Selasa, 23 Februari 2010

SERAT KALATIDHA

SERAT KALATIDHA
MENGINGATKAN MANUSIA PADA AKHIR KEHIDUPAN
Oleh: Aloysius Indratmo
KR 21 Mei 1985

14 Maret 1802, atau dalam tarikh Jawa Senen Legi 10 Dulkaidah, tahun Be 1728, dan tepat pada saat matahari di titik kulminasi, wuku Sungsang, Dewi Sri, Warukung Uwas, mangsa Jita, windu Sangara, di kampung Kliwon Surakarta lahirlah seorang anak dari keluarga Mas Panjangswara alias Mas Ngabehi Ranggawarsita II.
Mas Ngabehi Ranggawarsita II alias Mas Panjangswara dikenal sebagai carik di Kadipaten Anom. Ia terkenal sebagai ahli tarik suara. Selain suaranya yang merdu, ia pun dikenal karena Jawa-nya. Mas Panjangswara adalah putra R.Ng.Ranggawarsita I alias RT Sastranagara alias R.Ng.Yasadipura II.
Sejarah Sastra Jawa pun mencatat tanggal 14 Maret 1802 itu lahir seorang anak laki-laki yang kelak kemudian menjadi seorang cerdik-pandai, bijaksana, bahkan menjadi parampara kerajaan Surakarta Hadiningrat. Dialah Raden Ngabehi Ranggawarsita yang punya nama kecil Bagus Burhan. Pujangga besar sastra Jawa ini wafat setelah mengenyam hidup sekitar sembilan windu. Beliau wafat pada tanggal 24 Desember 1874, pada hari Rebo Pon 5 Zulhijah 1802 Jawa.

Kekecewaan
Salah satu karya R.Ng.Ranggawarsita yang terkenal adalah Serat Kalatidha. Serat ini terdiri atas dua belas bait dengan satu bait pembuka. Kesemuanya dalam bentuk tembang Sinom. Ketika menulis Serat Kalatidha R.Ng.Ranggawarsita tengah dirundung kekecewaan karena kenaikan pangkatnya dibatalkan. Penyebabnya adalah kekacauan yang terjadi dalam kerajaan Surakarta. Pakubuwana IX mencurigai ayah R.Ng.Ranggawarsita menyetujui pengasingan Pakubuwana VI, ayah Pakubuwana VI, ke Ambon pada tahun 1830 M. Kecurigaan itu berakibat ayah R.Ng.Ranggawarsita diasingkan ke Jakarta hingga wafat. Musibah ini ternyata berpengaruh terhadap rencana Pakubuwana IX yang hendak menaikkan pangkat R.Ng.Ranggwarsita dari Kliwon Kadipaten Anom menjadi Bupati Anom. Kekecewaan ini dapat kita tangkap dari bait 3 dan 4.
Kekecewaan dalam pengalaman hidupnya di tengah suasana yang serba kacau, serba menyedihkan, berhasil ia padukan dengan pengetahuan yang diperolehnya. Lahirlah Serat Kalatidha yang maksudnya untuk memperingatkan manusia, sekaligus mengajarnya agar selalu mawas diri atau eling dan waspada terhadap situasi jaman.

Falsafah
Serat Kalatidha adalah serat yang memuat tentang falsafah atau ajaran hidup hasil perenungan dan pemikiran pujangga R.Ng.Ranggawarsita. Dari serat ini banyak yang dapat kita peroleh untuk bekal hidup kita. Tulisan ini akan mencoba menangkap ajaran R.Ng.Ranggawarsita tentang akhir hidup manusia, meskipun menurut Karkono Partokusumo inti dari serat ini adalah yang tertulis dalam bait ketujuh. Bait ini menggambarkan situasi pada masa itu yang benar-benar “gila”. Itulah sebabnya bait ini disebut sebagai bait “jaman edan”.
Ternyata R.Ng.Ranggawarsita tidak hanya kecewa tetapi bahkan putus asa. Ia bermaksud memperoleh keuntungan tetapi karena tak terkabul akibatnya leburlah cita-citanya, kehendaknya “met pamrih pakolih, temah suh-ha ing karsa tanpa weweka”. Bagaimanapun R.Ng.Ranggawarsita adalah manusia biasa oleh karena itu ia tak luput dari kekecewaan. Untungnya kekecewaan ini tidak diungkapkannya melalui demonstrasi tetapi justru mendekatkan dirinya pada Tuhan.
Seakan dengan kekecewaannya, dengan penderitaannya ini, R.Ng.Ranggawarsita lebih menyadari eksistensinya. Memang dalam penderitaan dan kemalangan lebih besar kemungkinan manusia akan mencapai eksistensi yang otentik daripada dalam kemakmuran dan kebahagiaan yang terancam.
Dalam keadaan makmur yang berlimpah-limpah, arti eksistensi seringkali tinggal tersembunyi. Tidak jarang kesengsaraan menjadi jalan menuju pengalaman tentang ‘transendensi’. Dan jika manusia telah menyadari eksistensinya di hadapan Tuhan maka ia akan merasa terlalu banyak dosa, dan ia pun mulai mawas diri. Inilah yang dialami R.Ng.Ranggawarsita.
Setelah menimbang-nimbang dan mawas diri akhirnya R.Ng.Ranggawarsita pun anarima, mupus papesthening takdir. R.Ng.Ranggawarsita sadar bahwa memang tidak ada faedahnya jika berkedudukan tinggi tetapi akan mengakibatkan kesulitan dan sakit hati, seperti dikatakannya: yen pinikir sayekti, pedah apa aneng kayun, andhedher kaluputan, siniram banyu lali, lamun tuwuh dadi kekembanging beka.
Untuk menutup kekecewaannya R.Ng.Ranggawarsita lebih banyak menulis cerita: “angurbaya ngiketa cariteng kuna”. R.Ng.Ranggawarsita menerima kekecewaan dan kesedihannya sebagai takdir Tuhan yang harus diterimanya. Dengan menerima takdir, manusia akan merasa dekat dengan Tuhannya. Atau, dalam penderitaan manusia hendaknya makin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Meskipun telah ditutup dengan menulis cerita-cerita kuna tetapi ternyata perasaan putus asa itu mesih juga mencekam hatinya, sehingga R.Ng.Ranggawarsita merasa mulai tua. Dan jika orang sudah merasa tua maka ia pun mulai memikirkan kematian. Dengan mawas diri manusia merasa banyak dosa dan dengan menyadari kematian maka manusia mulai mencari pengampunan dosanya. Di Jawa, pengampunan dosa dan mendekatkan diri dengan Tuhan dapat dilakukan dengan menyepi, menjauhkan diri dari keduniawian. Inilah yang dilakukan R.Ng.Ranggawarsita, seperti dituliskannya: “wis tuwa are papa, muhung mahas ing asepi, supayantuk parimarmaning Hyang Suksma”.
Puncak dari menyepi ini akhirnya manusia harus dapat “mati sajroning urip” seperti diungkapkan oleh R.Ng.Ranggawarsita pada bait kedua belas berikut:
Sageda sabar santosa,
Mati sajroning ngaurip,
Kalis ing reh huru-hara,
Murka angkara sumingkir,
Tarlen meleng malatsih,
Sanityaseng tyas mamatuh,
Badharing sapudhendha,
Antuk mayar sawatawis,
Borong angga suwarga mesi martaya.
Mati sajroning urip dalam bahasa J.Krishnamurti disebut meditasi. Meditasi adalah pekerjaan berat, kata Krishnamurti. Ia menuntut bentuk tertinggi dari disiplin – bukan penyesuaikan diri, bukan penjiplakan, bukan ketaatan, melainkan suatu disiplin yang datang melalui kewaspadaan yang terus-menerus, bukan hanya waspadaterhadap hal-hal yang ada di luar diri, melainkan juga di sebelah dalam. Maka meditasi bukanlah suatu kegiatan dari pengasingan diri, melainkan tindakan dalam kehidupan sehari-hari yang menuntut kerja sama, kepekaan, dan intelegensi. Tanpa meletakkan dasar dari suatu kehidupan benar, meditasi menjadi suatu pelarian dan karenanya tidak mempunyai nilai apapun juga. Suatu kehidupan benar bukan berarti mengikuti akhlak kemasyarakatan, melainkan kebebasan dari iri hati, ketamakan dan dari pencarian kekuasaan – yang kesemuanya itu melahirkan permusuhan.
Kebebasan dari semua ini tidak datang melalui kesibukan dari kemauan melainkan melalui kewaspadaan terhadap semua itu, melalui pengenalan diri sendiri. Tanpa mengenal kesibukan diri pribadi, meditasi menjadi rangsangan indra dank arena itu sedikit sekali artinya.
Hal inilah yang dimaksud R.Ng.Ranggawarsita terutama dalam bait kesembilan dan kesepuluh, ketika beliau mengatakan: “ikhtiar iku yekti, pamilihe reh rahayu, sinambi mbudi daya, kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka marmaning Suksma. Memang dalam ‘bertapa’, setelah mewawas diri sendiri dengan seksama, orang harus suka dan mampu mengoreksi diri pribadi, di bawah pengawasan disiplin pribadi yang keras. Selanjutnya menuju langsung ke arah penjernihan pendapat, ketajaman kecerdasan atau budi, agar dengan demikian mendapat keyakinan yang menentukan.

Eskatologis
Dengan mengingat unsur-unsur di atas dapatlah dikatakan bahwa Serat Kalatidha merupakan naskah eskatologis, seperti ditegaskan oleh R.Ng.Ranggawarsita pada bait kesebelas, sebagai berikut:
Ya Allah ya Rasulullah,
Kang sipat murah lan asih,
Mugi-mugi aparinga,
Pitulung ingkang nartani,
Ing alam awal akhir …

Manusia harus mengatur hidupnya di dunia ini untuk kebahagiaan di dunia nanti. Lalu bagaimana cara mencapai kebahagiaan di dunia nanti? Dalam Kalatidha bait kedelapan disebutkan, manusia pertama-tama harus mampu meninggalkan hal-hal yang sifatnya duniawi dan juga harus dapat meninggalkan hal atau orang-orang yang dicintai. Dalam kehidupan sehari-hari disebutkan, manusia jangan sampai kelet kumanthil. Hendaknya manusia meninggalkan hal-hal dan orang-orang tercinta itu.
Jalan atau sarananya ialah eling (bait kesepuluh). Manusia hendaknya selalu eling atau sadar akan Tuhan, maka manusia akan dapat bersifat hati-hati sehingga dapat memisahkan yang benar dan yang salah agar tindakannya tidak terjerumus ke hal-hal yang nista. Dan kendaraannya adalah iman, kepercayaan akan Tuhan. Hal ini diungkapkan oleh R.Ng.Ranggawarsita dalam bait keenam.
Demikianlah ajaran dalam Serat Kalatidha karya pujangga keturunan kesepuluh Sultan Trenggana bila ditarik dari garis ibunya. Karya R.Ng.Ranggawarsita ini merupakan karya seni yang mencerminkan kesejatian hidup, baik secara lahir maupun secara batin. Pada sisi lain, karya demikian akan menumbuhkan semangat humanism universal. Dan karya demikian akan tetap relevan sepanjang jaman.

1 komentar:

  1. Bagus. Sastra Jawa memang penuh tuntunan moral. Viva Sastra Jawa.

    BalasHapus