Selasa, 23 Maret 2010

KISAH PENAKLUKAN GIRI OLEH SULTAN AGUNG

KISAH PENAKLUKAN GIRI OLEH SULTAN AGUNG
(Sketsa Pertentangan Babad Mayor dan Babad Minor)

Oleh: Aloysius Indratmo
(Haluan Sastra Budaya No. 30 Th. XVI Maret 1997 ISBN 0852-0933 h: 42-49)

Pendahuluan
Dalam sejarah Mataram penyerbuan dan penaklukan Sultan Agung atas Sunan Giri merupakan peristiwa yang penting karena dengan penaklukan itu terhapuslah jabatan wali sehingga Sultan Agung duduk sebagai satu-satunya penguasa alam. Berhubung dengan pentingnya tersebut maka banyaklah uraian-uraian historiografi tradisional (babad) yang merekamnya. Uraian ini akan membicarakan peristiwa tersebut berdasarkan apa yang tertulis dalam babad, tidak semua babad yang memuatnya, melainkan hanya berdasarkan dua babad yakni Babad Tanah Jawi (BTJ) dan Babad Jalasutra (BJ). Dipilihnya dua babad tersebut atas alas an: (1) kedua babad menampilkan kisah penaklukan secara berbeda, perbedaan inilah yang akan dijadikan pokok pembicaraan; (2) BTJ adalah babad mayor (Day, 1978: 434) sedangkan BJ adalah babad minor maka terdapat dugaan bahwa perbedaan kisah tersebut sedikit banyak dipengaruhi juga oleh perbedaan kedudukan babadnya.
Pokok uraian ini adalah perbedaan (atau pertentangan) kisah penaklukan Sultan Agung atas Sunan Giri. Perbedaan tersebut pertama-tama akan diperjelas melalui analisis structural, akan tetapi mengingat historiografi tradisional sebagai bagian dari perbendaharaan cultural adalah gambaran dari suatu pandangan dunia (Taufik Abdullah, 1992: 237) maka analisisnya akan dilengkapi dengan analisis asal dan terjadinya (genetic). Jadi secara keseluruhan akan digunakan teori Strukturalisme genetic.

Kisah dalam Babad Mayor dan Babad Minor
Penaklukan Giri oleh Mataramdikisahkan oleh BTJ dalam tidak lebih dari dua halaman, yakni pada halaman 134 dan 135 (dalam edisi Olthof). Episode ini dapat dibagi dalam unit naratif sebagai berikut:
1) Sultan Agung ingin menundukkan Sunan Giri karena seluruh Jawa sudah takluk kepadanya kecuali Sunan Giri;
2) Sultan Agung menunjuk Pangeran Pekik sebagai senopati;
3) Pasukan Mataram menyerbu Giri;
4) Sunan Giri tunduk kepada Sultan Agung.
Berbeda dengan BTJ, BJ sebagai babad minor yang hanya setebal 15 halaman cetak menampilkan kisah penyerbuan Mataram atas Giri pada bagian akhir babad. BJ menguraikannya sebagai berikut:
Amila kajawi kaliyan minangkani ugi saking penuwunipun guru Kiai Ageng Jalasutra inggih Pangeran Penggung, ingkang panuwunipun wau naming kawedhar ing dalem cipta, mila Sang Prabu (Sultan Agung – Pen) kagungan karsa badhe ngicali wontenipun pangkat wali. Gugununganipun para wali nama Sunan Giri lajeng linurugan, para wali kasirnakaken. Punika saking pamalesing ukumipun Pangeran Panggung, margi Pangeran Panggung sampun kapidana tanpa dosa dening para wali, kalebetaken ing brama murub gesang-gesangan (h. 17).
Terjemahan:
Memang selain untuk melaksanakan permintaan guru, yakni Kiai Ageng Jalasutra alias Pangeran Panggung, yang permintaannya itu hanya disampaikan dalam cipta, juga karena Sang Prabu berniat untuk menghapuskan jabatan wali. Ketua para wali yang bernama Sunan Giri lalu diserbu. Yang diutus Pangeran Pekik. Giri dihancurkan, sudah tunduk, para wali dibunuh. Hal itu dikarenakan oleh dendam Pangeran Panggung, karena Pangeran Panggung sudah dihukum walau tanpa dosa oleh para wali, yakni dibakar hidup-hidup.

Peristiwa yang sama ternyata dapat muncul dalam bentuk kisah yang berbeda. Perbedaan pengisahan dalam dua babad di atas terutama terletak pada alasan penyerbuan Sultan Agung pada Giri. BTJ mengisahkan alas an penyerbuan itu sebagai perluasan kekuasaan Sultan Agung. Di lain pihak, BJ mengisahkan penyerbuan itu karena: (1) untuk memenuhi permintaan guru; (2) ingin menghapus wali; dan (3) sebagai karma atas tindakan para wali yang telah menghukum Pangeran Panggung.
Alasan yang disampaikan dalam BJ mendudukkan Kiai Ageng Jalasutra pada posisi yang sangat penting, Kiai Ageng Jalasutralah yang meminta Sultan Agung untuk menggempur Giri. Permintaan Kiai Ageng Jalasutra itu dilatarbelakangi oleh adanya dendam kepada para wali.
Untuk mengetahui mengapa sampai timbul rasa dendam dalam diri Kiai Ageng Jalasutra dapat disimak dalam keseluruhan kisah BJ, di sini akan ditampilkan dalam bentuk unit naratif sebagai berikut:
1) Silsilah Kiai Ageng Jalasutra adalah murid Seh Siti Jenar;
2) Pembunuhan Seh Siti Jenar
- Kiai Ageng Jalasutra berguru kepada Seh Siti Jenar
- Seh Siti Jenar dibunuh oleh para wali
- Kiai Ageng Jalasutra mendendam para wali
3) Kiai Ageng Jalasutra mbalela
- Kiai Ageng Jalasutra mendirikan perguruan
- Kiai Ageng Jalasutra mengajarkan ilmu makrifat
- Sultan Demak marah kepada Kiai Ageng Jalasutra
4) Kiai Ageng Jalasutra dihukum bakar
- Kiai Ageng Jalasutra dipanggil Sultan Demak
- Kiai Ageng Jalasutra dihukum bakar
- Di dalam api Kiai Ageng Jalasutra menulis Suluk Malangsumirang
- Kiai Ageng Jalasutra terbebas dari maut
5) Kiai Ageng Jalasutra mengembara
- Kiai Ageng Jalasutra bertemu dengan Ki Cakrajaya
- Ki Cakrajaya berguru kepada Kiai Ageng Jalasutra
- Kiai Ageng Jalasutra mendirikan perguruan di Bengkung
- Ki Cakrajaya mendirikan perguruan di Loano
- Kiai Ageng Jalasutra pindah ke Gunung Jalasutra
6) Kelahiran Sultan Agung
- Kiai Ageng Jalasutra meramalkan kelahiran raja besar Mataram sebagai pewaris ilmu makrifat
- Permaisuri raja Mataram mengidam badher bang asisik kencana
- Kiai Ageng Jalasutra menangkap badher bang asisik kencana
- Kiai Ageng Jalasutra mempersembahkan badher bang asisik kencana kepada permaisuri
7) Kiai Ageng Jalasutra mewariskan ilmu makrigat kepada Sultan Agung
- Sultan Agung mewarisi ilmu makrifat dari Kiai Ageng Jalasutra
- Sultan Agung menyerang Giri

Letak Perbedaan
Perbedaan alas an penyerbuan Sultan Agung ke Giri dalam kedua babad tersebut bukanlah hanya terletak pada perbedaan fibula dan sjuzet (Kunne-Ibsch, 1977: 18), bukan pula pada perbedaan cariyos dan ungel. Perbedaan alasan penyerbuan Giri oleh Sultan Agung dalam BTJ dan BJ sudah menyangkut pada tataran balungan, yakni the basic thematic structure (Day, 1978: 448). Oleh karena letak perbedaan berada pada tingkat balungan maka masing-masing babad juga menampilkan kernels yakni the action by opening an alternative (Rimmon-Kenan, 1983: 16) yang berbeda.
Dalam peristiwa penyerbuan Sultan Agung ke Giri BTJ menampilkan kernels langsung pada keinginan Sultan Agung untuk menyerbu Giri agar kekuasaannya menjadi sempurna. Berbeda dengan itu BJ menampilkan kernels jauh di awal kisah, yakni pada rasa dendam Kiai Ageng Jalasutra kepada para wali yang sudah membunuh Seh Siti Jenar.
Dalam sebuah naratif selalu ditampilkan rangkaian peristiwa, maka kernels juga selalu diikuti oleh catalysts, yakni the expand, amplify, maintain of delay the former (Rimmon-Kenan, 1983: 16). BTJ dalam hal ini menampilkan hubungan yang sangat erat dan langsung antara kernels dan catalysts karena catalysts yang muncul adalah penunjukan Pangeran Pekik sebagai pimpinan pasukan penyerbuan Giri dan penaklukan Giri. Di dalam BJ hubungan antara kernels dan peristiwa penyerbuan Giri dapat dikatakan cukup kurang langsung. Catalists yang ditampilkan oleh BJ dengan demikian dapat dikatakan cukup berbelit. Catalists dalam BJ meliputi peristiwa-peristiwa: Kiai Ageng Jalasutra mbalela, dihukum bakar, mengembara, mendirikan perguruan dan menjadi guru makrifat, pewarisan ilmu kepada Sultan Agung, barulah pada penyerbuan Giri.
Sejalan dengan hubungan kernels dan catalysts dalam BJ dapatlah dipahami mengapa babad ini menampilkan alas an penyerbuan ke Giri oleh Sultan Agung sebagai tindakan bakti murid kepada guru, dalam arti membalaskan dendam guru. Oleh karena itu BJ mendudukkan Kiai Ageng Jalasutra sebagai tokoh utama sedangkan Sultan Agung sebagai tokoh bawahan. Berbeda dengan itu, BTJ mendudukkan Sultan Agung sebagai tokoh utama atau tokoh sentral.

Dekonstruksi Model Penulis Jawa
Deconstruction adalah gerakan permenungan sastra yang tergolong poststructuralism, ia disusun orang bukan atas dasar penelitian empiric. Dalam “Preface” untuk bukunya yang berjudul On Deconstruction, Culler menulis sebagai berikut:
This book is sequel to my Structuralist Poetics, though both the method and conclusions are different. Structuralist Poetics set out to survey comprehensively a body of critical and theoretical writings, to identify their most valuable proposals and achievements, and to introduce them to English and American audience that had little interest in continental criticism. Today the situation had changed. Introductions have been performed and quarrels have broken out. To write about critical theory at the beginning of the 1980s is no longer to introduce unfamiliar questions, methods, and principles, but to intervene in a lively and confusing debate (1983: 7).
Pendapat Culler ini diperkuat oleh Lodge (1986: 143) yang menyatakan bahwa sebagai salah satu bentuk poststrukturalisme, dekonstruksi bertumpu bukan pada penelitian empiric melainkan permenungan ideologik.
Yang dimaksud dengan dekonstruksi adalah membalikkan pusat atau centre, yang dapat pula berarti membalikkan struktur hirarki. Menurut Derrida sebagaimana dikutip Selden (1986: 84) pusat dibutuhkan orang karena tuntutan akan jaminan Beeing as presence, misalnya pusat kehadiran manusia adalah “saya”.
Dalam hal Negara Jawa maka raja memiliki kedudukan sebagai pusat mikrokosmos Negara dan puncak hirarki-status dalam Negara (Soemarsaid, 1985: 34). Sejalan dengan itulah maka BTJ mendudukkan Sultan Agung sebagai tokoh sentral dalam episode penaklukan Giri. Kedudukan Sultan Agung tersebut kemudian didekonstruksi oleh BJ yang mendudukkan Sultan Agung hanya sebagai tokoh bawahan sedangkan tokoh sentralnya adalah Kiai Ageng Jalasutra. Dengan kata lain, penulis BJ telah mendekonstruksi ideologi yang berkembang di masyarakat Jawa bahwa raja adalah pusat sekaligus puncak hirarki-status dalam kerajaan. Sehingga yang sebenarnya didekonstruksi oleh penulis BJ bukanlah BTJ melainkan ideologi masyarakat Jawa yang berkembang saat ini.
Jika dalam Filologi Teeuw (1991: 216) menyebut para penyalin naskah Jawa sebagai “Philologists avant la letter”, dapatkah penulis BJ ini disebut sebagai tokoh dekonstruksi avant la letter, yakni tokoh yang perpaham dekonstruksi sebelum istilah dekonstruksi itu sendiri muncul?

Pandangan Dunia yang Berbeda
BTJ ditulis di Surakarta pada suatu waktu antara tahun 1788 dan 1836, salinan yang kini dapat dijumpai ditulis pada tahun 1836, dalam bentuk prosa yang lebih singkat diedit oleh Meinsma dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1874 (Ricklefs, 1972: 295). Dengan demikian tak dapat disangsikan lagi bahwa BTJ ditulis oleh pujangga kraton. Sebagai pujangga kraton maka penulis BTJ secara sadar atau pun tidak, memiliki pandangan dunia yang sejalan dengan pandangan masyarakat kraton pada umumnya, yang kemudian ditetapkan sebagai pandangan dunia masyarakat Jawa. Berkaitan dengan kedudukan raja, pujangga ini tentu mengakui dan mengangkat raja sebagai penguasa tertinggi dan sebagai pusat Negara dan dunia. Pandangan dunia inilah yang membentuk struktur naratif BTJ, yang mendudukkan Sultan Agung sebagai tokoh sentral dalam penyerbuan Giri.
Berbeda dengan BTJ, BJ sampai saat ini belum diketahui kapan dan di mana ditulis, demikian juga siapa penulisnya. Akan tetapi dengan menyimak isinya, lebih-lebih keberaniannya untuk mendekonstruksi kedudukan Sultan Agung, dapatlah dipastikan bahwa BJ tidak ditulis di palace scriptorium. Jadi dapat dipastikan BJ ditulis di scriptorium desa di luar kraton, yang tidak terlalu terikat oeh kraton, mungkin semacam perdikan. Sebagai penulis perdikan penulis BJ tidak merasa perlu mengangkat raja sebagai pusat junjungan. Baginya penguasa perdikan itulah pusat dunianya, dalam hal ini Kiai Ageng Jalasutralah yang didudukkan sebagai tokoh sentral mengatasi Sultan Agung.
Perdikan tempat penulisan BJ tentu juga bukan di daerah pesisiran. Dari konflik yang ditampilkan oleh BJ tampaklah adanya pertentangan antara Kiai Ageng Jalasutra melawan para wali, termasuk Sunan Giri. Jika dapat dikatakan Kiai Ageng Jalasutra mewakili Islam pedalaman yang mengembangkan Islam Makrifat, maka Sunan Giri mewakili Islam Pesisiran yang mengembangkan Islam Syariat. Jadi BJ ini ditulis oleh pengarang dalam lingkungan masyarakat Islam pedalaman yang berpandangan dunia bahwa Islam Makrifat tidak pernah kalah oleh Islam Syariat.

Penutup
Struktur naratif dibentuk berdasarkan suatu tujuan tertentu. BTJ ditulis antara lain untuk memuliakan kebesaran raja sebagai penguasa dunia. BJ ditulis untuk suatu “kemenangan”. Dengan ditulisnya BJ pihak-pihak yang merasa pernah dikalahkan akan merasa puas karena telah berhasil mencapai kemenangan. Masyarakat yang ingin menang inilah yang melatarbelakangi penulisan BJ.

DAFTAR PUSTAKA
Babad Jalasutra. Yogyakarta: Soemodidjojo Maha Dewa, 1956.
Babad Tanah Djawi, de prozaversie van Ngabehi Kertapradja voor het eerst uitgegeven door JJ Meinsma en getranscribeerd door WL Olthof. Dordrect: Foris Publication, 1987.
Culler, Jonathan. 1983. On Deconstruction. New York: Cornell University Press.
Day, Anthony. 1978. “Babad Kandha, Babad Kraton and Variation in Modern Javanese Literature”, Bijdragen tot de Yaal-Land-en Volkenkunde, Deel 134.
Kunne-Ibsch, DW Fokkema. 1977. Theories of literature in the Twentieth Century. London: C. Hurst and Company.
Lodge, David. 1986. Working with structuralism. London: Arnold.
Riclefs, M. C. 1972. “A Consideration of Three Version of The Babad Tanah Djawi, with Excerption the Fall of Madjapahit”. Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 35 Part 2.
Rimmon-Kenan, Shlomith. 1983. Narrative Fiction: Contemporary Poetics. London: Methuen.
Selden, Raman. 1986. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. Brighton: The Harvester Press.
Soemarsaid Moertono. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Taufik Abdulah. 1992. “Dari Sejarah Lokal ke Kesadaran Nasional: Beberapa Problematik Metodologis”, dalam Ibrahim Alfian et. Al. (ed.). Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Teeuw, A. 1991. “The Text” dalam JJ Ras and S.O. Robson (ed.). Variation, Transformation and Meaning, Studies of Indonesian Literatures in Honour of A. Teeuw. Leiden: KITLV Press.

2 komentar:

  1. Siang pak.bolehkah saya bertanya. Seperti apa ya mataram saat itu ketika era sultan agung.boleh dikatakan mataram sudah terpengaruh islam.lalu bagaimana dengan budaya seks dan tentunya mo limo nya? Apakah masih sangat wajar dilakukan karena hal itu juga berpengaruh terhadap tingkat pencapaian ilmu seseorang atau masyarakat sudah seperti saat ini.merasa hal seperti seks adalah tabu.? Saya mahasiswa dari yogya,apabila kurang berkenan saya mohon maaf.

    BalasHapus