RANGGAWARSITA PUN OPTIMISTIS HADAPI JAMAN EDAN
Oleh: Aloysius Indratmo
KR, 8 Februari 1985
Raden Ngabehi Ranggawarsita sebagai seorang pujangga terakhir kraton Surakarta telah banyak dikenal oleh masyarakat Jawa. R.Ng.Ranggawarsita yang juga dikenal sebagai “pujangga rakyat” dalam hidupnya yang kira-kira selama 71 tahun 9 bulan itu telah melahirkan kurang lebih enam puluh judul buku. Namun gelar pujangga besar itu bukan hanya ditilik dari banyaknya karya yang telah ditulis, melainkan lebih-lebih ditinjau dari bobot isi dari karya-karyanya.
Dari seluruh karya R.Ng.Ranggawarsita, sebagian besar memang bercorak sastra yang jumlahnya kurang lebih dua puluh buah, di antaranya: Ajidarma, Ajipamasa, Ajinirmala, Bratayuda, Budayana, Cemporet, Darmasarana, Jitabsara, Matnyanaparta, Panji Kudanarawangsa, Panji Jayengtilam, Paramayoga, Purusangkara, Puwagnyana, Pustakaraja, Sariwahana, Witaradya, dan Yudayana. Sedangkan karya-karya yang lain mempunyai corak: pendidikan, ilmu pengetahuan, filsafat, babad, jangka, pakem pedalangan, dan silsilah. Memang belum semua karya R.Ng.Ranggawarsita ini diterbitkan. Masih banyak naskah-naskahnya yang berupa tulisan tangan. Karya-karya R.Ng.Ranggawarsita yang bercorak pendidikan antara lain: Sabdajati, Sabdapranawa, Sabdatama, Kalatidha.
Jaman Gila
Dalam Kalatidha inilah R.Ng.Ranggawarsita memberikan gambaran tentang kacaunya keadaan masyarakat waktu itu. Karena kacaunya keadaan itu maka ia menyebut jaman itu sebagai jaman gila. Dalam bait ketujuh dari Kalatidha kita dapat menangkap situasi itu yang dituliskan sebagai:
Amenangi jaman edan
Ewuh-aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah kersa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada.
Kalatidha sendiri terdiri atas dua belas bait dengan satu bait pembuka. Semua dalam tembang Sinom. Dalam bait-bait sebelumnya Sang Pujangga mencoba mencari sebab-sebab terjadinya kekacauan itu, tetapi ia justru menemui kontradiksi-kontradiksi. Pada bait pertama disebutkan bahwa jalan perundang-undangan yang rusak itu karena tiadanya teladan: rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi. Tetapi pada bait kedua disebut bahwa semua punggawa kraton sampai rajanya pun merupakan priyayi yang baik bahkan utama. Rupanya keutamaan raja tidak mampu memberi teladan kepada punggawa dan rakyatnya.
Memang kehendak orang itu berbeda-beda dan inilah yang merupakan halangan yang membanjiri suasana waktu itu. Orang-orang pun lalu berlomba-lomba berbuat culas, berbuat tidak jujur, karena orang-orang yang jujur akan terbelakang. Oleh karena tidak dapat menemukan sebab-sebab yang pasti, akhirnya R.Ng.Ranggawarsita menyimpulkan bahwa suasana itu memang sudah merupakan takdir Tuhan. Anggap saja sebuah keajaiban, seperti dituliskan sebagai:
Temahan anarima
Mupus papesthening takdir
Puluh-puluh anglakoni kaelokan.
Pada hakikatnya R.Ng.Ranggawarsita tidak menemukan sebab-sebab pasti dari kekacauan keadaan itu. Keadaan itu memang sulit diterima akal, absurd, sehingga ia menyebutnya sebagai kaelokan. Menyadari absurditas dunia ini, R.Ng.Ranggawarsita menyerahkannya kepada kebijaksanaan Tuhan.
Pujangga yang pernah dididik Kiai Kasan Besari di pesantren Gebang Tinatar, Ponorogo ini menyadari kebesaran Tuhan yang kadang kehendakNya sulit diterima manusia. Namun ia percaya dan optimistis bahwa Tuhan masih akan melindungi orang-orang yang eling dan waspada. Ranggawarsita tidak mencoba menentang absurditas itu, tetapi dengan bersandar pada kuasaTuhan ia berusaha mawas diri kanthi awas lawan eling.
Kepercayaannya inilah yang telah membedakannya dari penulis-penulis Barat yang atheis, Albert Camus misalnya. Pandangan Camus tentang absurditas tampak dalam novelnya yang berjudul La Peste. Absurditas digambarkannya sebagai wabah sampar yang tiba-tiba melanda manusia tanpa dapat diketahui sebab-musababnya. Wabah sampar itu menjadikan kehidupan manusia menjadi brengsek, pahit, dan penuh kemalangan. Dan ini dianggapnya sebagai masalah duniawi semata. Sehingga manusia harus menentangnya, memberontak dengan tanpa berlagak sebagai pahlawan, seraya meninggalkan dimensi transenden.
Camus sependapat dengan Nietzshe, yang mengatakan bahwa mencari jalan pada yang transenden atas persoalan-persoalan duniawi adalah tindakan pemalas yang ingin mencari gampang-gampangan saja. Kepercayaan akan Allah adalah pelarian yang paling mudah untuk memecahkan persoalan-persoalan, tetapi kurang mengena (Sindhunata dan A. Sudiarja, 1982:19).
Akhirnya Camus menyimpulkan bahwa dunia ini absurd karena tidak dapat menerangkan kontradiksi-kontradiksi yang ada padanya. Kesulitan untuk menangkap dan mengerti kontradiksi-kontradiksi dalam hidup manusia ini agaknya telah lama dialami manusia, sehingga Sophochles, penulis Yunani yang hidup sebelum tarikh Masehi itupun lewat tokoh Theiresias berseru: “Wahai Dewa, adalah derita untuk mengerti. Dan bila mengerti, derita akibatnya.”
Pendidikan
Untuk mengatasi absurditas dunia, Camus menganjurkan agar manusia berani memberontaknya. Anjuran ini berbeda dengan yang diberikan oleh R.Ng.Ranggawarsita. Dalam bait keenam R.Ng.Ranggawarsita mengajarkan agar manusia percaya akan takdir Tuhan. Bait kesembilan mengajarkan agar manusia harus ikhtiar, yang disambung bait kesepuluh yang mengajarkan agar manusia selalu awas dan eling. Sedang bait kedelapan dan kesebelas R.Ng.Ranggawarsita mengajarkan agar manusia selalu mawas diri.
Mawas diri memang merupakan senjata ampuh dalam membentuk kepribadian manusia yang utama. Manusia yang utama adalah manusia yang memiliki tiga sifat utama, yakni pertama, selalu menjaga keselarasan dengan dunia yang diwujudkan dalam susila/etikanya; kedua, selalu menjaga keselarasan dengan Tuhan yang diwujudkan dalam ketakwaannya. Dan ketiga, selalu dekat dengan kesadaran dirinya yang diwujudkan dalam sikap batinnya yang selalu eling dan waspada, sadar dan waspada akan segala tindakannya.
Bagaimana dengan keadaan dunia saat ini? Dennis Gabor menilai abad ini sebagai suatu tragi-komedi. Yakni suatu abad yang menyeret manusia kepada suatu sukses tetapi sia-sia. Lucu tapi mengharukan. Dunia saat ini sedang dilanda wabah “ramai ini, ramai itu”. Semua orang ikut-ikutan. Yang tidak dapat ikut resah dan gelisah. Gejala resah dan gelisah karena ketidaksampaian maksud hati mengikuti gejolak musim ini disebut dengan nama beken “frustrasi”. Dan bila sudah memuncak dan menimbulkan keinginan yang aneh-aneh dalam bertindak, penyakitnya disebut “neurosis”.
Nah, jika manusia sudah dapat memiliki sifat-sifat utama itu, saya rasa akan terbebas dari penyakit neurosis itu. Dengan kata lain, ajaran R.Ng.Ranggawarsita dalam Kalatidha ini masih relevan untuk jaman ini. Manusia hendaknya selalu eling atau sadar terhadap Tuhan maka manusia akan dapat bersifat hati-hati sehingga dapat memisahkan yang benar dan yang salah, yang nyata dan yang bukan nyata, yang berubah dan yang abadi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Perfect!!
BalasHapusJaman Edan memang selalu ada sepanjang masa. Jaman Edan disebabkan oleh perilaku manusia yang hanya mengutamakan nafsunya sendiri tanpa memikirkan kepentingan orang lain. Jadi ajaran Ranggawarsita ini tetap relevan sepanjang masa. Bagus !!!!
BalasHapus