TARIAN RITUAL BEDHAYA KETAWANG
DAN LATAR BELAKANG IDEOLOGINYA
Oleh: Aloysius Indratmo
1. Pendahuluan
Masyarakat Jawa mengenal beberapa seni pertunjukan ritual, yakni meliputi seni pertunjukan tari, musik, teater, dan resitasi. Adapun ciri-ciri pertunjukan ritual adalah: diselenggarakan pada waktu yang terpilih, dilakukan pada tempat yang terpilih, dilakukan oleh penyaji yang terpilih, dan diperlukan pula berbagai sesaji (Soedarsono, 1991: 41).
Tari Jawa yang dikenal sampai sekarang pada garis besarnya terdiri atas tradisi/gaya Surakarta dan Yogyakarta. Gaya adalah sifat pembawaan tari, yang meliputi cara-cara bergerak tertentu yang merupakan ciri pengenal dari gaya yang bersangkutan (Edi Sedyawati, 1981: 4). Sebenarnya, kalau dilihat dari elemen-elemen geraknya, dapat dikatakan bahwa tak ada perbedaan antara gaya Surakarta dan Yogyakarta. Hanya dalam pelaksanaan teknis serta penyajiannya yang agak berbeda. Gaya Yogyakarta lebih bersifat klasik sedangkan gaya Surakarta sudah mengarah ke gaya romantik (Soedarsono, 1972: 59). Oleh karena itulah dapat dikatakan, bahwa tari gaya Surakarta dan Yogyakarta memiliki ciri umum yang sama. Ciri-ciri tersebut antara lain adalah sikap dada yang tegap, langkah-langkah yang tenang terukur, gerak-gerak lengan dengan variasi arah yang luas tetapi dengan posisi stabil pada siku, gerak serba halus tertahan, gerak-gerak leher yang terolah dalam berbagai variasi, penggunaan selendang untuk memperluas kemungkinan bentuk, serta mimik yang tenang tak “dimainkan”.
Seni pertunjukan ritual yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat tersebut. Demikian juga seni tradisonal Jawa, juga merupakan bagian dari kebudayaan Jawa. Tarian ritual Jawa lahir dari rahim kebudayaan Jawa dan sekaligus mendukung dan menjadi bagian kebudayaan Jawa. Pusat kebudayaan Jawa adalah kraton dengan raja sebagai penguasa tunggal, maka dalam pandangan Jawa rajalah sebagai pengampu kebudayaan Jawa.
Pandangan masyarakat Jawa mengenai kedudukan raja itu tampak di dalam tradisi sastra yang menyertai asal-usul penciptaan tari. Tari-tarian Jawa yang dikenal sampai sekarang menurut tradisi sastranya merupakan ciptaan raja-raja Mataram, seperti Panembahan Senopati, Sultan Agung, Hamengku Buwana I, dan lain-lain.
Sebagai suatu karya cipta, seni tari tak dapat dipisahkan dari pandangan dunia (world view) penciptanya. Suatu seni tari dicipta oleh penciptanya melalui renungan yang panjang. Renungan pencipta ini dipengaruhi, bahkan diarahkan oleh pandangan dunianya. Sedangkan padangan dunia pencipta ini dibentuk oleh kebudayaan masyarakatnya. Oleh karena itu tarian Jawa berbeda dengan tarian Minangkabau atau Irian Jaya oleh karena pandangan dunia Jawa berbeda dengan pandangan dunia masyarakat Minangkabau maupun Irian Jaya. Dengan demikian untuk memahami suatu tarian daerah haruslah dikaitkan dengan pandangan dunia masyarakat pendukungnya.
Jika suatu tarian dipandang sebagai suatu tanda atau rangkaian tanda-tanda maka dia dicipta berdasarkan titik tolak pemikiran ideologis tertentu. Oleh karena itulah di dalam sebuah tanda (atau teks) terdapat suatu ideologi (Zoest, 1992: 104-105). Sejalan dengan itu maka di dalam menginterpretasikan sebuah karya seni haruslah sampai pada permasalahan ideologi.
Kebudayaan Jawa dalam sejarahnya sangat banyak mendapat pengaruh asing. Pengaruh asing tersebut antara lain berasal dari India, Arab, dan Barat. Secara berturut-turut pengaruh India membentuk ideologi Hindu-Budha, pengaruh Arab membentuk ideologi Islam, sedangkan pengaruh Barat membentuk ideologi modern. Meskipan masyarakat Jawa telah berhasil meramu pengaruh asing itu manjadi satu kesatuan utuh, akan tetapi unsur-unsur budaya asing itu masih dapat dikenali jejaknya.
2. Bedhaya Ketawang dan Sakti Raja
Bedhaya Ketawang merupakan tarian sakral yang tertua (Nusjirwan, 1967: 31) merupakan pusaka kraton Kasunanan yang konon dicipta oleh Sultan Agung (Soedarsono, 1991: 37-38). Pertunjukan Bedhaya Ketawang diselenggarakan pada upacara Abhiseka Krama atau Jumenengan Dalem (Penobatan raja) atau pada saat Tingalan Jumenengan Dalem (ulang tahun penobatan raja). Pada saat ini kraton Surakarta menyelenggarakan pertunjukan Bedhaya Ketawang setahun sekali, yakni pada hari kedua bulan Ruwah. Tanggal ini merupakan tanggal ketika Susuhunan Paku Buwana XII naik tahta.
Upacara Tingalan Jumenengan Dalem ini sifatnya agak tertutup dan pribadi. Tempat pelaksanaannya di pendapa Sasanasewaka dan para putri duduk di dalem Prabasuyasa. Berhubung sifatnya yang pribadi itu, maka sesudah upacara resmi berakhir residen dan para tamu undangan lainnya segera meninggalkan tempat pasamuan, sehingga tarian Bedhaya Ketawang itu hanya disaksikan oleh Sunan bersama keluarga, kerabat, dan para abda dalem saja. Keadaaan ini berubah ketika pada tahun 1920 Sunan mengizinkan permohonan Residen Harloff untuk ikut menyaksikan tarian sakral ritual itu (Darsiti, 1980: 152).
Bedhaya Ketawang, sebuah pusaka kraton yang ditarikan oleh sembilan orang gadis di dalam kraton Surakarta, seperti halnya Bedhaya Semang untuk kraton Yogyakarta, berkedudukan lebih tinggi daripada berbagai macam tarian bedhaya lainnya. Kesembilan penari itu mengenakan kostum yang sama, yakni busana basahan pengantin puteri yang akan dipertemukan (Hadiwidjojo, 1978: 45) dan menarikan tipe tari puteri yang sama. Ketika menari kesembilan puteri itu haruslah dalam keadaan bersih, dalam arti tidak sedang menstruasi.
Bedhaya Ketawang ini melambangkan pertemuan mistis antara Senopati, raja pertama Mataram dengan Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan. Babad Tanah Djawi menyebutkan, bahwa ketika Senopati bertapa di pantai Laut Selatan untuk menambah kekuatan batinnya agar kelak dapat naik tahta Mataram, air laut mendidih. Kanjeng Ratu Kidul sangat cemas dan segera menemui Senopati. Seraya menyembah Ratu Kidul memohon agar meditasi Senopati dihentikan. Kanjeng Ratu Kidul menjajikan bahwa permohonan Senopati agar kelak menjadi raja Mataram akan terkabul, bahkan keturunannya juga akan menjadi penguasa tanah Jawa tanpa tanding. Kanjeng Ratu Kidul menjanjikan bala bantuan para jin dan makhluk tak kasat mata untuk menjaga keselamatan Senopati dan keturunannya (BTJ, 1941: 77-79). Dalam pertemuan itu keduanya saling jatuh cinta dan terjadilah perkawinan sakral.
Perkawinan sakral antara Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul kemudian diwariskan kepada anak cucu Senopati, sehingga semua raja-raja Mataram keturunan Senopati akan menjadi suami Kajeng Ratu Kidul.
Ideologi yang menjadi latar belakang penciptaan Tarian Pusaka Bedhaya Ketawang dapat ditelusuri pada unsur yang berkaitan dengan nilai sembilan, yakni jumlah penari Bedhaya Ketawang tersebut.
Dalam alam pikiran Jawa nilai atau bilangan sembilan memang mempunyai arti yang penting. Kanjeng Brongtodiningrat (dalam Soedarsono, 1984: 80) menyatakan, bahwa jumlah sembilan dalam tari Bedhaya Ketawang adalah merupakan lambang babahan hawa sanga, yakni sembilan lubang dalam badan jasmani manusia, sebagaimana kraton juga memiliki sembilan pintu utama. Sedangkan bentuk rakit lajur-nya dipandang sangat erat hubungannya dengan gambaran bentuk jasmani manusia. Dalam hal ini bagian kepala dilambangkan dengan Endel dan Batak, leher dilambangkan dengan Jangga. Bagian badan dilambangkan oleh peran Dhadha, dan Buntil melambangkan organ sex. Apit Ngajeng dan Apit Wingking melambangkan tangan kanan dan kiri. Sementara Endhel Wedalan Ngajeng dan Endhel Wedalan Wingking merupakan simbol kaki kanan dan kiri.
Kanjeng Brongtodiningrat telah memberikan tafsiran atas nilai sembilan dalam tari Bedhaya Ketawang. Akan tetapi benarkah tari Bedhaya Ketawang dengan sembilan peran fungsionalnya itu hanya sekedar melambangkan tubuh jasmani manusia dan sembilan lubangnya? Lalu apa hubungannya dengan upacara penobatan raja? Serta mengapa dianggap sebagai pusaka?
Jawaban akan pertanyaan-pertanyaan itu agaknya harus ditelusuri lebih jauh di dalam kebudayaan Jawa yang lebih tua, pada kebudayaan Jawa semasa pengaruh Hindu masih kentara.
Di dalam pandangan agama Hindu seluruh alam semesta ini terbagi menjadi sembilan arah mata angin yang disebut nawa yonyatmaka. Hal ini disimbolkan dalam bentuk Cakra, yakni simbol yang berbentuk lingkaran terbagi delapan dengan pusat lingkaran merupakan titik (arah) yang kesembilan, yakni yang merupakan inti pusat cakra. Dalam hal ini eksistensi nawa yonyatmaka sebenarnya terdiri atas sembilan jenis adhara atau sembilan jenis sikap yang disebut nawadhara. Dari nawadhara inilah kemudian lahir sembilan jenis sakti yang dikenal dengan istilah nawa natha atau sembilan penari (Pudja, 1976: 52).
Dalam tradisi kepercayaan Hindu kehadiran sembilan jenis sakti dalam bentuk penari tersebut tak dapat dipisahkan dari keberadaan Siwa, karena dalam kepercayaan Hindu, Siwa adalah Nataraja atau raja dari para penari. Siwa adalah yogi yang paling menonjol di antara para dewa, yang sekaligus juga merupakan the master of dance. Dengan tariannyalah Siwa telah menciptakan alam semesta (Soedarsono, 1972: 30).
Sehubungan dengan itu dapatlah dikatakan, bahwa nawadhara adalah merupakan sembilan jenis sikap gerak baku (mudra) yang dilakukan Siwa pada saat menari. Kesembilan adhara tersebut adalah akula, muladhara, swadhistana, manipura, anahata, wisudha, lambhika, ajna, serta bindu (Pudja, 1976: 53). Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa lahirnya sembilan jenis sakti yang berupa sembilan penari (nawa natha) tersebut merupakan akibat dari aktivitas gerak (tari) Siwa pada saat utpatti atau mencipta atau penciptaan alam semesta.
Menurut kepercayaan Hindu-Bali, pembagian alam semesta menjadi nawa jonyatmaka tersebut dianggap sangat erat hubungannya dengan para dewa dalam alam semesta beserta kesepuluh simbol aksaranya (dasa aksara) yakni: Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, dan Ya. Di dalam cakra aksara kelima (I) berada di dalam satu tempat kedudukan dengan aksara kesepuluh (Ya), yakni pada pusat cakra, titik yang kesembilan (Goris, 1986: 18).
Sementara di dalam Nyasa Nawa Sakti, salah satu mantra Hindu, semakin ditegaskan bahwa kedudukan sembilan dewa dalam sembilan arah mata angin adalah merupakan lambang dari kemahakuasaan Tuhan sendiri. Para dewa tersebut senantiasa berada dalam satu kesatuan dengan para saktinya. Siwa (Iswara) senantiasa berada dalam satu kesatuan dengan Umapatti, Brahma dengan Saraswati, dan Wisnu dengan Sri (Pudja, 1976: 193).
Di dalam candi-candi Hindu-Jawa persatuan dewa dengan sakti itu dilambangkan dengan persatuan Lingga dan Yoni.
Hal itu menunjukkan bahwa dalam paham Hindu-Jawa Siwa dianggap senantiasa berada dalam satu kesatuan dengan saktinya, yakni Umapatti atau Durga. Hanya dalam persatuan itulah alam semesta akan berada dalam suatu keseimbangan yang harmonis, subur, dan kuat sentausa.
Jika ditelusur secara seksama, maka secara historis perkembangan alam pikiran Jawa sangatlah banyak dipengaruhi oleh pola-pola pikiran Hindu. Sedangkan kepercayaan Hindu yang banyak mempengaruhi alam pikiran Jawa itu lebih banyak bersifat Siwaistis. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya peninggalan candi-candi Hindu di Jawa, seperti Candi Dieng dan Prambanan. Selain itu, munculnya konsep raja-dewa (raja sebagai pengejawantahan dewa di dunia) yang semakin berkembang pada saat pemerintahan kerajaan Hindu di Jawa Timur semakin menegaskan besarnya pengaruh Siwaisme di Jawa. Menurut kebiasaannya, raja yang telah wafat dan dicandikan akan senantiasa diperdewa, sementara arcanya diletakkan di candi makam.
Suatu contoh, seperti disebutkan dalam Negarakretagama pupuh 43 bait 6, di candi makam Sagala terdapat arca Ardhanareswara, sebuah arca dwitunggal sebagai lambang kesatuan raja Kertanegara dengan Bajradewi. Di sini Ardhanareswara diwujudkan dalam bentuk (simbol) kesatuan Siwa dengan saktinya Dewi Parwati (Slamet Mulyono, 1979: 226).
Timbulnya pemujaan terhadap kesatuan antara Siwa dan saktinya, antara lingga dan yoni, menunjukkan bahwa hakikat kesatuan antara pria dan wanita adalah sebagai perbuatan yang suci mulia yang bermutu sangat tinggi dalam keagamaan. Demikian pula tentunya antara raja dengan permaisurinya atau saktinya. Dalam konsep kerajaan, permaisuri adalah sakti raja. Oleh karena itu jika dalam penyajiannya tari Bedhaya Ketawang, hakikat kehadiran Sunan adalah sebagai saksi tunggal dari dan untuk sajian tari tersebut, maka tentunya tari Bedaya Ketawang mempunyai hubungan yang sangat khusus dengan Sunan. Tari Bedhaya Ketawang itu tentu berfungsi sangat penting bagi Sunan dan keluarga istana. Hal ini akan semakin jelas dalam penghayatan terhadap tradisi penyajian tari Bedhaya Ketawang. Bedhaya pusaka ini senantiasa disajikan sebagai bagian yang amat penting dalam upacara penobatan seseorang menjadi raja di kraton Surakarta.
Bagi seorang raja, saat penobatan adalah peristiwa yang paling penting dari seluruh masa kelahirannya sebagai raja. Sehinga dalam ritus kenegaraan ini, Bedhaya Ketawang tak dapat dilepaskan dari fungsinya sebagai regalia. Sebagai pusaka kerajaan yang tuahnya akan senantiasa memberikan keteguhan terhadap kekuatan dan kekuasaan Sunan, serta kesejahteraan bagi negaranya. Fungsi Bedhaya Ketawang dengan demikian sama seperti fungsi sakti bagi Siwa. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa Bedhaya Ketawang merupakan sakti bagi Sunan.
Jika Bedhaya Ketawang menceritakan pertemuan mistis dan perkawinan sakral antara raja keturunan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul, maka itu berarti suatu persatuan antara Siwa dengan sakti, persatuan antara lingga dengan yoni. Hanya dalam persatuan ini alam semesta akan berada dalam suatu keseimbangan yang harmonis, subur, sejahtera, dan kuat sentausa. Sejalan dengan itu, maka Ratu Kidul pada hakikatnya adalah sakti bagi raja-raja Mataram hingga raja-raja Surakarta dan Yogyakarta.
3. Pemujaan Siwa dalam Tradisi Surakarta
Seperti telah disebutkan di depan, hubungan Siwa dengan Umapatti adalah hubungan antara dewa dengan sakti, sebagaimana hubungan antara lingga dan yoni yang harus tetap bersatu untuk mendapatkan keseimbangan yang harmonis dan sejahtera.
Kraton Surakarta juga memiliki tradisi pemujaan terhadap Bethari Durga yang dianggap sebagai penguasa mata angin arah utara, yang berkedudukan di hutan Krendhawahana. Labuhan kepada Bethari Durga dilakukan setiap tahun, yang disebut sebagai selamatan Mahesalawung. Sesaji ini dilangsungkan pada hari Senin atau Kamis terakhir bulan Rabingulakir dan ditujukan untuk keselamatan dan kemakmuran kerajaan Surakarta dan seluruh isinya (Darsiti, 1989: 155-156).
Dalam hubungannya dengan sesaji Mahesalawung ini, Sitihinggil kraton dianggap sebagai kedudukan Siwa (Kusumotanoyo, 1992: 35) dan sesajian yang akan dipersembahkan kepada Bethari Durga itu sebelumnya harus disemayamkan semalam suntuk di Sitihinggil. Doa yang disampaikan dalam upacara itu merupakan doa Budha-Jawa, yakni Rajah Kalacakra (Kusumotanoyo, 1992: 49). Ajaran Kalacakra adalah salah satu dari bentuk-bentuk Budhisme yang amat dipengaruhi oleh Bhagawatisme (Moens, 1986: 8).
Gambaran Siwaisme yang lebih tua muncul dalam para penari Canthangbalung. Canthangbalung hanya muncul pada saat upacara Garebeg Maulud tahun Dal. Pada masa pemerintahan Paku Buwana X Canthangbalung termasuk abdi dalem golongan Kridhastama dengan tugas membuat orang lain menjadi gembira. Disebut Canthangbalung karena mereka membawa kepyak dari tulang yang diselipkan pada jari-jari tangan dan selalu dibunyikan: “crek-crek-crek”. Dua pasang Canthangbalung berpangkat lurah dan jajar kiwa-tengen mengenakan kostum yang mencolok. Tugas Canthangbalung adalah mengiringkan gunungan yang dibawa ke masjid pada setiap upacara Garebeg Mulud dan sesudah sampai di gapura masjid mereka kembali ke Sitihinggil. Jika Sunan kembali ke kedhaton, gendhing yang mengiringi adalah gendhing Kancil Belik atau Udanarum, atau Undur-undur Kajogan secara bergantian setiap Garebeg. Pada waktu itu Canthangbalung menarikan tarian Gajah Ngombe di depan bangsal Angun-angun. Tangan kirinya selalu membunyikan kepyak, sedang tangan kanannya memegang gelas berisi minuman. Pada setiap saat gong berbunyi, ia meminum gelas itu.
Mengenai Canthangbalung ini Darsiti Suratman (1989: 147) berpendapat sebagai berikut. Pertama, kedudukan Canthangbalung sebagai pimpinan pengiring sajian suci ke tempat ibadat, mewajibkan mereka mengikuti iring-iringan gunungan sampai ke halaman masjid. Dodot yang dikenakan kedua lurah itu bermotif tambal sedangkan dodot kedua jajar berupa sindur, yaitu warna merah dengan putih di tepi. Sejak zaman dahulu orang Jawa menganggap sindur itu suci. Dengan demikian maka baik sajian yang berupa gunungan, pemimpin rombongan pengiring, maupun tempat yang dituju semuanya serba suci. Inilah peranan Canthangbalung sebagai “brahmana”.
Kedua, karena kedudukan Canthangbalung sebagai abdi dalem niyaga, maka semula setiap hari Sabtu sore mereka bertugas mengiringi permainan watangan dengan gamelan. Sesudah permainan itu dihapus pada awal abad XIX, sebagai gantinya mereka berkedudukan sebagai jajar bertugas menari di depan bangsal Angun-angun pada waktu raja berjalan meninggalkan Sitihinggil menuju kedhaton. Canthangbalung memiliki hubungan yang erat dengan para tandak, baik di dalam maupun di luar kedhaton. Para lurahnya sering menjadi perantara masuknya tandhak-tandhak desa ke kraton untuk menjadi abdi dalem.
Ketiga, sebagai abdi dalem kridhastama Canthangbalung bertugas membuat lelucon, agar orang lain menjadi gembira. Sebagai punakawan, Canthangbalung mempunyai kebebasan untuk mengatakan segala sesuatu yang mereka inginkan, dan dilaksanakan lewat kedudukannya sebagai badut. Pada lelucon itu sering dilontarkan kritik sosial. Serta jumlah Canthangbalung itu mengikuti konsepsi klasifikasi yang saling melengkapi.
Moens (1986: 11) memberi gambaran Canthangbalung yang agak lain sebagai berikut. Canthangbalung adalah dua badut berjanggut, yang bagian atas badannya telanjang dan diborehi belang-belang kuning. Tugas mereka adalah untuk minum arak di hadapan umum sampai mabuk, lalu menari dalam keadaan mabuk itu. Belum lama berselang pejabat-pejabat istana semacam itu masih menerima penghasilan resmi dari pemeliharaan penari-penari ronggeng dan pelacur-pelacur. Nama mereka adalah suatu nama ejekan, yang mungkin berdasarkan kenyataan bahwa mereka mula-mula melakukan tarian mereka di Ksetra, sambil menggeletuk-geletuk tulang-tulang orang mati (nyanthang balung).
Gambaran yang diberikan oleh Moens itu agaknya merupakan bentuk Canthangbalung yang lebih tua daripada yang digambarkan oleh Darsiti. Berdasarkan lukisan yang diberikan itu, maka Moens (1986: 11) berpendapat bahwa Canthangbalung berasal dari sekte Bhairawa. Bhairawa adalah suatu sekte Durga dari “tangan kiri” (wama-sakta) atau sering juga secara teknis disebut sebagai tantris kiri (Goris, 1986: 7). Bhairawa sendiri adalah dewa yang khas dari lapangan mayat dan khusus dengan tabiat Aksobhya (Moens, 1986: 13).
Untuk mencapai keselamatan atau ekstase yang tertinggi para penganut sekte Bhairawa ini melakukan panca-tattwa (lima unsur kenikmatan hawa nafsu) yakni: madya (minuman keras), mangsa (daging), matsya (ikan), mudra (sikap tangan), dan maithuna (persetubuhan). Panca-tattwa ini sedikit banyak masih dilakukan atau pun disimbolkan dalam gerakan Canthangbalung.
Jika Canthangbalung mengenakan kuluk putih yang sangat tinggi (Darsiti, 1989: 148), hal itu juga berkaitan dengan pandangan Bhairawa. Di atas telah disebutkan, bahwa Bhairawa adalah dewa yang khas dari lapangan mayat dan khusus dengan tabiat Aksobhya, maka secara khusus hubungan antara Bhairawa dan Aksobhya ini dilukiskan dengan menempatkan patung kecil Aksobhya dalam perhiasan rambut Bhairawa itu. Lukisan ini juga dijumpai dalam Negarakretagama pupuh 52 bait 2, yakni pada saat Prapanca memberitahukan mengenai patung makam Krtanegara di Jejawi sebagai sebuah patung Siwa (Bhairawa) yang tak terkatakan indahnya dengan sebuah patung Aksobhya kecil yang tiada bandingannya dalam makuta (dalam Moens, 1986: 13-14). Patung Aksobhya itu memang tidak dipahatkan pada makuta (kuluk) Canthangbalung, akan tetapi warna putih dan bentuk kuluk yang sangat tinggi dapat mewakilinya. Warna putih memang merupakan warna dewa.
Sebuah gambaran yang benar-benar Siwaistis tampak dalam Serat Wahanabrata yang menceritakan pertemuan dan perkawinan Raden Mas Suryakusuma (Mangkunegara I) dengan gadis desa Nglaroh yang bernama Rubiyah. Rubiyah di dalam serat ini diceritakan, bahwa pada setiap malam Anggara Kasih ketika tidur alat kelaminnya bersinar. Perhatikan kutipan berikut.
Antawis saperapat jam dangunipun anggening tilem malih pun Rubiyah, padonanipun katingal murub kados urubing dilah. Ing ngriku Kiai Kasan Nuriman kalangkung kaget malih temah kauyeg-uyeg tapih leresing padonanipun Rubiyah. Dangu panguyegipun urub lajeng sirna tanpa karana (hal. 21).
‘Kira-kira seperempat jam lamanya Rubiyah tidur, alat kelaminnya kelihatan menyala seperti nyala lampu. Melihat hal itu Kiai Kasan Nuriman sangatlah terkejut maka diusap-usaplah kain tepat pada alat kelamin Rubiyah. Lama setelah diusap-usap nyala itu hilang tanpa bekas.’
Kutipan di atas menunjukkan, bahwa Rubiyah sebagai gadis desa telah mendapat wahyu yang ditandai dengan alat kelaminnya bersinar terang. Di dalam hal ini Mangkunagara I juga mendapat wahyu melalui alat kelamin jenazah Kiai Kasan Nuriman (ayah Rubiyah) yang harus digali dalam kubur setelah seratus hari pemakaman Kiai Kasan Nuriman. Serat Wahanabrata melukiskannya sebagai berikut.
Ing riku sasirnaning kilat kawistara manther kados urubing dilah, ijem wening tan siwah kadi kartika wonten leresing dhudhukan. Tanggap KGPAA Mangkunagara amariksa wujuding urub wau, katingal wujuding planangan. Datan saranta planangan ingkang katingal murub wau badhe kaasta dening KGPAA Mangkunagara, sami sakala musna tanpa karana, mawa gara-gara jumegur ing ngawiyat. Sasirnaning planangan, KGPAA Mangkunagara jajanipun karaos kadhodhog, kantep dhawah sumaput wonten salebeting dhudhukan. Enget rayam-rayam kapiyarsa suwanten memeling makaten: Heh, PAA Mangkunagara, aja tambuh pikirmu. Planangan wus rumasuk marang sira bakal mahanani anake Nuriman kang sira alap dadi kanthinira amukti wibawa ing saturun-turunira (hal. 37).
‘Di tempat itu setelah hilangnya petir terlihatlah cahaya terang seperti nyala lampu, hijau bening bagaikan bintang di tempat galian. KGPAA Mangkunagara mengamati wujud nyala itu, terlihat berbentuk kelamin laki-laki. Tak sabar alat kelamin laki-laki itu akan diambil oleh KGPAA Mangkunegara, tiba-tiba hilang tanpa bekas, disertai suara gelegar di udara. Sesaat setelah hilangnya alat kelamin laki-laki itu dada KGPAA Mangkunagara terasa ditebah, jatuh pingsanlah ia di dalam galian. Setelah sadar samar-samar terdengar suara berkata demikian: “Hai, PAA Mangkunagara, janganlah ragu pikirmu. Alat kelamin laki-laki sudah menyatu dalam dirimu yang akan menyebabkan anak Nuriman yang kau ambil menjadi teman hidupmu berbahagia sampai anak cucumu”.’
Dari kutipan di atas jelaslah bahwa wahyu yang diterima oleh Rubiyah dan Mangkunagara I berbentuk alat kelamin wanita dan laki-laki yang bercahaya, maka tak disangsikan bahwa itu adalah gambaran lingga dan yoni.
Lingga adalah manivestasi Siwa. Agaknya Siwa adalah salah satu Dewa Trimurti yang disegani di Surakarta. Di candi-candi lingga digambarkan sebagai batu lambang kelelakian yang dipahat mirip kemaluan pria selagi tegak. Sebagai pasangannya adalah yoni sebagai simbol kewanitaan. Yoni dibuat dari batu persegi dengan lubang di tengahnya, mirip bentuk kelamin wanita. Lubang di tengah yoni merupakan tempat tertancapnya lingga. Dan persatuan lingga-yoni merupakan kekuatan tertinggi.
Dalam kerangka ini dapat ditafsirkan, bahwa Mangkunagara I di dalam Serat Wahanabrata ini diidentifikasikan sebagai Siwa. Sedangkan Rubiyah, “permaisurinya” yang kemudian bergelar Raden Ayu Patahati, dengan demikian adalah sakti bagi kerajaan. Persatuan antara Mangkunagara dengan Rubiyah adalah persatuan antara Siwa dengan Sakti. Hanya dalam persatuan dengan sakti itulah Mangkunagara I mendapatkan kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu sakti harus selalu bersatu dengan raja, seperti halnya di candi-candi lingga tak pernah terpisah dari yoni.
4. Penutup
Dari pembicaraan ini dapat disimpulkan bahwa Siwaisme mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam konsepsi-konsepsi ritual di Surakarta. Bedhaya Ketawang diciptakan berdasarkan ideologi Siwaisme sehingga “sembilan penari” tentulah berkaitan dengan konsepsi nawa dhara dan nawa natha. Canthangbalung lebih bersifat Tantris. Besarnya pengaruh Siwaisme membentuk konsepsi bahwa Sitihinggil adalah singgasana Siwa, sedangkan Durga berkedudukan di hutan Krendhawahana. Raja dengan demikian diidentifikasikan sebagai Siwa dan permaisuri sebagai saktinya. Konsep Siwa-sakti inilah yang mendudukkan Bedhaya Ketawang sebagai pusaka kraton, yang tuahnya dapat menambah keagungan raja.
DAFTAR PUSTAKA
Drasiti Suratman. 1989. Kehidupan Dunia Kraton. Yogyakarta: Tamtama.
Edi Sedyawati. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
Goris, R. 1986. Sekte-sekte di Bali. Jakrata: Bhratara.
Hadiwidjojo, KPH. 1978. Bedhaya Ketawang: Tarian Sakral di Candi-candi. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah Depdikbud.
Kusumotanoyo, KRT. 1992. “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung” dalam Jaya Baya No. 10, 8 November.
Moens, JL. 1986. Budhisme di Jawa dan Sumatra. Jakarta: Bhratara.
Nusjirwan Tirtaamidjaja. 1967. “A Bedhaja Ketawang Dance Performance at the Court of Surakarta" dalam Indonesia Vollume 1, April.
Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647, edisi WL Olthof. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. 1941.
Pudja, G. 1976. Wedhaparikrama. Jakarta: Yayasan Hindu-Dharma Indonesia.
Serat Wahanabrata. Manuskrip koleksi Perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran Surakarta.
Slamet Mulyono. 1979. Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Balai Pustaka.
Soedarsono. 1972. Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soedarsono. 1984. Wayang Wong: The State Ritual Dence Drama in the Court of Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soedarsono. 1991. “Tayub di Akhir Abad Ke-20” dalam Soedarso SP, ed. Beberapa Catatan tentang Perkembangan Kesenian Kita. Yogyakarta; BP ISI.
Zoest, Art van. 1992. “Peranan Konteks, Kebudayaan, dan Ideologi di dalam Semiotika” dalam Panuti Sudjiman dan Art van Zoest. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.
Sabtu, 06 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tari Bedaya Ketawang memang magis dan sakral. Tapi baru melalui tulisan ini saya tahu bahwa ia berkaitan dengan tradisi Hindu/Budda. Melalui tulisan ini juga terbukti bahwa tarian dan segala sesuatu yang sakral dan magis dapat dijelaskan alasannya. Trimakasih, tulisan ini terasa sangat kaya dan cerdas.
BalasHapusAda yang bilang jumlah penari yang sembilan itu berhubungan dengan "babahan hawa sanga". Bagaimana Pak In?
BalasHapusKata KPH Hadiwidjojo memang begitu, artinya jumlah sembilan itu menunjuk pada babahan hawa sanga, yakni sembilan lobang yang ada pada tubuh manusia. Ya kalau ditarik ke arah sana, menurut saya, akan hilang sejarah ketuaan dan nilai pusakanya. Menurut saya, kalau mau memahami Bedhaya Ketawang, sebagai pusaka kerajaan yang tuahnya akan membuat sejahtera raja dan seluruh rakyatnya, ya hanya dari persatuan Siwa-Sakti seperti yang saya tulis ini. Tetapi memang tetap terbuka tafsir yang berbeda. Perbedaan tafsir itu justru semakin memperkaya dimensi Bedhaya Ketawang sendiri. Dan juga menunjukkan bahwa, dia merupakan karya besar (Al. Indratmo).
BalasHapus