang tembang, aksara Jawa, candrasengkala, daftar sinonim, wangsalan dan sebagainya.
3.2.11 Musik
Notasi gendhing Jawa dari Surakarta dan Yogyakarta, dan catatan-catatan lain tentang dunia gamelan.
3.2.12 Tari-tarian
Teks tentang seni tari Jawa dan kelengkapannya, termasuk tari wireng, tayub, bondhan, kridharini, srimpi dan bedhaya.
3.2.13 Adat-istiadat
Teks tentang berbagai macam kebiasaan dan kerajinan di Jawa, baik di kalangan rakyat kecil maupun kraton, termasuk cara berpakaian, songsong, mainan, sopan santun dalam istana, sadranan, keris dan para empu, kawruh kalang, upacara, dan sebagainya.
3.2.14 Lain-lain
Teks-teks yang tidak termuat di bawah kategori di atas (Behren, 1990: X)


4. Penelitian Sastra Jawa
Jurusan Sastra Daerah ini bertujuan untuk menyiapkan mahasiswanya menjadi peneliti, bukan yang lain. Oleh karena itu mhs dituntut memiliki kemampuan meneliti yang baik. Meneliti Sastra Jawa tentunya. Oleh karena Sastra Jawa memuat seluruh aspek kehidupan orang Jawa, maka Sastra Jawa ini menyediakan bahan/objek penelitian yang sangat luas.
Apa saja yang dapat diteliti pada Sastra Jawa?
Jawabannya tentu seluruh aspek yang termuat dalam Sastra Jawa itu, yakni aspek-aspek kehidupan masyarakat Jawa dari zaman Jawa Kuna hingga kini.
Muatan aspek-aspek kehidupan masyarakat Jawa dari zaman kuna hingga kini itulah kelebihan Sastra Jawa. Dengan kata lain Sastra Jawa ini telah “menyelamatkan” aspek-aspek Kebudayaan Jawa. Ketika bangunan-bangunan kuna sudah runtuh, ia masih dapat ditemui deskripsinya dalam Sastra Jawa. Gendhing-gendhing dan tarian yang sudah tidak dikenal masyarakat masih dapat dicari dalam Sastra. Mode Pakaian tradisional, kuliner, obat-obatan herbal, permainan tradisional, sopan santun, dan adat-istiadat lama yang kini tidak dikenal lagi masih lengkap diuraikan dalam Sastra.
Karena sangat luasnya maka penelitian Sastra Jawa justru tergantung pada minat penelitinya.
Peneliti yang tertarik/berminat pada bahasa Jawa dapat meneliti bahasa Sastra, sejak dari Bahasa Jawa Kuna, Tengahan, maupun Bahasa Jawa Modern. Bahasa Jawa Kuna memang sudah mati karena sudah tidak digunakan dalam komunikasi tetapi sisa-sisanya masih dijumpai sampai kini. Misalnya kata “dirgahayu”. Dari sini dapat pula dirunut perkembangan semantik suatu kata tertentu. Misalnya pergeseran semantik dari kata “hayu” (JK) menjadi “ayu” (JB).
Demikian juga dengan Bahasa Jawa Tengahan. Kata-kata bahasa Jawa Baru ada yang berasal dari Bahasa Jawa Tengahan, sebagian bermakna tetap, sebagian mengalami perubahan makna. Misalnya tampak dalam ungkapan “Lakune kaya macan luwe”.
Anda berminat di bidang apa? Arsitektur, seni pertunjukan, mode, kuliner, pengobatan, atau permainan tradisional? Semua bisa diwujudkan melalui penelitian Sastra Jawa.
Tampaklah bahwa penelitian Sastra Jawa juga dapat memberi sumbangan bagi ilmu/bidang yang lain. Penelitian tentang Arsitektur Jawa Tradisional dapat memberi kontribusi pada ilmu teknik. Penelitian tentang obat-obatan tradisional dapat memberi sumbangan kepada ilmu biologi dan kedokteran. Penelitian tentang tari, wayang, dan gendhing dapat memberi informasi tentang kekayaan budaya Jawa sehingga bisa membantu pengusahaan hak paten agar tidak dicuri oleh bangsa lain.
Demikianlah, luasnya cakupan Sastra Jawa juga menyediakan lahan yang luas pada penelitiannya. Peneliti Sastra Jawa tidak pernah akan kekurangan bahan. Dalam melaksanakan penelitian dapat menggunakan beberapa teori sebagai landasan. Pemilihan teori didasarkan pada tujuan penelitian. Teori yang digunakan juga bermacam-macam, dari teori Struktural yang meliputi teori struktural, resepsi/intertekstual, semiotik, sosiologi, psikologi, sampai teori Post-Struktural seperti dekonstruksi, feminisme, post-modernisme, post-kolonial, dan sebagainya.

5. Penutup
Demikianlah dunia Sastra Jawa. Tampak menakutkan? Memang tidak menakutkan, hanya menantang kita semua untuk kerja keras.
Bahan-bahan Sastra Jawa tadi memang tidak semuanya disampaikan dalam perkuliahan. Inilah yang membedakan sistem pengajaran di sekolah menengah dan universitas. Jika di sekolah menengah semua bahan dijejalkan kepada siswa, di universitas ibaratnya dosen hanya menunjukkan pintunya, selanjutnya terserah mahasiswa, mau masuk dan menggeluti atau hanya berdiri di pintu saja. Dengan demikian mahasiswa dituntut untuk banyak membaca sendiri, karena hanya dengan membaca itulah pengetahuan tentang Sastra Jawa dapat direguk. Keluasan pembacaan ini akan tampak ketika mahasiswa harus menyelesaikan skripsi di akhir kuliah. Mahasiswa yang banyak membaca tidak akan kesulitan dalam menulis skripsi, sebaliknya mahasiswa yang kurang membaca akan tersendat-sendat.
Akhirnya, selamat datang di Sastra Jawa. Reguklah kebijaksanaan Jawa sebanyak mungkin maka Anda akan menjadi manusia yang bijaksana pula.



DAFTAR PUSTAKA
Behrend, T.E. (ed.) 1990. Museum Sonobudaya Yogyakarta. Jakarta: Jambatan.

Margana, S. 2004. Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suripan Sadi Hutomo. 1975. Telaah Kesusastraan Jawa Modern. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Zoetmulder, PJ. 1985. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Jambatan.

Sabtu, 06 Februari 2010

KARNA: FIGUR PENDERITAAN MANUSIA

KARNA: FIGUR PENDERITAAN MANUSIA

Oleh:
Aloysius Indratmo


Dalam membeberkan ceritanya, seorang pengarang menciptakan tokoh-tokoh. Dalam menciptakan tokoh-tokoh itu pengarang memberikan citra yang berbeda-beda pada masing-masing tokoh. Di dalam citra tokoh itulah, secara langsung atau tidak langsung, tertuang kekayaan pengalaman, cita-cita serta amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca. Demikian pula kita dapati dalam tokoh Karna, seorang “manusia” yang tampil dalam cerita Bharatayuddha.
Karna atau Adipati Karna atau Basukarna pernah dijadikan tokoh teladan oleh Sri Mangkunagara IV dalam karyanya Tripama. Secara keseluruhan Tripama adalah tiga tokoh yang diwajibkan untuk dijadikan teladan bagi orang yang ingin mengabdikan diri di bidang keprajuritan dan kewiraan. Ketiga tokoh tersebut adalah Mahapatih Sumantri dari Mahespati, Mahawira Kumbakarna dari Alengka, dan Adipati Karna dari Astina. Jika Sri Mangkunagara IV telah mengangkat Karna karena keperwiraannya, tulisan ini akan menilik Karna dari aspek penderitaannya.


Karna dilahirkan di luar kehendak ibunya, Kunti. Bahkan kelahirannya tidak melalui pintu rahim sebagaimana layaknya seorang bayi, tetapi melalui lobang telinga. Setelah lahir Kunti tambah bingung. Apa yang harus diperbuatnya dengan anak Dewa Surya itu. Untuk menghindarkan kutuk dan malu, bayi itu akhirnya dimasukkan ke dalam kendaga lalu dihanyutkan ke dalam sungai.
Tak tahulah bagaimana perasaan bayi Karna pada waktu itu. Ia hanya bayi yang dapat menangis saja. Inilah awal penderitaan yang dialami oleh Karna di dunia.
Menurut seorang ahli ilmu jiwa, Otto Rank, kelahiran adalah suatu pengalaman pedih pertama yang menjadi dasar bagi penderitaan manusia sepanjang hidupnya. Lahir ke dunia berarti “dikeluarkan dari Taman Firdaus”, terlempar menjadi seorang pengembara yatim piatu di dalam dunia.
Pendapat Otto Rank ini menjadi nyata dalam kehidupan Karna. Penderitaan Karna semakin nyata dalam sebagian hidupnya bersama Ki Adirata dan Nyi Nanda, seorang kusir kereta Astina. Sebagai seorang anak kusir Karna harus membantu pekerjaan orang tuanya dari mencari rumput sampai memandikan kuda-kuda. Karna benar-benar menjalani masa mudanya dalam penderitaan kaum Sudra.

*******
Jika kehidupan Karna direnungkan dari penderitaannya maka kelahiran Karna tak dapat dipisahkan dari kematiannya dalam perang besar Bharata. Kelahiran Karna sudah mengandung misteri Bharatayudha. Sebagai seorang anak ia telah berbakti kepada orang tuanya, sebagai ksatria ia telah melakukan kewajibannya dalam membela negara. Tetapi nasib begitu malang merenggutnya. Nasib telah lebih dulu menentukan ia harus mati dalam Bharatayudha.
Karna bukan tidak tahu akan nasib yang bakal menimpa dirinya, tetapi dengan kesadaran penuh akan tanggung jawabnya (sebagai pribadi dan sebagai senopati Korawa) ia terima nasib itu dengan lapang dada. Oleh karena itulah ajakan Kunti dan juga Kresna agar ia menyeberang memihak Pandhawa ditolaknya dengan halus. Kepada Kresna Karna berkata, “Saya tahu Kurawa pasti akan lebur walaupun dibantu dengan kekuatan militer bagaimana pun kuatnya. Saya pun tahu artinya Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti, tetapi saya juga tahu apa kewajiban seorang prajurit sejati. Akulah yang menghendaki perang Bharatayudha segera terjadi, agar angkara murka di muka bumi ini segera lebur. Dengan inilah berarti aku telah menjalankan dharma dan karmaku.”
Karna telah merelakan dirinya sebagai tumbal bagi kemenangan saudara-saudaranya, Pandawa. Maka kejayaan Karna sebagai adipati hanyalah setitik embun di padang gersang. Kejayaan dan kelimpahan harta adipati itu tak kuasa menghapuskan penderitaan Karna, bahkan justru mempertajam kontradiksi antara penderitaan sebelumnya dan ketragisan sesudahnya.
Ketika Karna harus berhadapan dengan Arjuna dalam perang tanding, Bathara Indra menjadi gelisah. Bathara Indra tahu bahwa Karna memiliki perisai di dada yang sangat sakti, hadiah Dewa Surya. Tiada senjata lain yang dapat mengalahkan perisai Karna itu. Maka Bathara Indra datang dengan menyamar sebagai pendeta tua untuk meminta perisai Karna. Tetapi sebelum satu patah kata pun terucap dari bibir Bathara Indra, Karna telah memberikan perisai pusaka itu. Kepada Bathara Indra Karna berkata, “Biarlah saya yang mati, sebab jika Dinda Arjuna yang mati akan sangat sedihlah hati Bunda Kunti. Dinda Arjuna begitu dekat di hati Bunda sedangkan aku, memang sejak kecil tidak bersatu dengan Bunda.”
Mendengar kata-kata Karna itu sangat kagumlah Bathara Indra, maka ia segera berubah ke wujud semula, dan serta-merta memeluk Karna. Di sinilah kebesaran Karna semakin tampak, ia tidak dapat dikalahkan dalam keadaan apapun.
Nyatalah bahwa makna hidup bukan terletak pada status, gengsi dan struktur, tetapi pada bagaimana hidup itu dijalani. Bagaimana pengorbanan, kegagalan yang terpaksa harus dijatuhkan, dan tumbal yang harus diadakan itu dihayati sebagai keberadaan hidup dan kehidupan itu sendiri.

*******

Meskipun sulit menemukan arti dan tujuannya, manusia tak dapat ingkar bahwa penderitaan adalah nasibnya yang hakiki. Manusia merasa tak pernah dapat mengelakkan penderitaan, bahkan seandainya telah mengecap kebahagiaan dalam kelimpahan. Apalagi bagi mereka yang miskin dan berkekurangan.
Seorang Filosof Agung dari India, Sidharta Budha Gautama, pernah menuliskan hal ini dalam sebuah syair yang indah sebagai berikut:
Kebenaran pertama ialah tentang kesedihan
hidup yang kau sanjung adalah derita berkepanjangan
hanya sakitnya yang tetap tinggal
sedang kesenangannya
laksana burung-burung yang lincah
terbang pergi ... (Dhammapada, syair 277- 279).
Penderitaan dialami manusia sejak ia dilahirkan ke dalam dunia. Bahkan Martin Heidegger mengatakan bahwa keberadaan manusia itu fana dan mengalami kematian sejak ia mulai berada. Keberadaan manusia itu suatu keberadaan untuk mati. Albert Camus juga melihat ketragisan ini. Manusia dilemparkan ke suatu dunia yang asing, katanya. Inilah absurdnya kehidupan manusia. Tetapi Camus juga menunjukkan posisi dalam menghadapi kehidupan yang absurd ini: hadapi tanpa pernah menyerah. Di sinilah justru kebesaran dan kemenangan manusia.
Karna bukanlah Albert Camus. Dalam menghadapi nasib penderitaan manusia, Camus berusaha memberontak. Hal ini sesuai dengan kebudayaan Barat yang selalu ingin menguasai dunia. Lain halnya dengan Karna yang lahir dari kebudayaan Timur. Karna tampil sebagai manusia Timur dengan latar kebudayaan ke-Timur-an. Dengan kesadaran akan nasib dirinya, Karna menerima penderitaan itu seorang diri tanpa memberontak. Di sinilah kearifan Karna, ia begitu éklas dan rila menerima penderitaannya.
Éklas berarti “bersedia”. Sikap ini mengandung kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri dalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana telah ditentukan. Arah yang sama ditunjuk oler sikap rila, yaitu kesanggupan untuk melepaskan, sebagai kesediaan untuk melepaskan hak milik, kemampuan-kemampuan dan hasil-hasil pekerjaan sendiri apabila itulah yang menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasib (Franz Magnis Susena, 1984:134).
Di Timur, manusia tidak pernah dianggap untuk dirinya sendiri, melawan orang lain dan alam yang harus dia kuasai dan miliki. Manusia selalu dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan alam semesta, di sana ia mempunyai tempat dan peranan. Keseluruhan adalah yang pertama, bukan bagian, betapa pun dia penting. Manusia hanya merupakan satu nada dalam musik simphoni universal, ia bukan pimpinan orkes itu (To Thi Anh, 1984:31).
Ketabahan Karna dalam menerima nasibnya adalah juga karena kesadaran dan pengertiannya. Karna sadar bahwa dirinya harus menjadi tumbal dalam Bharatayudha. Memahami logos suatu perbuatan berarti mengerti, mengapa perbuatan itu harus dilakukan demikian. Mengerti hal ikhwal sekitar kita berarti mengerti apa yang terjadi, bahkan juga bila timbul masalah-masalah yang sukar mengenai dosa dan penderitaan (Peursen, 1976:56). Mengerti, memahami sebab-sebabnya itulah lalu terasa sebagai pembebasan dan suatu penebusan.

*******

Penderitaan juga sering dimengerti sebagai ketidakmampuan manusia untuk sungguh-sungguh beremansipasi menjadi manusia sepenuhnya. Secara lebih ilmiah, pengalaman dasar ini dapat diterangkan sebagai adanya ketegangan yang selalu tak terdamaikan antara alam dan sejarah. Manusia tetap berada dalam kekurangannya yang hakiki, yang alami, meskipun ia sudah sangat beranjak dalam kemajuan menyejarah.
Teknologi modern pun belum berhasil mengangkat nasib manusia yang hakiki itu. Di sana-sini ia justru makin menciptakan penindasan. bahkan menurut Erich Fromm (dalam Toward Liberal Education), teknologi modern dan berbagai kemajuan yang dicapai manusia itu justru mengakibatkan penderitaan manusia. Menurut Fromm, selaras dengan kemajuan teknologi modern dan beribu kemajuan lain yang dicapai homo sapiens, manusia semakin kehilangan sense of self dalam dirinya, manusia merasa hidupnya semakin tak punya makna. Abab XX adalah abad kematian manusia karena dalam abad XX inhumanitas semakin nyata. Berarti manusia berubah menjadi robot. Robot tak pernah berpikir, hidup dan tinggal sehat. Manusia lalu menjadi golems yang menghancurkan dunia dan dirinya sendiri, sebab tak tahan dihanyutkan kejenuhan dan kebosanan hidup tanpa makna.
Secara implisit Fromm mengatakan bahwa sebenarnya ada pembangunan yang sesungguhnya bukan pembangunan tetapi pengrusakan. Tentang hal ini sebenarnya Allah sendiri telah memperingatkan, “Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. Mereka menjawab, Sesungguhnya kami sedang membangun. Ingatlah, sebenarnya mereka itu sedang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (Al Baqarah:11, 12).
Karena pengalaman penderitaan itu muncullah kritik pesimistis terhadap optimisme modern. Mitos Promotheus yang ambisius dan sombong berpaling kepada mitos Sisyphus yang fatal dan gagal. Tiba-tiba orang tersentak oleh pesimisme Absurditas Albert Camus dan sinis terhadap optimisme teori evolusi Teilhard de Chardin.

*******

Pemahaman diri akan ketakberdayaan dalam menghadapi nasib pada diri Karna membuat ia berdiri pada posisi mereka yang lemah dan tak berdaya. Maka Karna dapat dijadikan inspirasi dan dorongan bagi mereka yang menderita, lemah, miskin, dan tertindas. Dan justru karena itu Karna juga selalu mengingatkan agar manusia tidak sombong dengan kekuasaan dan kekayaannya. Kesombongan itu perlu meluntur menjadi kerendahan hati yang nyata, berbagi rasa dan menolong mereka yang tertindas dan menderita.
Peradaban Jawa yang memiliki konsep dasar tertib sosial, tertib kosmik dan tertib religi membentuk Karna rila berkorban. Agaknya Karna sejajar dengan apa yang disebut Lucien Goldmann (1977:81-82) sebagai “manusia Tuhan”. Goldmann mengatakan bahwa manusia tragik tetap sendirian, ditakdirkan untuk tidak dimengerti oleh manusia yang selalu tidur dan dihadapkan kepada kemarahan Tuhan yang tersembunyi dan tidak hadir. Akan tetapi dalam kesendirian dan penderitaannya itu ia mendapatkan satu-satunya nilai yang dapat membuatnya menjadi besar. Nilai itu adalah kodrat yang mutlak dan kukuh dari kesadarannya dan tuntutan etiknya (tuntutan akan keadilan dan kebenaran yang mutlak serta menolak terhadap ilusi-ilusi dan kompromi). Pengertian terakhir ini menunjukkan adanya perbedaan antara penderitaan yang dialami oleh manusia yang tidak sanggup melampaui level binatang yang kasar dengan penderitaan yang sekaligus diinginkan dan diterima oleh “manusia Tuhan”. “Manusia Tuhan” menyelamatkan nilai-nilai dan harkat kemanusiaan.

*******

Demikianlah tinjauan ringkas akan tragedi kehidupan Karna. Tinjauan ini berdasarkan atas asumsi bahwa karya sastra ditulis bukan hanya bertujuan untuk hiburan belaka, melainkan juga sebagai pengajaran dan pendidikan yang erat berpaut dengan religi. Nyatalah bahwa sastra Jawa dapat memberi informasi tentang peradaban Jawa dalam berbagai aspeknya. Kesastraan Jawa meliputi bidang yang hampir seluas peradaban Jawa itu sendiri.
Albert Camus dan para Eksistensialis Barat mengangkat nilai-nilai personal sedemikian tingginya, sehingga hidup dan kehidupan ini dipandang hanya dari kaca mata individualitas semata. Mereka menyimpulkan bahwa penderitaan itu tanpa makna, sia-sia. Tetapi dari Karna kita tahu bahwa penderitaan dan kematian itu pun membawa makna bagi orang lain. Penderitaan dan kematian dapat menjadi tumbal bagi kebahagiaan orang lain, atau bahkan sebagai penebusan. Inilah yang tak pernah ditangkap oleh para eksistensialis Barat.


obsesi atas perhentian keenam sampai keempat belas
Sendangsono, 22 Oktober 1986